Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Memulai Reformasi Masalah Antrean dan Skema Haji Indonesia
10 Mei 2025 11:21 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Muhammad Arinal Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
"Nak, kamu baru lahir kemarin? Cepat daftar haji sekarang, biar umur 40 tahun kamu bisa berangkat!"
Begitulah celetukan yang kian familiar di telinga masyarakat Indonesia. Sebuah humor yang sesungguhnya menyimpan ironi mendalam tentang realitas antrean haji di negeri dengan populasi Muslim terbesar di dunia ini.
ADVERTISEMENT
Bayangkan saja, setiap tahunnya, lebih dari 5 juta umat Islam Indonesia dengan setia menanti panggilan suci menuju Baitullah. Namun, seperti kata pepatah, "jauh panggang dari api" sebagian harus menunggu belasan hingga puluhan tahun, bahkan ada yang "keburu dipanggil Allah" sebelum sempat menjawab panggilan-Nya ke Tanah Suci.
Dengan populasi Muslim sekitar 237 juta jiwa, Indonesia mendapat jatah kuota resmi sekitar 237.000 jamaah per tahun, jumlah tertinggi di dunia, sesuai rumus pemerintah Arab Saudi di mana satu jemaah per seribu Muslim di setiap negara.
"Wah, banyak dong?" Anda mungkin berpikir demikian.
Tapi tunggu dulu! Ketika pendaftar aktif mencapai lebih dari lima juta orang, matematika sederhana menunjukkan bahwa kita membutuhkan sekitar 21 tahun untuk menghabiskan antrean saat ini, dengan asumsi tidak ada pendaftar baru (yang tentu saja mustahil!).
ADVERTISEMENT
Para pengamat kebijakan haji sering menyebutnya sebagai paradoks kelimpahan yaitu situasi di mana suatu negara memiliki jumlah Muslim yang sangat besar, tetapi justru menghadapi tantangan besar dalam mengakomodasi keinginan warganya untuk berhaji karena keterbatasan kuota dan kapasitas fisik di Mekkah. Hal ini juga berarti kompetisi untuk menunaikan rukun Islam kelima menjadi sangat ketat.
Kenapa Tidak Minta Kuota Lebih Banyak Saja?
"Pak Menteri, minta tambah kuota dong!" Sebuah teriakan yang sering terdengar di forum-forum keagamaan.
Sayangnya, solusinya tak sesederhana itu. Mekkah dan Mina memiliki kapasitas fisik yang hanya mampu menampung sekitar 2,5 juta jemaah per musim haji dari seluruh dunia. Ini bukan semata masalah kuota di atas kertas, tapi juga keamanan dan kenyamanan ibadah.
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah diskusi panel tentang hubungan Indonesia-Arab Saudi beberapa waktu lalu, seorang pakar menjelaskan dengan analogi cerdas: "Bayangkan kita punya restoran dengan 100 kursi, tapi yang mau makan ada 500 orang. Menambah menu tidak akan menyelesaikan masalah, karena kendalanya ada pada kapasitas tempat."
Haji dan Diplomasi Kuota
Indonesia perlu mengambil inisiatif untuk mendorong Arab Saudi membentuk semacam "Liga Pengirim Jamaah Besar" sebuah forum permanen yang terdiri dari India, Pakistan, Bangladesh, Indonesia, Nigeria, dan Mesir.
Alih-alih saling sikut untuk mendapatkan kuota lebih banyak, kenapa kita tidak berkolaborasi untuk sistem distribusi yang lebih efisien? Forum ini bisa merumuskan skema distribusi kuota dinamis berbasis kesiapan logistik dan manajemen pengiriman. Indonesia, dengan sistem digitalisasi haji yang sudah maju, bisa membagikan pengalaman berharga. Indonesia kan sudah pakai aplikasi pelacak jamaah sejak 2018! Coba tanya India, mereka masih pakai sistem manual atau sudah digital?
ADVERTISEMENT
Selain itu, alih-alih hanya merengek minta tambahan kuota, Indonesia bisa menawarkan kontribusi nyata untuk penyelenggaraan haji global. Ini bisa dimulai dengan pelatihan petugas haji lintas negara, di mana Indonesia bisa membagikan metode penanganan jamaah lanjut usia yang efektif melalui workshop bersama. Kemudian dilanjutkan dengan pengembangan teknologi deteksi kepadatan berbasis AI untuk jalur lempar jumrah yang dapat mengurangi risiko tragedi Mina terulang. Tak ketinggalan, Indonesia juga dapat menawarkan bantuan logistik dengan mengirimkan tenaga medis terlatih untuk membantu penanganan jamaah dari berbagai negara.
Kalau kita mau tambahan kuota 10.000, ya harus bawa 'mahar' dong, misalnya 100 dokter spesialis atau teknologi pendingin hemat energi untuk tenda jamaah di Arafah!
Reformasi Internal: Belajar dari Model Qurrah India dan Adaptasi Lokal
Sebelum menuntut perubahan dari pihak lain, Indonesia perlu melihat ke dalam dan memperbaiki sistem antreannya sendiri. Menariknya, India, negara dengan jumlah Muslim terbesar kedua di dunia, telah menerapkan sistem "Qurrah" atau undian haji yang terbukti efektif mengatasi persoalan serupa.
ADVERTISEMENT
Dalam sistem Qurrah India, pendaftar haji dikelompokkan berdasarkan kategori usia dan kemudian diikutsertakan dalam undian digital yang transparan dan disaksikan publik. Mereka yang tidak terpilih mendapat prioritas lebih tinggi pada undian tahun berikutnya, sehingga peluang keberangkatan meningkat seiring waktu. Sistem ini juga memberi porsi khusus bagi lansia di atas 70 tahun dan mereka yang telah mendaftar lebih dari tiga kali berturut-turut.
Bagaimana jika kita mengadopsi sistem Qurrah ala India yang transparan, namun tetap mempertahankan antrean berbasis waktu pendaftaran yang sudah berjalan? Indonesia bisa menerapkan model hibrid yakni 70% kuota tetap menggunakan sistem antrean berdasarkan urutan pendaftaran, sementara 30% dialokasikan untuk undian dengan prioritas khusus bagi lansia, pemohon berulang, dan kasus-kasus khusus.
ADVERTISEMENT
Sistem hibrid ini bisa dikembangkan dengan memperkenalkan skema antrean dinamis yang memprioritaskan pendaftar berdasarkan kombinasi usia, riwayat pendaftaran, dan kondisi kesehatan. Dilanjutkan dengan program "Haji Saat Siap" yang memungkinkan pendaftar muda mengikuti undian atau menggeser antrean mereka secara sukarela untuk memberi kesempatan pada mereka yang lebih membutuhkan. Selain itu, kampanye nasional "Haji Berkualitas" juga perlu digalakkan untuk menanamkan pemahaman bahwa haji bukan sekadar mengejar status sosial. Berbagai ceramah agama juga untuk mengedukasi masyarakat agar mendaftar haji ketika benar-benar siap secara spiritual, bukan karena tekanan sosial.
Kombinasi sistem antrean dan undian ini akan menciptakan keseimbangan antara keadilan (fairness) dan pemerataan kesempatan (equity). Bagi yang sudah menunggu lama, jalur antrean tetap menjamin kepastian keberangkatan, sementara sistem undian memberi harapan bagi pendaftar baru, terutama yang berusia lanjut atau memiliki kondisi khusus.
ADVERTISEMENT
Belajar dari Tabung Haji Malaysia: Inovasi Finansial untuk Kemandirian Haji
Berbicara tentang pengelolaan haji, ada satu tetangga yang patut kita tengok: Malaysia dengan model "Tabung Haji"-nya yang legendaris. Didirikan sejak 1963, Tabung Haji Malaysia bukan sekadar lembaga pengelola haji, melainkan institusi keuangan syariah terintegrasi yang mengelola dana calon jamaah untuk investasi produktif.
"Tabung Haji Malaysia itu seperti elephant in the room yang selalu kita abaikan. Padahal, mereka memiliki model bisnis yang sangat brilian," Prinsipnya sederhana tapi efektif, dana setoran awal calon jamaah tidak "diparkir" dalam rekening diam, melainkan diinvestasikan dalam berbagai instrumen syariah, mulai dari perkebunan kelapa sawit, properti, hingga pasar modal.
Hasilnya? Tabung Haji Malaysia mampu memberikan subsidi signifikan kepada jamaah. Pada tahun 2023, misalnya, biaya haji reguler di Malaysia hanya sekitar 10.980 Ringgit (sekitar Rp39 juta), padahal biaya riilnya mencapai 28.000 Ringgit (sekitar Rp99 juta). Artinya, ada subsidi hampir 70% dari keuntungan investasi dana haji!
ADVERTISEMENT
Indonesia sebenarnya sudah memiliki Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang dibentuk pada 2017 dengan semangat serupa. Namun, perjalanan pengelolaan dana haji di Indonesia diwarnai dengan skeptisisme dan kontroversi. Ingat saat pemerintah beberapa tahun lalu mengusulkan penggunaan dana haji untuk pembangunan infrastruktur? Penolakan masif terjadi di mana-mana. "Uang haji bukan untuk jalan tol!" begitu seruan yang sering terdengar.
"Trauma kolektif masyarakat Indonesia terhadap banyaknya kasus penyelewengan dana publik membuat ide investasi dana haji sering disalahpahami sebagai 'mengambil uang jamaah'," Padahal, jika diterapkan dengan benar seperti Malaysia, investasi dana haji justru mampu menciptakan nilai tambah signifikan bagi calon jamaah.
Perbedaan utama lainnya terletak pada pengalaman dan skala waktu pengelolaan. Tabung Haji Malaysia telah berinvestasi selama enam dekade dengan rekam jejak yang terbukti, sedangkan BPKH Indonesia masih berusia muda dan belum memiliki portofolio investasi yang matang. Ditambah lagi, penetapan biaya haji Indonesia masih sangat bergantung pada fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap riyal Saudi dan dolar AS.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, kita punya potensi yang jauh lebih besar dibanding Malaysia. Bayangkan, dengan 5 juta calon jamaah yang sudah setor awal, dana yang terkumpul bisa mencapai Rp150 triliun! Jika dikelola dengan baik, ini bisa menurunkan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) hingga 40-50%.
Untuk membangun kembali kepercayaan publik terhadap pengelolaan dana haji, kita perlu tiga pilar utama. Pertama, transparansi total, di mana setiap rupiah yang diinvestasikan dan setiap keuntungan yang dihasilkan dapat dilacak secara real-time oleh calon jamaah melalui aplikasi digital. Kedua, partisipasi stakeholder, melibatkan perwakilan jamaah dan otoritas keagamaan dalam pengambilan keputusan investasi. Ketiga, pilot project yang berdampak nyata, memulai dengan proyek percontohan yang hasilnya bisa langsung dirasakan dalam bentuk penurunan biaya haji atau peningkatan kualitas layanan.
ADVERTISEMENT
Model integrasi Tabung Haji juga menarik untuk diadopsi: Malaysia mengintegrasikan seluruh aspek perjalanan haji, mulai dari pendaftaran, asuransi, penginapan, hingga penerbangan ke dalam satu sistem terintegrasi, sehingga efisiensi biaya bisa dimaksimalkan. Di Indonesia, masing-masing komponen ini masih dikelola secara terpisah, seringkali melibatkan banyak perantara yang menambah struktur biaya.
"Indonesia perlu melakukan transformasi mindset dari 'menabung untuk naik haji' menjadi 'berinvestasi sambil menunggu haji'," tambah seorang praktisi ekonomi syariah. Dengan komunikasi publik yang tepat dan mekanisme pengawasan yang ketat, model pengelolaan dana haji seperti Malaysia bisa menjadi game-changer dalam mengurai masalah antrean haji Indonesia.
Jika Indonesia serius mengadopsi dan mengadaptasi model Malaysia dengan sentuhan lokal, bukan tidak mungkin di masa depan, pendaftaran haji tidak lagi menjadi beban finansial yang berat bagi umat Muslim Indonesia. Sebaliknya, ia bisa menjadi bentuk tabungan produktif jangka panjang yang mendukung perekonomian syariah nasional, sekaligus memastikan ibadah haji tetap terjangkau bagi semua kalangan.
ADVERTISEMENT
Kita Berhak Bermimpi: Sebuah Visi Jangka Panjang
Bayangkan sebuah skenario di masa depan:
Tahun 2035, Indonesia telah menjadi pemimpin dalam inovasi penyelenggaraan haji global. Aplikasi buatan Indonesia saat itu digunakan oleh 45 negara untuk manajemen jamaah mereka. Sebagai imbalannya, Indonesia mendapat kuota tambahan 50.000 jamaah sebagai "bonus kontribusi teknologi".
Sementara itu, sistem antrean dinamis Indonesia menjadi model yang dipelajari oleh negara-negara Muslim lainnya. Waktu tunggu haji kini rata-rata hanya 8 tahun, jauh lebih baik dari 30 tahun di masa lalu.
Tidak ada yang mustahil jika kita menggabungkan diplomasi cerdas, inovasi teknologi, dan reformasi internal
Haji bukan sekadar ritual ibadah individual, ia adalah fenomena global yang membutuhkan solusi kolaboratif. Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar, memiliki tanggung jawab sekaligus kesempatan untuk menjadi pemimpin dalam reformasi sistem haji internasional.
ADVERTISEMENT
Bukan dengan mengeraskan suara meminta tambahan kuota, tapi dengan menawarkan gagasan cerdas, kontribusi nyata, dan teladan manajemen internal yang efektif. Dengan kombinasi reformasi sistem antrean, optimalisasi dana haji, dan pendekatan teknologi, Indonesia bisa membuat sistem haji yang lebih cepat, lebih adil, dan lebih berkualitas tanpa menaikkan beban biaya bagi masyarakat, dan bahkan juga mampu mengangkat martabat Indonesia di mata dunia.
Seperti kata pepatah Arab: "Al-'aql as-salim fi al-jism as-salim" (Pikiran yang sehat terdapat dalam tubuh yang sehat). Maka, sistem haji yang sehat hanya akan tercipta dari diplomasi yang sehat pula, bukan sekadar menuntut, tapi juga memberi.
Jadi, kapan kita mulai?