Konten dari Pengguna

Budaya Patriarki, Pelecehan Seksual Di Dalam selingkar Gigs Event

Muhammad Ammar Mufid
profesi saya saat ini menjadi fotografer jurnalistik dan sering juga meliput di acara acara Gigs
24 Desember 2024 16:10 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Ammar Mufid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
seorang perempuan melakukan stage diving dengan amat riang (foto : Muhammad Ammar mufid)
zoom-in-whitePerbesar
seorang perempuan melakukan stage diving dengan amat riang (foto : Muhammad Ammar mufid)
Event gigs dijadikan sebagai salah satu sarana untuk mengekspresikan emosi bagi mereka yang jenuh dan tidak puas dengan pekerjaan mereka. Meskipun tidak sepenuhnya didukung oleh keluarga karena musik punk/hardcore dianggap tidak jelas dan dekat dengan perilaku negatif, kenyamanan dalam meluapkan emosi dan mengekspresikan diri tetap membuat mereka menikmati musik cadas hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Esai etnomusikolog asal Amerika Serikat, Jeremy Wallach, yang berjudul Underground Rock Music: And Democratization in Indonesia (2005), menyatakan bahwa scene musik underground turut berperan dalam perubahan sosial pada tahun-tahun tersebut.
Namun, gigs musik yang seharusnya menjadi ruang ekspresi dan kebebasan, seringkali menjadi tempat bersembunyi bagi praktik-praktik kekerasan seksual. Di tengah euforia pertunjukan, perempuan seringkali harus berhadapan dengan bayang-bayang patriarki yang mengancam. Pelecehan seksual, baik verbal maupun fisik, menjadi kenyataan pahit bagi banyak perempuan yang terlibat dalam acara gigs musik.
Mengapa perempuan seringkali merasa tidak aman di gigs musik? Salah satu faktor utama adalah budaya patriarki yang masih melekat dalam masyarakat kita. Pandangan yang menempatkan laki-laki sebagai sosok dominan dan perempuan sebagai objek seringkali memicu perilaku agresif dan tidak hormat. Terdapat standar ganda antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki yang ikut moshing atau crowd surfing seringkali dianggap keren dan berani, sementara perempuan yang melakukan hal yang sama akan dihakimi dan dianggap tidak pantas. Mengapa perempuan yang ingin ikut bersenang-senang dan mengekspresikan diri di ruang publik harus selalu dihadapkan pada penilaian negatif? Padahal, setiap orang berhak menikmati gigs musik tanpa harus dibatasi oleh gender.
ADVERTISEMENT
Selain itu, normalisasi kekerasan seksual dalam budaya populer juga turut berkontribusi. Banyak orang menganggap kekerasan seksual yang terjadi di gigs musik sebagai hal biasa atau bahkan lucu dalam konteks tertentu. Ledek-ledek seksual dan sentuhan yang tidak diinginkan seringkali dianggap sebagai bagian dari "fun" dalam lingkungan musik, faktor ini juga yang membuat pelaku merasa dibenarkan untuk melakukan tindakan tersebut.
Seperti yang dialami Debby Selviana dari SLOTS, tindakan pelecehan seksual yang terjadi saat ia melakukan stage dive dan direkam dalam video berdurasi satu menit, menjadi bukti nyata bahwa kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja, bahkan di ruang publik seperti panggung musik. Dikutip dari Vice.com
Terkait kasus Debby Selviana, saya merasa sangat geram terhadap orang-orang yang masih menyudutkan dan menyalahkan korban kekerasan seksual. Banyak korban merasa bersalah dan malu untuk melaporkan kejadian yang mereka alami. Budaya "baperan" sering digunakan untuk merendahkan pengalaman mereka, membuat korban semakin terisolasi dan takut untuk bersuara. Korban sering mengalami trauma psikologis yang mendalam, seperti rasa takut, depresi, dan kecemasan. Mereka juga mungkin kesulitan menikmati acara musik dan acara sosial lainnya. Bagi saya, korban tetaplah korban. Mereka tidak pantas disalahkan atas apa yang terjadi pada mereka. Justru, kita harus memberikan dukungan penuh kepada korban.
ADVERTISEMENT
Untuk teman-teman yang menjadi korban kekerasan seksual di gigs musik, saya sangat berharap kamu menemukan tempat yang aman untuk bercerita. Kamu sangat berhak mendapatkan dukungan. Tidak perlu merasa malu atas apa yang terjadi padamu. Yang seharusnya malu adalah pelaku, karena dia melakukan hal yang tidak sepantasnya dan sangat menjijikkan. Untuk semua orang, jika ada yang kamu kenal mengalami hal serupa, tolong beri dia dukungan dan pastikan dia tidak sendiri. Kamu bisa membantunya dengan mendengarkan dengan empati tanpa menghakimi atas pengalaman buruk yang dia alami. Saya percaya setiap korban memiliki hak untuk hidup bebas dari rasa takut. Kasus Debby Selviana hanyalah salah satu contoh dari banyak kasus serupa yang mencerminkan masalah budaya patriarki yang masih kuat. Saya mengerti kejadian seperti ini sulit untuk dicegah, tapi saya menyerukan kepada penyelenggara gigs untuk menerapkan zero tolerance terhadap pelaku kekerasan seksual dalam bentuk apapun. Selain itu, penyelenggara gigs juga harus memberikan dukungan penuh terhadap korban. Korban harus merasa didengarkan dan diyakini.
ADVERTISEMENT
Saya berharap banyak yang membaca tulisan ini menjadi lebih sadar akan masalah ini. Bukan hanya dari penonton, tapi semua pihak yang terlibat, termasuk musisi, penyelenggara acara, dan media, untuk berperan aktif dalam mencegah dan mengatasi kekerasan seksual yang terjadi di gigs musik.
Muhammad Ammar Mufid, Mahasiswa Sarjana-1 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang.