Konten dari Pengguna

Anak Saya Nonton YouTube Berjam-jam, Tapi Saya Tidak Biarkan Dia Main TikTok

Muhammad Arinal Rahman
Seorang akademisi dan penulis jurnal ilmiah yang berdedikasi pada bahasa dan pendidikan. Sedang menempuh S3 dalam ilmu linguistik terapan di University of Szeged, Hongaria, meniti perjalanan intelektual menuju pemahaman mendalam dan kebijaksaan.
20 April 2025 19:47 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Arinal Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar oleh StartupStockPhotos dari Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Gambar oleh StartupStockPhotos dari Pixabay
ADVERTISEMENT
"Gak takut anak kecanduan gadget?" Pertanyaan ini menghampiri saya hampir setiap minggu, seperti tagihan listrik yang tidak pernah absen. Sebagai ayah dari bocah lima tahun yang sudah bisa berhitung, membaca dan mengaji mandiri (ya, saya kadang sengaja menyisipkan ini dalam percakapan untuk sedikit pamer), jawabannya selalu membuat saya tersenyum kecut. Takut? Tentu saja! Seperti takutnya saya pada deadline disertasi atau tamu yang datang mendadak. Tapi melarang anak menyentuh gadget di zaman sekarang sama halnya dengan melarang ikan berenang, mustahil dan kontraproduktif.
ADVERTISEMENT
Di rumah kami yang tidak seberapa luas ini, berlaku hukum tak tertulis yang mungkin terdengar kontradiktif: anak boleh nonton YouTube Kids sampai matanya berbentuk persegi panjang (tentu dengan pengawasan), tapi TikTok, reels, atau shorts adalah barang haram yang lebih terlarang daripada coklat sebelum tidur. Dan bukan, ini bukan karena saya sok suci atau terlalu kolot. Ini murni karena setelah mendalami berbagai penelitian (sambil mempraktekkannya sebagai kelinci percobaan pribadi), saya menyadari bahaya konten-konten tersebut lebih mengerikan daripada monster di bawah tempat tidur yang ditakuti anak saya.

Otak Anak vs Video Pendek: Pertarungan yang Tidak Seimbang

Pernah dengar istilah "popcorn brain"? Itu istilah para ahli untuk menggambarkan otak yang sudah kecanduan video pendek. Bayangkan seperti makan keripik, sekali mulai susah berhenti, tapi tidak membuat kita kenyang.
ADVERTISEMENT
Saya baru paham betul fenomena ini ketika suatu hari anak saya tidak sengaja menonton YouTube shorts. Dalam 30 menit, dia berubah jadi "monster kecil" yang terus merengek minta "lagi, lagi!". Sangat mirip dengan efek permen, seperti terhipnotis menonton dan ketika gadgetnya kami ambil dia protes berlebihan padahal biasanya tidak pernah protes.

YouTube Kids vs TikTok: Beda Konten, Beda Dampak

Sebagai orang tua yang kebetulan juga seorang akademisi (ya, saya sedang mengejar gelar S3 linguistik di Hungaria), saya berusaha memilah konten digital dengan teliti, seperti memilih durian yang pas matangnya. YouTube Kids menawarkan konten edukatif berdurasi panjang yang membantu melatih fokus anak, sementara TikTok dan sejenisnya adalah badai dopamin yang memprogram ulang otak kecil mereka untuk terus menginginkan kepuasan instan.
ADVERTISEMENT
Durasi memang menjadi pertimbangan utama kami. Video 10-30 menit yang mengharuskan anak fokus jauh lebih baik ketimbang kilatan 15 detik yang membuat ketagihan seperti kacang atom. Saat menonton video berdurasi panjang tentang alam atau cerita, anak saya bisa tenang, menikmati, dan setelahnya masih bisa menceritakan kembali apa yang ia lihat. Bandingkan dengan setelah menonton shorts, ia hanya ingat ingin nonton lagi dan lagi.
Kualitas konten juga jadi prioritas. Video edukatif seperti lagu berhitung atau cerita Islami lebih kami utamakan daripada unboxing mainan yang hanya akan membuat dompet saya menjerit kesakitan. Dan yang terpenting, interaksi. Saya berusaha mendampingi dan mengajak diskusi tentang tontonannya, meski kadang yang keluar dari mulut saya hanyalah "Wah keren ya!" sambil mata tertuju pada layar laptop karena deadline mengejar.
ADVERTISEMENT
Jujur saja, di tengah kesibukan menulis disertasi dan mencari nafkah, kadang saya dan istri tidak bisa mendampingi 100% waktu. Itu manusiawi. Sebagai jalan tengah, kami meminta anak untuk memutar volume cukup keras sehingga kami masih bisa memantau dari kejauhan. Ini bukan solusi sempurna, tapi setidaknya memberi kami kesempatan untuk mengintervensi jika konten tidak sesuai.

Tips dari Ayah yang Juga Sering Keteteran

Berdasarkan trial and error selama beberapa tahun ini, saya belajar bahwa paranoia total terhadap teknologi sama tidak efektifnya dengan membiarkan anak bermain TikTok sepuasnya.
Parental control memang membantu, tapi jangan percaya sepenuhnya, algoritma platform digital terkadang bisa meloloskan konten yang tidak sesuai. Satu video tentang dinosaurus bisa sekejap berubah menjadi konten yang kurang pantas untuk anak-anak.
ADVERTISEMENT
Membuat kesepakatan jelas juga sangat membantu. Di rumah kami, aturannya sederhana: "Setelah dua video habis, waktunya belajar membaca atau mengaji." Ketika disampaikan dengan tegas namun lembut, anak cenderung mematuhi. Ini lebih efektif daripada ancaman yang jarang ditindaklanjuti.
Menyediakan alternatif non-digital juga penting. Rumah kami dipenuhi buku, puzzle, dan mainan tradisional yang selalu siap menjadi alternatif ketika waktu gadget habis. Menariknya, setelah beberapa saat beradaptasi, anak biasanya malah asik bermain dengan alternatif tersebut, mengingatkan kita bahwa dunia nyata masih punya pesona yang tak tergantikan.
Yang terpenting dari semua ini adalah: orang tua harus siap untuk lebih aktif terlibat. Tidak ada jalan pintas. Memberikan gadget agar anak tenang memang mudah, tapi konsekuensinya bisa jangka panjang dan serius.
ADVERTISEMENT

Penutup: Tidak Ada Orang Tua Sempurna

Saya menulis ini bukan sebagai pakar parenting. Saya hanyalah seorang ayah yang masih belajar, sering khilaf, kadang kalah dengan rengekan anak, tapi terus berusaha memperbaiki diri dan metode pengasuhan.
Di era di mana anak balita sudah mahir mengoperasikan gadget, tantangan kita sebagai orang tua memang jauh lebih kompleks dari generasi sebelumnya. Tapi selama kita mau bersusah-payah selektif dalam memilih konten dan konsisten dalam penerapan (meski terkadang gagal), screen time bisa menjadi alat bantu, bukan ancaman.
Dan untuk yang merasa artikel ini terlalu menggurui, saya minta maaf. Anggap saja ini berbagi pengalaman seorang ayah yang masih dalam proses belajar. Kalau Anda punya tips lain, saya siap mendengarkan, karena perjalanan parenting ini masih panjang dan penuh tantangan baru setiap harinya.
ADVERTISEMENT
Referensi:
Akgun, E., & Mirzajee, M. R. (2024). Play, Pause, and Repeat: Understanding the consequences of excessive short video consumption on Swedish Male Adolescents.
Li, T., Liu, H., & Liu, X. (2024). Interdisciplinary Insights into Short Video Addiction: Integrating Psychological and Brain imaging Approaches in a Comprehensive Review.
Rideout, V. (2021). The Common Sense Census: Media Use by Kids Age Zero to Eight in America, A Common Sense Media Research Study,[United States], 2013, 2017.
Subramanian, K. R. (2018). Myth and mystery of shrinking attention span. International Journal of Trend in Research and Development, 5(3), 1-6.