Konten dari Pengguna

Pengaruh Generative AI pada Kemampuan literasi Pendidikan Indonesia

Muhammad Arif Syahrudin
Saya adalah Mahasiswa Teknik Informatika yang memiliki minat pada Teknologi Web development, Artificial Intelligent dan Big Data.
28 April 2025 19:51 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Arif Syahrudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar Kumpulan Generative AI Populer saat ini
zoom-in-whitePerbesar
Gambar Kumpulan Generative AI Populer saat ini
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, literasi bukan sekadar kemampuan membaca dan menulis huruf, tetapi juga mencakup “kemampuan mengidentifikasi, memahami, menafsir, membuat, berkomunikasi, dan menghitung, menggunakan bahan cetak dan tertulis dalam berbagai konteks”.
ADVERTISEMENT
Di era sekarang teknologi sudah semakin pesat, berbagai pihak telah berlomba-lomba dengan berbagai inovasi teknologi yang begitu luar biasa yang dikembangkan untuk menunjang aktivitas diberbagai sektor, salah satunya disektor pendidikan. Salah satu teknologi yang berhasil memikat perhatian publik di dunia adalah Artificial Intelligent (AI) atau kecerdasan buatan. Teknologi ini muncul karena kemampuan yang dimilkinya sangat luar biasa yang dapat meniru keceradasan manusia. Salah satu AI yang masif dipakai yaitu Generative AI (GenAI). Di Indonesia sendiri teknologi ini sudah banyak yang menggunakannya dari berbagai kalangan. Namun, dari banyaknya keunggulan yang dihadirkan oleh teknologi ini, apakah ia bisa memperkuat atau bahkan bisa secara tidak langsung melemahkan kemampuan berliterasi penggunanya?
Apa itu Generative AI?
ADVERTISEMENT
Generative AI (GenAI) merujuk pada sebuah model kecerdasan buatan yang dibuat dengan konsep neural netwok atau jaringan syaraf. Model mempelajari data-data terdahulu, dan pada target luarannya, model bisa membuat sebuah data dan informasi baru. Data yang dimaksud seperti teks, gambar, audio, dan video, data-data ini dipelajari struktur dan fitur uniknya, sehingga nantinya dapat menghasilkan data baru yang mirip. GenAI dilatih dengan menggunakan milyaran data yang akhirnya dari pembelajaran yang dilakukan tersebut model dapat “merangkai” berbagai informasi baru dalam berbagai skenario. GenAI berbeda dengan AI tradisional yang berfokus pada pemecahan kasus klasifikasi, klasterisasi, dan prediksi. Contohnya seperti ChatGPT, Deepseek AI, Grok AI, Perplexity AI, Microsoft Copilot, Claude dan lain-lain.
Penggunaan Generative AI dalam Pendidikan Indonesia
ADVERTISEMENT
GenAI telah ramai digunakan oleh akademisi dan peserta didik di Indonesia untuk berbagai hal seperti untuk menyelesaikan tugas, mencari referensi, membuat tulisan, menghasilkan gambar, membantu dalam memahami konsep materi, mencarikan ide untuk metode pengajaran dan masih banyak lagi. Teknologi ini sejatinya berfungsi sebagai alat bantu/tools yang memudahkan akses informasi dan meningkatkan efisiensi kerja. Dengan GenAI, pengguna dapat memperoleh jawaban dan bahan ajar dengan cepat, tanpa harus menelusuri banyak sumber secara manual tetapi disisi lain pengguna harus harus tetap memverifikasi informasi dan jawaban yang dihasilkan agar memastikan kebenaran dan keakuratannya.
Namun, Di indonesia sendiri GenAI memiliki tantangan yang dihadirkan karena bebasnya penggunaan dan sangat mudah diakses, cukup banyak peserta didik justru menjadi ketergantungan pada AI seperti menyelesaikan tugas secara instan tanpa melibatkan berpikir kritis seperti tidak menggali kembali jawaban yang dihasilkan apakah sudah valid atau belum. Hal ini dapat memicu melemahkan kemampuan literasi pada peserta didik, yaitu keterampilan memahami, mengevaluasi dan menghasillkan ide secara mandiri.
ADVERTISEMENT
Dampak GenAI untuk meningkatkan literasi Pendidikan di Indonesia
1. Akses Informasi Tanpa Batas
GenAI seperti ChatGPT atau Perplexity AI memampukan siswa/mahasiswa mengakses jutaan referensi akademik dalam hitungan detik. Di Indonesia, di mana akses ke perpustakaan fisik dan buku langka, teknologi ini menjadi "jembatan" bagi pelajar di daerah terpencil untuk mendapatkan pengetahuan setara dengan kota besar.
2. Peningkatan Kreativitas dan Kolaborasi
GenAI bisa menjadi "rekan brainstorming" yang membantu siswa/mahasiswa mengembangkan ide original. Contoh: Guru di Jawa Tengah menggunakan MidJourney untuk merancang visualisasi sejarah Indonesia, memicu diskusi kritis tentang budaya lokal.
3. Personalized Learning
AI bisa menyesuaikan materi belajar dengan level pemahaman siswa. Misalnya, platform seperti Ruangguru mengintegrasikan GenAI untuk membuat latihan soal yang adaptif, memperkuat pemahaman konsep matematika atau sains.
ADVERTISEMENT
Tantangan GenAI yang melemahkan literasi Pendidikan di Indonesia
1. Kreativitas dalam berpikir yang Tergerus
Kebiasaan menggunakan AI tanpa melakukan verifikasi dan eksplorasi lebih lanjut terhadap informasi yang diberikan dapat mengakibatkan menurunnya rasa keingintahuan dan kreativitas. Hal ini disebabkan oleh kemudahan dan kecepatan yang dihasilkan AI, sehingga mendorong peserta didik menjadi malas untuk melakukan pendalaman sendiri.
2. Plagiarisme dan Keaslian Konten
Data yang diambil dari AI besar kemungkinan akan terdeteksi plagiat karena teknologi mencomot data dari berbagai sumber tanpa menyebutkan sumber datanya. Sementara unsur plagiarisme itu menyangkut pengambilan atau penggunaan pemikiran, tulisan, atau ide kepunyaan orang lain.
3. Menganggap AI selalu benar
GenAI sering kali menghasilkan "halusinasi" (informasi fiktif yang disajikan seolah faktual). Contoh: ChatGPT pernah menyebut "Universitas Brawijaya terletak di Surabaya". Seperti yang telah disinggung di awal, kesalahan fatal ini bisa diikuti siswa/mahasiswa jika tanpa verifikasi lebih lanjut.
ADVERTISEMENT
Terakhir, Generative AI ibarat pisau bermata dua, ia bisa memperkuat literasi jika digunakan secara bijak dengan panduan kurikulum yang tepat, tetapi juga berpotensi melemahkan daya kritis jika disalahgunakan. Kunci utamanya adalah keseimbangan-dengan memanfaatkan kecepatan AI tanpa mengorbankan kedalaman berpikir. Pendidikan Indonesia perlu beradaptasi dengan menyiapkan infrastruktur regulasi, SDM guru, dan kesadaran literasi digital peserta didiknya.