Konten dari Pengguna

YouTube Kids: Solusi Edukasi Anak atau Ancaman bagi Perkembangan Mereka?

Muhammad Arinal Rahman
Seorang akademisi dan penulis jurnal ilmiah yang berdedikasi pada bahasa dan pendidikan. Sedang menempuh S3 dalam ilmu linguistik terapan di University of Szeged, Hongaria, meniti perjalanan intelektual menuju pemahaman mendalam dan kebijaksaan.
17 Maret 2025 20:20 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Arinal Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar oleh Victoria dari Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Gambar oleh Victoria dari Pixabay
ADVERTISEMENT
Sebagai orang tua yang sedang menempuh studi S3 di Hungaria, saya kerap berdiskusi dengan rekan sejawat saya, seorang ayah dari anak berusia 2 setengah tahun dari Irak, terkait tentang tantangan mengasuh anak di era digital. Kami sepakat bahwa YouTube Kids dapat menjadi "teman setia" anak-anak kami di tengah kesibukan riset kami di universitas. Bukan tanpa alasan. Platform ini kami pilih karena fitur parental control-nya, berbeda dengan Instagram atau TikTok yang kerap menyelipkan konten dewasa, mulai dari tarian sensual hingga lirik lagu tak bermakna. Di kota Szeged yang akses ke komunitas Indonesia atau Arab terbatas, YouTube Kids menjadi jendela bagi anak-anak kami untuk belajar bahasa, mengeksplorasi sains lewat Nat Geo Kids, berhitung matematika dengan Numberblock, atau sekadar bernyanyi bersama Cocomelon.
ADVERTISEMENT
Tapi keputusan ini tidak mudah. Media sosial dipenuhi konten parenting yang menyatakan gadget sebagai "musuh perkembangan anak". Sebagai akademisi di bidang linguistik terapan, saya mencoba tak terjebak histeria itu. Saya dan rekan saya yang dari Irak justru melihat YouTube Kids sebagai wadah di mana anak-anak kami menggali kosakata baru dari video Blippi, atau menirukan ekspresi empati dari serial Pocoyo ataupun Peppa Pig. Ini sejalan dengan riset Sarwar dkk. (2023) dan Ganelza (2024) yang membuktikan konten terstruktur di YouTube Kids bisa meningkatkan kemampuan kognitif anak, termasuk daya ingat dan pemecahan masalah. Saya menemukan sendiri anak saya berumur 4 tahun sudah menguasai pengurangan, penjumlahan bahkan perkalian 1-10 di luar kepala setelah rutin menonton video numberblock. Hal ini saya buktikan dengan membelikan sebuah buku soal matematika berhitung perkalian yang terdiri dari 50 soal perkalian sederhana seperti 7x3, 8x9, dan sebagainya. Setelah mengerjakan soal tersebut dengan penuh antusias, anak saya bisa menjawab semua soal dengan betul pada usianya yang hanya 4 tahun. Hal ini didukung oleh penelitian Choi (2024) terkait perkembangan kognitif anak sejak dini, yang menunjukkan bahwa konten edukatif di YouTube Kids dapat merangsang kemampuan kognitif, emosional, dan sosial anak.
ADVERTISEMENT
Namun, saya tak menutup mata pada risikonya. Suatu hari, anak saya tiba-tiba menyanyikan lagu pop dewasa yang terselip di antara video edukasi seperti lagu “APT” yang dipopulerkan oleh Jenny dan Bruno Mars. Ini mengingatkan saya pada studi Syahputra dkk. (2024) tanpa filter ketat, algoritma platform bisa menjerumuskan anak ke konten tak diinginkan. Di sinilah peran aktif orang tua diperlukan. Saya sendiri menerapkan aturan khusus untuk anak saya agar dia hanya menonton tayangan yang saya setujui. Saya juga lakukan blokir apabila terdapat channel yang tidak berfaedah menurut saya. Di samping itu, kuncinya adalah pendampingan dan pengawasan. Setelah memberikan gadget, saya tidak serta merta membebaskan anak saya menonton apapun yang dia mau. Saya atur dengan volume lumayan sehingga saya tahu apa yang dia tonton walau tanpa harus selalu duduk di samping anak saya. Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa masalahnya bukan pada teknologi, tapi pada kesadaran orang tua. Riset Imaniah dkk. (2020) menyebutkan bahwa orang tua yang hanya memberi gadget tanpa mendampingi, berisiko memicu kecanduan.
ADVERTISEMENT
Di akhir diskusi dengan rekan saya yang dari Irak itu, kami berkesimpulan bahwa YouTube Kids bisa menjadi alat edukasi brilian, seperti temuan Mawaddah dan Halili (2020) tentang stimulasi kognitif anak prasekolah. Namun kami juga sepakat bahwa hal ini juga bisa menjadi bumerang jika orang tua abai. Pilihannya ada di tangan kita, larut dalam ketakutan akan teknologi, atau memanfaatkannya secara kritis.
Referensi:
1. Choi, Y. J. (2024). A content analysis of cognitive, emotional, and social development in popular kid’s YouTube. International Journal of Behavioral Development. https://doi.org/10.1177/01650254241239964
2. Genelza, G. G. (2024). YouTube Kids: A Channel for English Language Acquisition. https://doi.org/10.20944/preprints202406.0105.v1
3. Imaniah, I., Dewi, N. F. K., & Zakky, A. (2020). Youtube kids channels in developing young children’s communication skills in english: parents’ beliefs, attitudes, and behaviors. 6(1), 20–30. https://doi.org/10.21009/IJLECR.061.03
ADVERTISEMENT
4. Mawaddah, W. H., & Halili, M. (2020). Youtube kids as a medium for children’s cognitive development. 3(2), 95–104. https://doi.org/10.18860/PRDG.V3I2.10352
5. Sarwar, M. A., Ahmed, D., & Ahmad, S. (2023). Exploring The Influence of Youtube Kids App on Children’s Cognitive Skills. Journal of Journalism, Media Science & Creative Arts, 3(1), 117–136. https://doi.org/10.56596/jjmsca.v3i1.53
6. Syahputra, I., Syahputra, H., Putra, H. E. R., Siregar, E. S., Iqbal, M., & Khairul, K. (2024). Mengoptimalkan YouTube Kids di Perangkat Android sebagai Teman Aman Anak di SDS AR-RASYD. 4(1), 10–15. https://doi.org/10.58369/jpmg.v4i1.153