Konten dari Pengguna

Etika Publik dalam Sorotan Tindakan Gus Miftah dan Nilai Pancasila

Muhammad Ardiansyah
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Ekonomi di Universitas Pamulang
22 Desember 2024 18:38 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Ardiansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: https://pixabay.com/
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: https://pixabay.com/
ADVERTISEMENT
Video viral yang memperlihatkan Gus Miftah, seorang tokoh agama sekaligus Utusan Khusus Presiden Prabowo Subianto, merendahkan seorang penjual es teh telah memunculkan kegaduhan di ruang publik. Akibat dari peristiwa tersebut, Gus Miftah akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
ADVERTISEMENT
Namun, kasus ini seharusnya tidak berhenti hanya pada pengunduran diri. Terdapat isu yang lebih mendasar, yakni etika publik, kepekaan sosial, dan sejauh mana nilai-nilai Pancasila masih dipegang dalam kehidupan sehari-hari, khususnya untuk publik figur.
Sebagai tokoh agama sekaligus publik figur, Gus Miftah mempunyai pengaruh besar. Setiap tindak-tanduknya tentu menjadi sorotan dan berpotensi memberikan contoh bagi masyarakat luas. Ketika seseorang pemimpin ataupun tokoh berperilaku merendahkan orang lain, hal itu bisa memicu persepsi negatif terhadap kepemimpinan dan kredibilitasnya.
Dalam video yang beredar sikap merendahkan terhadap penjual kecil tidak hanya mencoreng nama pribadi tetapi juga menyinggung prinsip dasar kehidupan bernegara di Indonesia. Karena sikap itu bertentangan dengan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila.
ADVERTISEMENT
Dilihat dari perspektif Pancasila dalam kasus ini, khususnya sila kedua, yaitu “Kemanusiaan yang adil dan beradab.” Sila ini mengamanatkan bahwa setiap individu, tanpa memandang status sosial, profesi, maupun latar belakangnya, harus diperlakukan dengan hormat dan penuh rasa kemanusiaan. Tindakan yang merendahkan martabat seseorang tidak cuma mencederai etika publik, tetapi juga menunjukkan abainya nilai kemanusiaan. Penjual es teh, yang bekerja keras mencari nafkah, sepatutnya diapresiasi, bukan justru dijadikan bahan olokan. Terlebih di tengah kesulitan ekonomi yang masih dialami banyak masyarakat kecil, tindakan tersebut terasa semakin menyakitkan.
Pengunduran diri Gus Miftah merupakan langkah yang patut diapresiasi sebagai bentuk pertanggungjawaban. Namun, yang lebih penting adalah refleksi jangka panjang bagi para pemimpin, tokoh agama, maupun publik figur lainnya. Sebagai individu yang kerap menjadi panutan, sudah seharunya mereka memahami bahwa setiap ucapan dan tindakan memiliki konsekuensi.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini, etika publik merupakan bagian dari tanggung jawab moral seorang pemimpin. Mereka diharapkan mampu membangun trust ataupun kepercayan publik melalui sikap yang berlandaskan keadilan, kebijaksanaan, dan empati. Sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, pemimpin harus berperan sebagai pengayom, bukan sosok yang merendahkan rakyatnya.
Kasus ini juga menjadi cerminan bagi kita sebagai masyarakat. Respon cepat publik yang mengecam tindakan tersebut adalah bukti bahwa nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan masih hidup di tengah masyarakat. Namun, lebih dari sekadar bereaksi, kita juga harus turut berperan aktif dalam menegakkan nilai-nilai Pancasila.
Setiap individu memiliki peran dalam memastikan bahwa nilai kemanusiaan, keadilan, serta etika sosial selalu dijunjung tinggi. Hal ini dapat diawali dari tindakan-tindakan sederhana, seperti saling menghormati, tidak memandang rendah orang lain, dan menghargai setiap profesi.
ADVERTISEMENT
Kasus Gus Miftah merupakan pengingat keras bagi kita semua. Betapa pentingnya menjaga sikap dan perilaku, terutama bagi mereka yang memiliki pengaruh besar di masyarakat. Nilai-nilai Pancasila tidak boleh hanya menjadi jargon semata, melainkan pedoman hidup yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kita berharap peristiwa ini bisa menjadi pelajaran berarti untuk semua pihak. Indonesia membutuhkan pemimpin dan tokoh publik yang mampu menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, adil, dan beradab, tidak hanya secara teori, tetapi juga dalam aksi nyata. Seperti yang sering kita dengar, “Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”, seorang pemimpin harus mampu menjadi teladan, memotivasi, dan mendukung rakyatnya.
Muhammad Ardiansyah, mahasiswa Pendidikan Ekonomi UNPAM.
ADVERTISEMENT