Konten dari Pengguna

Seruan Mujahid Cilik

Muhammad Arfa
Mahasiswa Psikologi Universitas Islam Indonesia
29 Juli 2024 9:05 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Arfa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
foto milik pribadi
zoom-in-whitePerbesar
foto milik pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“fii sabilillahi namdi naftaghi raf al liwa’, falyaud liidzini majduh wal yaud lidzini iidzuh”
ADVERTISEMENT
Gempuran demi gempuran peluru yang menemani keseharian anak-anak Gaza. Gemerlap api menghiasi langit yang dipenuhi bintang, bukan gemerlap memperingati tahun baru namun kilauan yang disebabkan dari percikan rudal-rudal yang mengarah ke camp mereka. Isak tangis terus terdengar di penjuru kota, geram; sedih; frustasi; cemas itulah perasaan yang kurasakan mendengar hura-hara yang terjadi di Palestina. Betapa kuatnya mental anak-anak di sana; pengimplementasiaan teori belajar Piaget terkait konsep belajar melalui pengalaman langsung sudah menjadi bahan pembelajaran keseharian mereka.
Persetan dengan stigma konflik yang terjadi masih perkara agama, karena menurutku konflik ini bukan lagi tentang agama melainkan sudah masuk kejahatan humaniter di hirarki paling tinggi. Korban sipil yang terus berjatuhan, keparat zionist itu dengan bangganya menyasar anak-anak tak berdosa, orang tua, perempuan, penyandang disabilitas, dan ibu hamil. Dengan banyaknya peristiwa yang sudah terjadi, apakah kita sebagai manusia yang mempunyai akal akan diam saja? Masihkah kita mempunyai hati nurani? Atau malah kita yang sudah terbuai akan suasana?
ADVERTISEMENT
Keresahanku ini berdasar karena banyaknya dari orang yang beriman sendiri masih abai mengenai konflik genosida yang terjadi di Gaza. Simpelnya produk-produk yang mendeklarasikan dukungannya terhadap zionist, masih saja dikomnsumsi dan disebarluaskan di sosial media mereka. Meskipun ada alasan mengapa masih dikonsumsi, mungkin aku masih mengamini jika ada faktor x, y, bahkan z karena cocoknya menggunakan produk tersebut seperti sampo dan sabun (mungkin). Tapi, kalau masih disebarluaskan di sosial media bukankah itu hanya mencari eksistensi belaka?
Lucunya lagi ada organisasi keagamaan yang 5 kadernya menemui Presiden Zionist. Apalagi diskursus yang dibawa adalah “menormalisasi hubungan diplomatik”, apa enggak makin kacau kalau pemikiran menormalisasi hubungan dengan penjajah saja “ada” dan dijadikan bahasan terhadap presidennya langsung. Setelah kekejaman-kekejaman yang telah dilakukan oleh zionist, apakah kita akan menormalisasikan peristiwa yang mungkin akan selalu terjadi? Sudahkah kita lupa dari pembukaan UUD Alinea pertama? Sampai kapan genosida ini terjadi?
ADVERTISEMENT
Bersuaralah; Diam tidak selalu emas. Tentukanlah di barisan mana kalian akan berjuang!