Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.1
Konten dari Pengguna
Analisis Kritis Kebijakan Bahasa dan Identitas Nasional dalam Era Orde Baru
30 Maret 2024 16:46 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Muhammad Arinal Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam mengupas sejarah Orde Baru, naratif yang sering muncul adalah gambaran rezim Soeharto sebagai pemerintahan otoriter yang represif dan penuh pelanggaran hak asasi manusia. Meskipun hal tersebut benar adanya, kita juga harus mengakui bahwa Orde Baru memiliki sisi lain yang seringkali terlupakan, terutama dalam upayanya mengatasi krisis ekonomi dan membangun stabilitas nasional pada awal kepemimpinannya.
ADVERTISEMENT
Di tahun 1966, Indonesia berada dalam situasi kritis dengan ekonomi yang porak-poranda, inflasi tinggi mencapai 635,26 persen, utang yang membengkak, serta terisolasi dari dunia internasional. Soeharto mengambil langkah pragmatis dengan menstabilkan perekonomian melalui utang baru dan penundaan pembayaran utang, serta memperkuat peran militer untuk menjaga keamanan. Meski lambat, Indonesia mulai bangkit dari keterpurukan.
Namun, di balik kemajuan ekonomi yang dicapai, represi politik dan pelanggaran HAM terus berlangsung. Penculikan aktivis, penembakan mahasiswa, dan pembunuhan massal menjadi noda kelam dalam catatan sejarah Orde Baru. Selain itu, korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) juga mewarnai rezim ini, mencederai upaya pembangunan nasional.
Dalam kajian linguistik, Orde Baru menawarkan studi kasus menarik tentang bagaimana kekuasaan politik dapat membentuk identitas nasional melalui kebijakan bahasa. Di satu sisi, penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi berperan penting dalam mempersatukan keragaman etnis dan budaya di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa pada tahun 1971, hanya 40,78% penduduk Indonesia yang menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu. Namun, pada tahun 1990, angka ini telah meningkat menjadi 75,0%.
Di sisi lain, penekanan berlebihan pada Bahasa Indonesia justru mengabaikan kekayaan bahasa daerah yang merupakan warisan budaya penting. Berdasarkan data Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, terdapat lebih dari 718 bahasa daerah di Indonesia, dan sebagian besar mengalami penurunan jumlah penutur semenjak kebijakan Orde Baru yang lebih mengutamakan Bahasa Indonesia.
Dalam menganalisis fenomena ini, kita dapat menggunakan Teori Hegemoni Kultural dari Antonio Gramsci. Teori ini menyoroti bagaimana kekuatan politik dan budaya dapat mengontrol dan membentuk cara orang berpikir dan bertindak melalui dominasi budaya.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Orde Baru menggunakan Bahasa Indonesia sebagai alat untuk memperkuat hegemoni politiknya, menciptakan narasi nasional yang mendukung legitimasinya. Bahasa Indonesia digunakan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk di sekolah, media massa, dan administrasi publik, memperkuat narasi nasional yang diatur sesuai kepentingan politik pemerintah. Sehingga menciptakan kesatuan linguistik yang memperkuat identitas nasional yang seragam.
Namun, pendekatan ini juga menimbulkan kontrol sosial yang berlebihan. Berlandaskan pada pemikiran Michel Foucault, ketika bahasa daerah diabaikan atau ditekan, hal ini dapat mengakibatkan penurunan status sosial bagi penutur bahasa tersebut dan menekan warisan budaya mereka.
Sebagai contoh, di bawah Orde Baru, banyak bahasa daerah dianggap sebagai hal yang kurang modern atau kurang penting dibandingkan dengan Bahasa Indonesia. Hal ini menyebabkan penurunan penggunaan dan pengajaran bahasa-bahasa daerah di sekolah-sekolah, yang pada gilirannya dapat mengancam kelangsungan hidup dan pengembangan bahasa-bahasa tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam upaya membangun identitas nasional, Orde Baru juga mengabaikan variasi sosiolinguistik yang terjadi dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Hipotesis variasi kelas sosial dalam bahasa dari William Labov dapat memberikan pemahaman tentang bagaimana perubahan sosial dan politik dapat memengaruhi variasi bahasa dalam masyarakat.
Di bawah Orde Baru, penggunaan Bahasa Indonesia baku dipromosikan secara aktif sebagai bentuk kesatuan nasional. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, masih terjadi variasi bahasa yang mencerminkan latar belakang sosial, budaya, dan geografis masing-masing individu.
Dengan demikian, meskipun Orde Baru berhasil mencapai stabilitas ekonomi dan mempersatukan Indonesia melalui penggunaan Bahasa Indonesia, kebijakan bahasanya juga memiliki kelemahan dalam mengabaikan keberagaman bahasa dan budaya di Indonesia.
Dalam mengupayakan pembangunan bangsa, kita perlu belajar dari pengalaman Orde Baru agar dapat membentuk kebijakan bahasa yang lebih inklusif dan menghargai keragaman budaya, tanpa mengorbankan upaya penyatuan nasional.
ADVERTISEMENT