Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Tradisi Ma’nene: Ritual Sakral Penghormatan Leluhur di Tana Toraja
23 November 2024 22:26 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Muhammad Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia memiliki berbagai macam tradisi unik, salah satunya adalah tradisi yang berasal dari Suku Toraja. Tana Toraja adalah kabupaten yang berada di Provinsi Sulawesi Selatan. Dikenal sebagai salah satu daerah di Indonesia yang memiliki tradisi unik, yaitu Ma’nene, sebuah ritual sakral di mana mayat leluhur yang telah meninggal puluhan hingga ratusan tahun dikeluarkan dari makam (pa’ tene) untuk dibersihkan dengan serangkaian upacara adat.
ADVERTISEMENT
Latar Belakang dan Sejarah Tradisi Ma’nene
Ritual Ma’nene berasal dari gabungan kata "ma," yang berarti "orang," dan "nene," yang berarti "bayi" atau "anak kecil." Filosofi nama ini mencerminkan pandangan masyarakat Toraja yang menganggap leluhur mereka sebagai individu yang masih hidup dan harus dirawat seperti anak-anak.
Ritual Ma’nene berhubungan dengan ajaran Aluk Todolo, agama tradisional Suku Toraja yang memuja dewa-dewa alam dan nenek moyang. Dalam kepercayaan Aluk Todolo, kematian bukanlah akhir kehidupan, melainkan proses peralihan menuju dunia roh. Oleh sebab itu, jenazah tidak dianggap mati, melainkan dalam kondisi sakit atau tidur, dan disimpan dalam liang kubur berbentuk rumah atau batu, bukan dikuburkan.
Asal muasal tradisi Ma’nene bermula dari dua pemburu, Pong Rumasek dan Pong Rumanden, yang dalam perjalanan pulang dari Bone menemukan jasad seseorang yang sudah menjadi tulang belulang. Tanpa mengenal orang tersebut, mereka tetap merawat dan menguburkannya dengan layak, seperti memperlakukan anggota keluarga sendiri. Setiap kali melewati jalan itu, mereka menyempatkan diri untuk mengunjungi makam tersebut.
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu kemudian, arwah dari jasad itu muncul dan memberikan bantuan kepada Pong Rumasek dan Pong Rumanden. Sebagai bentuk terima kasih, arwah itu mengajarkan ramuan obat yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Setelah mempraktikkan ajaran tersebut, mereka tidak hanya berhasil menyembuhkan banyak orang, tetapi juga menerima keberkahan pada hasil panen dan berburu yang melimpah.
Pengalaman tersebut mengajarkan mereka bahwa jasad orang yang telah meninggal dan hanya tersisa tulang tetap harus dihormati dan dimuliakan. Kisah inilah yang menjadi dasar dari ritual Ma’nene.
Prosesi Upacara Ritual Ma’ nene
Tradisi Ma’nene secara rutin dilaksanakan 3 tahun sekali, pada bulan Agustus. Upacara ini dilakukan setelah musim panen, karena menurut pesan nenek moyang Aluk Todolo, mereka percaya adanya dewa tanaman yang akan datang merusak tanaman jika mereka tidak melakukan syukuran atas keberhasilan hasil panen.
ADVERTISEMENT
Prosesi tradisi Ma’nene diawali dengan pertemuan keluarga dalam satu rumpun di rumah adat Tongkonan. Hal ini bertujuan agar segala sesuatu yang berhubungan dengan rencana upacara Ma’nene dapat disepakati oleh pihak rumpun keluarga. Sebelum melakukan kegiatan inti, biasanya akan dilakukan acara seni, yaitu ma’ dondi atau ma’ badong yang dilaksanakan di tanah-tanah kosong. Ma’ dondi merupakan kegiatan seni tari-tarian dan nyanyian kedukaan yang dilakukan oleh anak muda sambil duduk membentuk lingkaran dan nyanyian berisi pantun, dengan maksud untuk menghibur keluarga yang meninggal. Namun, untuk saat ini, acara seni tersebut sudah jarang dilakukan.
Sedangkan ma’ badong adalah kegiatan seni yang dilakukan oleh orang dewasa dengan membentuk lingkaran dan berputar. Nyanyian ma’ badong berisi tentang riwayat hidup kerabat yang meninggal. Setelah acara ma’ dondi atau ma’ badong, upacara dilanjutkan dengan berkumpulnya seluruh rumpun keluarga di pa’ tene (makam khas Suku Toraja) dengan memanjatkan doa menggunakan bahasa Toraja kuno (to’ minauntuk) yang dilakukan oleh pihak keluarga yang dituakan (to’ mina). Pihak keluarga langsung membuka pa’ tene dan mengeluarkan jenazah untuk dibersihkan, mengganti pakaian, dan membersihkan pekuburan. Peti-peti yang mulai lapuk diperbarui dan dibungkus dengan kain-kain yang baru. Para kerabat akan membawakan kain atau pakaian baru, sirih, kapur sirih, daun pinang yang biasa disebut (panggan).
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, prosesi mengorbankan hewan seperti babi dan kerbau disesuaikan dengan jumlah jenazah di dalam pa’ tene dan berdasarkan berapa kelompok keluarga. Pada prosesi penyembelihan hewan, hewan tidak disembelih pada lehernya, tetapi ditombak tepat di bagian jantungnya Orang yang menombak hewan sembelih adalah seseorang yang ahli, biasa disebut To Pa’doketedong. Hewan-hewan yang dikurbankan melalui tahap dari yang terendah hingga tertinggi. Karena hanya ada dua hewan, yaitu babi dan kerbau, maka babi dikurbankan terlebih dahulu, barulah kerbau. Selanjutnya, bagian-bagian yang penting, seperti jantung, paru-paru, dan hati, yang disebut dengan Pe’ mala, digunakan untuk bahan-bahan sesajen/persembahan.
Setelah bahan persembahan sudah tersedia, maka to’ mina (pemimpin ritual) yang menganut Aluk Todolo, memulai dengan mengundang arwah nenek moyang melalui pembacaan doa-doa kuno dalam bahasa Toraja tingkat tinggi. Setelah itu, arwah nenek moyang diyakini hadir dan “memakan” persembahan melalui tubuh to’ mina. Setelah prosesi ini selesai, mereka meyakini akan terhindar dari gangguan jahat dan bencana yang dapat menimpa rumpun keluarga. Mereka juga percaya akan kelimpahan dan keberkahan hasil panen, karena sudah melaksanakan upacara Ma’nene sebagai wujud syukur kepada nenek moyang dan alam.
ADVERTISEMENT
Makna dan Nilai Tradisi Ma’ nene
Tradisi Ma’nene memiliki arti penting sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur dan keyakinan akan hubungan spiritual dengan arwah nenek moyang. Selain itu, ritual ini mencerminkan sejumlah nilai luhur, di antaranya:
Tradisi ini menunjukkan bagaimana masyarakat Toraja memelihara hubungan dengan leluhur yang mereka anggap tetap "hidup" secara spiritual, sehingga tetap dirawat dan dimuliakan melalui upacara Ma’nene. Hal ini menunjukkan rasa hormat kepada nenek moyang sebagai bagian dari identitas keluarga.
Ma’ nene menjadi momen untuk memperkuat solidaritas keluarga, di mana seluruh rumpun anggota keluarga berkumpul untuk melaksanakan ritual ini.
Pelaksanaan ritual ini juga menjadi bentuk ucapan rasa syukur atas hasil panen dan kelangsungan hidup dengan alam. Kepercayaan akan dewa-dewa tanaman menanamkan nilai kepedulian terhadap kelestarian lingkungan.
ADVERTISEMENT
Ma’nene adalah salah satu tradisi yang menjaga identitas budaya Suku Toraja, yang melestarikan adat istiadat serta nilai-nilai.
Tradisi Ma' nene lebih dari sekedar ritual, ia mencerminkan kepercayaa, nilai-nilai, dan kebijaksanaan lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun. Upacara ini mengajarkan kita tentang pentingnya rasa syukur, penghormatan terhadap leluhur, dan pemeliharaan keseimbangan dengan alam.
Sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas budaya Suku Toraja dan indonesia, Ma'nene perlu terus dijaga dan dilestarikan, tidak hanya sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur, tetapi juga untuk memberi inspirasi bagi generasi masa depan dalam mempertahankan kelestarian budaya dan keserasian dengan alam. Di tengah kemajuan zaman, melestarikan tradisi seperti Ma' nene adalah cara untuk tetap terhubung dengan akar budaya kita, sekaligus memperkaya peradaban dengan identitas budaya bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT