Bisnis Tempe Organik : Antara Produksi dan Edukasi

Muhammad Arif Darmawan
Seorang pendidik di IPB University Bogor
Konten dari Pengguna
28 November 2022 15:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Arif Darmawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"Kita bukan bangsa tempe....." demikian bung Karno dalam salah satu pidatonya di alun-alun.
ADVERTISEMENT
Barangkali, kalimat tersebut memiliki makna positif untuk memotivasi bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Sebuah bangsa yang telah banyak ditempa oleh teriknya perjuangan meraih kemerdekaan. Kata tempe dalam pidato bung Karno mengandung makna rendah.
Jaman dahulu, tempe dipandang sebagai makanan murahan sebagai pengganti protein bagi bangsa Indonesia. Saat ini, tempe bukan lagi sebagai sesuatu yang murah. Pertama, untuk memproduksi tempe, negara kita harus impor kedelai. Kedua, tempe saat ini dipandang sebagai makanan super atau makanan sehat yang diakui oleh dunia. Tempe sebenarnya memiliki nilai yang tinggi.
Begitupun dengan komoditas pertanian lain seperti kopi. Sebelum kemunculan fenomena "third wave coffee", kopi dianggap sebagai suatu komoditas yang seragam. Dengan adanya fenomena "third wave coffee", maka konsumen memiliki preferensi khusus terhadap kopi.
ADVERTISEMENT
Apa sih sebenarnya "third-wave cofee" itu ?
Third wave coffee merupakan istilah yang diperkenalkan oleh Thrish Rothgen untuk membedakan dengan era bisnis kopi sebelumnya, yaitu kopi gelombang pertama dan kedua. Era bisnis kopi gelombang pertama ditandai dengan kopi produksi massal dalam kemasan dengan brand manufaktur. Kopi gelombang kedua merupakan era ketika kopi dijual di kedai kopi seperti Starbucks. Kopi gelombang ketiga adalah ketika penikmat kopi benar-benar peduli pada apa yang dia minum, mulai dari asal muasal biji, bagaimana pemrosesannya dan bagaimana manyangrai.
Fenomena maraknya kedai kopi artisan yang menjamur di berbagai kota besar dengan banyak didatangi generasi milenial menunjukkan fenomena ini semakin tumbuh di perkotaan. Di Yogyakarta dikenal Klinik Kopi yang menyajikan kopi premium di sebuah kedai di rumah. Sedangkan di kota Bogor, dikenal kedai kopi Ranin yang bukan hanya menyajikan kopi denganmetode seduh manual, namun juga menyajikan pengalaman kembali ke alam. Di dalam penyajian kopi, barista berkomunikasi akrab dengan konsumen, membina hubungan personal dan humanis. Barista juga melakukan edukasi dan co-produksi. Inovasi yang dilakukan pada level barista melalui proses co-kreasi ini turut menentukan bagaimana suatu kedai kopi berhubungan dengan petani maupun bagaimana melakukan roasting atau penyangraian kopi.
ADVERTISEMENT
Sebuah pergeseran dalam mengkonsumsi hasil bumi, dimana konsumen bukan hanya menikmati kopi, namun juga memperoleh pembelajaran atau edukasi mengenai kopi.
Produk tempe non-gmo bahan baku lokal (foto penulils)
Agroindustri tempe sudah mulai mengalami pergeseran itu. Tempe telah diakui dunia sebagai makanan super atau superfood. Ia dianggap sebagai makanan kaya protein nabati, sebagai pengganti protein hewani. Proses edukasi dalam usaha tempe perlu dilakukan. Salah satunya dengan mengintegrasikan antara produksi dan edukasi makanan sehat bermutu tinggi. Hal ini bisa menjadi penyemangat bagi produsen tempe untuk lebih menaikkan kualitas, dari sisi proses maupun sensori produk tempe.
Upaya inovatif yang bisa dilakukan adalah mendirikan sebuah usaha yang mengintegrasikan produksi dan edukasi, dengan mendirikan cafe atau resto premium dengan tempe dan produk turunannya sebagai menu utama.
ADVERTISEMENT