Konten dari Pengguna

David De Gea Ditolak Sepak Bola Modern

Muhammad Arsyad
Senior Content Writer AMD Media. Penikmat budaya pop. Penyuka kajian media dan komunikasi. Warga Pekalongan.
10 Juli 2023 17:28 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Arsyad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Manchester United David de Gea terlihat sedih setelah pertandingan usai hadapi Watford di Stadion Vicarage Road, Watford, Inggris, Sabtu (20/11). Foto: David Klein/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Manchester United David de Gea terlihat sedih setelah pertandingan usai hadapi Watford di Stadion Vicarage Road, Watford, Inggris, Sabtu (20/11). Foto: David Klein/REUTERS
ADVERTISEMENT
Saya tidak punya persinggungan apapun pada David De Gea. Selain karena saya adalah fans Manchester United. Saya tidak komprehensif mengenal De Gea. Tidak ada kekaguman yang muncul padanya ketika saya menyaksikan pertandingan Manchester United. Mungkin saya terlalu kuno atau kurang mengerti sepak bola.
ADVERTISEMENT
Memang, agak sulit mengagumi De Gea secara personal dan emosional. Saya cukup mengagumi statistiknya saja di lapangan. Bahwa ia adalah satu dari sekian banyak penjaga gawang terbaik yang pernah memperkuat United, berdasarkan statistik, saya mengakui hal itu.
Saya hidup sebagai penggemar Manchester United bukan karena De Gea. Edwin van der Sar adalah satu-satunya kiper Manchester United yang menyita ruang di hati saya. Sehingga hampir tidak ada ruang untuk De Gea. Akan tetapi, dua musim belakangan, ruang yang penuh pepat dengan kecintaan saya terhadap Van der Sar ingin saya hak milikkan untuk De Gea.
Dua musim belakangan, De Gea adalah manifestasi dari penjaga gawang yang tabah. Ia sabar menghadapi segala gejolak. Bahkan menghadapi hinaan dan cacian. Sebagai seorang pesepakbola, kendati kiper, hal-hal semacam itu sulit lepas. Namun, saya percaya, suatu hari nanti, orang-orang yang menghina De Gea, bahkan dari fans United, akan berbalik arah. Menjadi memberikan rasa iba pada De Gea.
ADVERTISEMENT

De Gea Berpisah dengan Manchester United

David De Gea pada laga RB Leipzig vs Manchester United. Foto: REUTERS/Annegret Hilse
Beberapa hari terakhir mungkin adalah contohnya. Setelah terkatung-katung. Antara dipertahankan atau disingkirkan. Penjaga gawang itu resmi berpisah dengan Manchester United.
Air mata kesedihan yang dibalut dengan kata-kata manis membanjiri media sosial. Saat saya menulis ini, De Gea masih saja trending di Twitter. Banyak yang memberikan kata-kata mutiaranya. Kalau bisa saya singkat, intinya para penggemar yang membombardir ucapan perpisahan bagi De Gea, merasa sulit untuk melepas kiper yang satu ini.
Ia adalah warisan Fergie yang terakhir, kata mereka. De Gea adalah orang terakhir di skuad Manchester United yang juara Liga Inggris. De Gea adalah legenda. De Gea ini dan itu. De Gea harus diberikan ucapan selamat tinggal. Mereka semua mengucapkan itu—entah dari hati yang terdalam, atau sekadar mengikuti apa yang sedang tren—memperlihatkan kecintaannya pada De Gea.
ADVERTISEMENT
Kecintaan seorang fans penting bagi pemain. Penting pula bagi klub. Dan jelas, penting bagi De Gea. Saya membayangkan ucapan-ucapan itu dibaca oleh De Gea. Betapa ia akan tersentuh hatinya mengetahui ada banyak orang yang betul-betul mencintainya. Benar-benar mencurahkan seluruh perasaan padanya, terutama tentu saja sebagai pemain Manchester United.
Rangkaian ucapan-ucapan di media sosial terhadap cerainya De Gea dengan Manchester United, membuat saya yang tidak punya ikatan kecintaan secara personal padanya, ikut luruh dalam atmosfer itu. De Gea ternyata menjadi bagian kecil, bukan hanya bagi penggemar Manchester United, tapi seluruh umat manusia. Setidaknya, itu yang bisa saya tebak lewat twit-twit yang berseliweran belakangan ini.
Bagaimana mungkin kiper yang belakangan ini juga hobi mengobral blunder, bisa mendapat perhatian banyak orang ketika ia berpisah dengan United? Saya mau tidak percaya, sampai saya membaca twit kawan saya. Dia bukan penggemar sepak bola totok, sama sekali tidak mengaku sebagai fans Manchester United, namun ia nimbrung soal berpisahnya De Gea dengan MU.
ADVERTISEMENT

Memang Harus Berpisah

De Gea pada laga melawan Middlesbrough. Foto: Anthony Devlin/Reuters
Memang, perpisahan ini memperlihatkan seolah-olah Manchester United tidak tahu terima kasih pada De Gea. Setelah melewati berbagai macam negosiasi, tarik-ulur perkara gaji, De Gea akhirnya tidak lagi berstatus pemain Manchester United. Nasibnya yang terbengkalai dan seolah-olah disingkirkan saja, membuat seolah-olah Manchester United kejam.
Apalagi narasi-narasi yang muncul adalah De Gea sudah mengabdi selama ini, mengapa United memperlakukannya seperti itu? Tak sedikit pula yang mengaitkan ini dengan tabiat orang Belanda. Erik ten Hag yang tidak menginginkan De Gea disebut seperti anggota Nazi berkepala plontos yang kejam dan berdarah dingin.
Padahal De Gea memang tidak lagi dibutuhkan oleh tim. Dan kebetulan soal taktik, gaya bermain, visi, misi, strategi Manchester United berada di tangan Ten Hag. Pelatih pasti tahu apa yang mestinya dibutuhkan. Ten Hag tentu saja sudah mengukur apa yang perlu dilakukan. Siapa yang akan dipinang, dan siapa yang bakal diusir.
ADVERTISEMENT
Sepak bola itu dinamis. Ten Hag khatam soal itu. Sementara De Gea belum sepenuhnya menyadari hal itu. De Gea masih butuh waktu untuk mengikuti arus sepak bola modern yang dinamis, serba cepat, dan serba terburu-buru. Namun, umur De Gea sudah banyak.
De Gea menghabiskan umurnya untuk menjadi penjaga gawang paling top. Kiper penghenti tendangan atau shot stopper terbaik, mungkin dalam satu dasawarsa terakhir. Tidak ada cukup waktu bagi De Gea untuk berlatih lagi. De Gea juga kekurangan ruang untuk trial and error menjadi kiper yang dimau Ten Hag: ball-playing keeper.
Tidak sekali-dua kali De Gea menjadi kiper yang tidak hanya mencegah bola masuk ke gawang, tapi turut membantu sirkulasi bola. Menguasai bola dan mengirim umpan ke depan agar tim bisa leluasa membangun serangan. Kadang ia berhasil, tapi tak jarang juga gagal dan bahkan menghasilkan blunder.
ADVERTISEMENT
Soal contoh, Anda bisa mencarinya sendiri di YouTube. Salah satu yang saya ingat adalah ketika menghadapi Sevilla di Liga Eropa . De Gea tak mengerti situasinya. Ia yang harusnya mengirim umpan lambung, justru mengoper ke bek terdekatnya yang sedang ditekan.

Ditolak Sepak bola Modern

David de Gea saat laga Manchester United (MU) vs Fulham di Stadion Old Trafford dalam pekan terakhir Liga Inggris 2022/23 pada 28 Mei 2023. Foto: Action Images via Reuters/Andrew Boyers
Sekali lagi, ruang dan waktu bagi De Gea untuk berlatih lagi tidak ada. Sepak bola modern menuntut hasil instan. Bohong besar kalau masih ada yang percaya proses. Kalaupun harus ada proses, saya rasa De Gea adalah pemain yang tidak sanggup berproses dengan cepat.
Ia diberi waktu semusim oleh Ten Hag. Tapi De Gea masih belum mencapai target minimal yang dimau sang pelatih. Bahwa De Gea meraih Golden Gloves, itu perkara lain.
ADVERTISEMENT
Manchester United tidak ingin menunggu. Ten Hag juga tidak akan terus-menerus mengajari dasar-dasar menjadi ball-playing keeper. Dan penggemar, jelas tidak akan peduli hal itu. Sepak bola kini benar-benar menganut paham Mourinho. Yang penting tujuannya, bukan prosesnya. Menang anda disanjung, jika kalah anda harus menerima hinaan yang tidak berujung.
Bagi pelatih, terutama pelatih Manchester United, hasil adalah yang utama. Gaya permainan yang aduhai hanyalah cara. Uang yang tidak pernah habis hanyalah alat. Pemain sekadar bidaknya. Taktik seorang pelatih hanya corat-coret di atas kertas atau papan tulis. Yang terpenting menang, menang, dan menang. Maka dari itu, pelatih juga tidak akan mengambil risiko memainkan pemain yang bukan tipenya.
Demikianlah sepak bola modern. Jika seorang pemain tidak mau beradaptasi. Eh tidak, maksud saya, lambat beradaptasi, ia akan tertinggal. Yang lebih menyedihkannya lagi, ia akan lenyap dimakan zaman. Saya pikir, De Gea adalah salah satu pesepak bola yang ditolak oleh kejamnya sepak bola modern.
ADVERTISEMENT