Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Penyebab Kekerasan Seksual Marak Terjadi di Pesantren
28 Mei 2024 16:24 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Muhammad Areev tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kemarin saya berdiskusi dengan seorang teman tentang maraknya penyebab kekerasan seksual di tempat umum bukanlah karena pakaian yang dikenakan korban. Buktinya, banyak juga kejadian kekerasan seksual yang terjadi kepada mereka yang berpakaian sopan dalam pandangan sosial masyarakat kita dan ini sudah dibuktikan oleh beberapa survei.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kita juga menyaksikan banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan lembaga pendidikan islam (pesantren) yang notabene mengajarkan moralitas, cara berpakaian yang baik. Penyebab utamanya ialah, immoral yang ada pada pelaku.
Bagaimana bisa menganggap pakaian seolah legitimasi untuk melakukan kekerasan seksual. Benar, pakaian yang terbuka suatu kesalahan tersendiri dalam pandangan agama, begitu juga dengan kekerasan seksual yang merupakan kesalahan lain. Keduanya tidaklah inheren. Buktinya, seperti yang telah kami sebutkan di atas.
Hari ini seorang teman yang lain mengirimkan link sebuah berita kembali terjadinya kekerasan seksual di Lembaga Pendidikan Islam (LPI) di Aceh yang dilakukan oleh oknum pimpinan LPI terhadap 5 santriwati di LPI. Tentunya kejadian berupa kekerasan seksual bukanlah hal yang asing terdengar di institusi yang lain.
ADVERTISEMENT
Namun, tentu saja kejadian yang terjadi di lembaga pendidikan islam lebih mendapatkan sorotan, mengingat lembaga pendidikan islam yang seharusnya menjadi tempat mengajarkan moralitas, justru oknum di dalamnya yang melakukan tindakan immoral.
Lalu apa yang menyebabkan lembaga pendidikan Islam (LPI) atau pesantren yang notabene tempat di mana seharusnya menjadi wadah para pemuda mengenyam pendidikan akhlak, menuntut ilmu justru menjadi 'menyeramkan' karena ulah oknum dari pengajar yang melakukan tindakan immoral berupa kekerasan seksual?
Kejadian serupa pun sudah sering terjadi dan menghiasi berita nasional di mana hal tersebut dapat membuat reputasi pesantren ataupun LPI buruk di mata masyarakat. Dibutuhkan upaya untuk mencegah hal serupa terjadi lagi, sebelumnya kita juga harus mengetahui apa saja penyebab maraknya kejadian kekerasan seksual di lingkungan pesantren (LPI) ini.
ADVERTISEMENT
Relasi kuasa (power relation) salah satu hal yang menyebabkan mudahnya para 'predator seks' untuk melancarkan aksinya dalam dunia Pesantren. Pesantren memiliki struktur hierarki yang kaku, di mana kiai atau ustaz memiliki otoritas tertinggi dan santri berada di posisi subordinat. Relasi kuasa yang sangat tidak seimbang ini membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang lebih dominan.
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para Kiai atau ustaz, Kiai atau ustaz dianggap memiliki kekuatan spiritual dan karismatik yang tinggi dalam masyarakat pesantren. Hal ini memperkuat posisi kuasa mereka dan membuat santri merasa sulit untuk menentang atau melaporkan tindakan pelecehan yang mereka alami.
Selain itu santri di beberapa pesantren tradisional para santri bergantung secara finansial dan akomodasi kepada pesantren. Kondisi ini menciptakan rasa takut bagi santri untuk melawan atau melaporkan pelecehan karena khawatir akan kehilangan akses pendidikan dan tempat tinggal.
ADVERTISEMENT
Dalam budaya pesantren, kepatuhan dan tidak mempertanyakan otoritas kiai atau ustaz dianggap sebagai norma. Hal ini dapat membuat santri merasa tidak berdaya untuk melawan pelecehan yang dialami dari pihak yang memiliki otoritas lebih tinggi. Kurangnya mekanisme pengawasan dan pertanggungjawaban yang efektif di lingkungan pesantren dapat memungkinkan penyalahgunaan kekuasaan terjadi tanpa ada konsekuensi yang memadai.
Untuk mengatasi masalah ini, perlu ada upaya untuk merestrukturisasi relasi kuasa di pesantren dengan menciptakan sistem yang lebih terbuka, dan melindungi hak-hak santri.
Kultus atau pemujaan berlebihan terhadap figur tertentu dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya kekerasan seksual di lingkungan di dunia pesantren.
Di beberapa pesantren, terdapat budaya pengkultusan yang berlebihan terhadap figur Kiai atau Ustaz. Mereka dianggap sebagai orang yang sangat sakral, memiliki otoritas spiritual yang tinggi, dan tidak dapat disangsikan atau dilawan. Kultus ini dapat membuat santri merasa tunduk secara total dan tidak berani menolak atau melaporkan tindakan pelecehan seksual yang dilakukan oleh Kiai atau Ustaz yang padahal secara jelas dapat diketahui bahwa tindakan tersebut salah secara norma sosial dan agama.
ADVERTISEMENT
Terdapat kepercayaan bahwa Kiai atau Ustaz memiliki kekuatan spiritual yang luar biasa, sehingga segala tindakan dan perilaku mereka dianggap sebagai sesuatu yang direstui oleh Tuhan. Kepercayaan ini dapat dimanfaatkan untuk melegitimasi tindakan pelecehan seksual yang dilakukan oleh Kiai atau Ustaz.
Tidak hanya dalam dunia pesantren, kultus rentan sekali dimanfaatkan oleh oknum agamawan untuk mengeksploitasi pengikutnya. Seperti yang terjadi di Korea, Jeong Myeong-seok pada tahun 1945 mendirikan sebuah gerakan keagamaan yang bernama The Providence, kemudian dikenal dengan nama Jesus Morning Star (JMS) dengan pengikut yang banyak.Ia memperkosa lebih dari 100 pengikutnya atas nama tuhan.
Di India tahun 2013 Baba Ram Rahim Singh, seorang guru spiritual dari Distrik Sirsa dipenjara 20 tahun akibat memerkosa muridnya hingga pengikutnya membuat kerusuhan dan menewaskan 38 orang dan ratusan lain luka-luka.
ADVERTISEMENT
Dalam kultus, santri diajarkan untuk merasa takut akan konsekuensi spiritual jika mereka menentang atau melawan Kiai atau Ustaz. Hal ini dapat membuat santri merasa terancam secara spiritual jika melaporkan kasus pelecehan seksual yang dialaminya.
Kultus seringkali menciptakan lingkungan yang tertutup dan kurang transparan, di mana tindakan Kiai atau Ustaz tidak diawasi atau dipertanggungjawabkan dengan baik. Kondisi ini memungkinkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan pelecehan seksual tanpa adanya konsekuensi yang jelas.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya untuk menghilangkan budaya kultus yang berlebihan dan menggantikannya dengan penghormatan yang sehat terhadap figur-figur otoritas di pesantren. Selain itu, pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan mekanisme pelaporan yang aman juga harus ditegakkan untuk melindungi santri dari kemungkinan pelecehan seksual.
ADVERTISEMENT