Masa Depan Demokrasi Indonesia: SJW, Buzzer, Fanatisme, dan Polarisasi

Muhammad Arinal Rahman
Seorang akademisi dan penulis jurnal ilmiah yang berdedikasi pada bahasa dan pendidikan. Sedang menempuh S3 dalam ilmu linguistik terapan di University of Szeged, Hongaria, meniti perjalanan intelektual menuju pemahaman mendalam dan kebijaksaan.
Konten dari Pengguna
19 Februari 2024 7:41 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Arinal Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: CapCut's picture generator using AI
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: CapCut's picture generator using AI
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebagai seorang akademisi linguistik terapan yang tengah menimba ilmu di Eropa, kesempatan untuk terlibat langsung dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 sebagai ketua KPPSLN bagaikan gerbang yang membuka mata saya terhadap realitas demokrasi Indonesia di era globalisasi.
ADVERTISEMENT
Di balik gegap gempita pesta demokrasi yang terlaksana di tanah air, terhampar fenomena menarik yang mengundang rasa ingin tahu dan menanti ditelisik lebih dalam. Pengalaman berharga ini tidak hanya memberikan saya pemahaman baru tentang kompleksitas demokrasi, tetapi juga membangkitkan refleksi mendalam tentang masa depan demokrasi Indonesia di tengah arus globalisasi yang kian deras.
Berada di garis depan penyelenggaraan pemilu di luar negeri, saya dipertemukan dengan berbagai realitas yang berbeda dari apa yang biasa saya saksikan di Indonesia. Dinamika politik yang terjalin di antara para diaspora Indonesia, keragaman budaya dan bahasa yang mewarnai proses pemungutan suara, hingga gesekan ideologi yang termanifestasi dalam perdebatan antar pendukung kandidat, semuanya menjadi panorama yang membuka mata saya terhadap sisi lain demokrasi Indonesia.
Sumber: CapCut's picture generator using AI
Di tengah hiruk pikuk kontestasi politik, saya menemukan beberapa fenomena menarik yang patut dikaji lebih lanjut. Pertama-tama, mari kita telaah fenomena social justice warrior (SJW) dalam konteks politik. Konsep ini dapat dipahami melalui lensa teori politik yang berfokus pada representasi dan partisipasi politik dari berbagai kelompok dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
SJW seringkali muncul karena adanya ketidakpuasan terhadap ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam sistem politik dan sosial. Seperti yang diungkapkan oleh filosof John Rawls, dalam teorinya tentang keadilan sebagai kesetaraan (justice as fairness), bahwa setiap individu memiliki hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam masyarakat.
Namun, dalam konteks pemilihan umum, fenomena ini dapat merusak proses demokrasi jika tidak disertai dengan pemahaman yang mendalam tentang platform dan visi politik dari kandidat yang dipilih. Hal ini dapat diperkuat dengan data dari lembaga survei yang menunjukkan bahwa motivasi pemilih tidak selalu didasarkan pada pemahaman yang jelas tentang kebijakan yang diajukan oleh kandidat, tetapi lebih didorong oleh perasaan keterikatan emosional terhadap narasi tertentu yang digunakan oleh kandidat atau tim kampanyenya.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, perlu diperhatikan peran para buzzer dan media sosial dalam membentuk opini publik. Dalam konteks politik modern, media sosial telah menjadi saluran utama untuk berbagi informasi dan mempengaruhi opini publik. Namun, kita juga harus menyadari bahwa konten yang tersebar di media sosial seringkali tidak diverifikasi dan cenderung bersifat bias.
Seperti yang dikemukakan oleh Noam Chomsky dalam teorinya tentang propaganda media, bahwa media massa sering kali digunakan sebagai alat untuk memanipulasi opini publik demi kepentingan tertentu. Dalam konteks pemilu, penyebaran informasi yang tidak akurat atau tendensius dapat merusak integritas proses demokrasi. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memiliki literasi media yang tinggi dan mampu menyaring informasi yang diterima dengan kritis.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, kita perlu mengkaji dampak dari ketidakmampuan masyarakat untuk menerima kritik terhadap kandidat yang mereka dukung. Dalam teori politik, konsep kritisisme merupakan bagian integral dari proses demokrasi yang sehat. Seperti yang diungkapkan oleh filosof Karl Popper dalam konsep falsifiabilitas, bahwa sebuah teori atau klaim harus terbuka untuk dikritik dan diuji, dan kesalahan harus diakui dan diperbaiki.
Namun, dalam konteks politik praktis, seringkali kita melihat ketidakmampuan masyarakat untuk menerima kritik terhadap kandidat atau partai politik yang mereka dukung. Hal ini dapat mengakibatkan terpolarisasinya masyarakat dan merusak dialog politik yang konstruktif.
Dalam hal ini, pendekatan yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip filosofis seperti toleransi dan pemahaman saling mendukung dapat menjadi landasan untuk membangun kembali jembatan komunikasi antara kelompok yang berbeda pandangan.
ADVERTISEMENT
Terakhir, mari kita refleksikan tentang peran kita sebagai warga negara dalam memperkuat demokrasi. Seperti yang diungkapkan oleh filosof Michel Foucault dalam pemikirannya tentang biopolitik, bahwa setiap tindakan politik individu memiliki dampak yang signifikan dalam membentuk struktur dan dinamika kekuasaan dalam masyarakat.
Oleh karena itu, menjadi penting bagi kita untuk memahami bahwa partisipasi politik tidak hanya terbatas pada hak kita untuk memilih dalam pemilihan umum, tetapi juga melibatkan komitmen untuk terus mengkritik dan menantang kebijakan publik yang tidak sesuai dengan nilai-nilai demokratis. Dengan demikian, kita dapat menjadi agen perubahan yang aktif dalam memperbaiki dan memperkuat sistem politik kita.
Dalam kesimpulan, fenomena yang diungkapkan dalam pemilu 2024 menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia masih memiliki tantangan besar dalam membangun partisipasi politik yang berkualitas dan beradab. Namun, dengan kesadaran akan kompleksitas dinamika politik dan komitmen untuk terus belajar dan beradaptasi, kita dapat bersama-sama menciptakan masa depan yang lebih cerah untuk demokrasi kita.
ADVERTISEMENT