Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Dear Pemkot Pekalongan, Ini Waktu yang Tepat untuk Mengaku Kalah
27 Mei 2022 16:58 WIB
Tulisan dari Muhammad Arsyad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dear Pemkot Pekalongan,
Pertama-tama, saya ingin meluruskan maksud, bahwa tidak ada niatan sama sekali untuk memperkeruh suasana. Karena tanpa saya bikin keruh pun, banjir rob di Kota Pekalongan sudah membuat suasana keruh.
ADVERTISEMENT
Saya juga tidak berniat sama sekali untuk menjelekkan tempat kelahiran saya tercinta. Karena tanpa saya jelekkan pun, banjir rob dan penanganan gontai pemerintahnya sudah cukup membuat nama Kota Pekalongan jelek.
Beberapa hari ini rob kembali menggenangi sebagian besar wilayah di Kota Pekalongan. Sampai sini saya ingin memberi batasan terlebih dahulu. Bukan hanya Kota Pekalongan yang terkena banjir rob.
Tapi wilayah pesisir lain seperti di Semarang dan Kabupaten Pekalongan juga terdampak. Lantaran saya tinggal di Kota Pekalongan, dan saya tahu bagaimana terbelakangnya cara pemerintah menangani rob, maka saya putuskan menulis ini hanya untuk Pemkot Pekalongan saja.
Jenuh
Jujur. Saya jenuh setiap kali berita rob mengemuka. Sebabnya rob–yang lagi-lagi selalu disebut bencana alam akibat curah hujan dan air meluap itu–selalu menjadi bahan bercandaan. Selain berita yang muncul sekadar informatif dan hanya sebagai corong Pemkot membual.
ADVERTISEMENT
Kemarin saja, saya menemukan berita, Pemkot mengatakan bahwa ini adalah rob yang paling parah. Jelas, saya tidak akan mengomentari template omongan Pemkot tersebut. Yang saya yakin, humasnya saja belum tentu belajar komunikasi politik yang benar.
Sudah kesekian kalinya Pemkot Pekalongan bilang begitu. Bukan hanya walikota yang sekarang, tapi walikota yang dulu pun hanya sanggup bilang demikian. Lucunya lagi, di tengah banjir rob ini masih banyak yang mengaitkan pada hal-hal klenik, mitos, agama, dan sesuatu yang akal seekor biawak yang baru lahir saja tak sampai ke sana.
Dengan berita yang muncul, masalahnya, Pemkot tidak punya cara yang jitu dalam mitigasi bencana. Nggak usah muluk-muluk terkait penanggulangan yang menelan biaya ratusan juta. Gaya berkomunikasi Pemkot soal rob saja masih buruk.
ADVERTISEMENT
Padahal rob ini sudah berlangsung belasan tahun. Tahun ini hanya sebagian kecil saja. Sebelumnya, Pemkot Pekalongan juga pernah mengatakan ini adalah rob terparah. Tapi apa kelanjutannya?
Memang benar bahwa Pemkot Pekalongan tak seperti Scott Morrison, si perdana menteri Australia yang pergi ke Hawai saat negaranya dilanda kebakaran hebat. Tapi, sebagai otoritas yang berwenang, hanya berkomentar “Ini rob terparah” saja belumlah cukup, dan justru menunjukkan titik lemah Pemkot Pekalongan itu sendiri.
Titik Lemah
Dengan mengatakan “Ini rob terparah”, seolah-olah pada tahun-tahun sebelumnya, pada banjir rob sebelumnya, Pemkot Pekalongan masih bisa mengatasinya. Pemkot Pekalongan masih bisa berkembang lambe bahwa Kota Pekalongan mau punya wisata air.
Padahal yang sebelumnya pun belum betul dalam mengatasinya. Saya pernah melakukan reportase saat menjadi wartawan di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) di kampus saya. Kalau tidak salah, sekitar tahun 2018.
ADVERTISEMENT
Ya, kamu nggak salah baca. Sekali lagi, kamu beneran nggak salah baca. Nggak perlu kamu mengucek mata segala. Karena memang di tahun 2018, rob pernah terjadi.
Kalau ingatan saya tidak memberontak, waktu itu desas-desus soal rob terparah juga mengemuka. Bahkan mungkin saja waktu itu Pemkot juga melancarkan informasi itu.
Tapi saya nggak mau membahas itu. Oke mari kita lanjutkan saja. Hasil reportase itu sudah menjadi majalah. Dan majalah tersebut tentu saja tidak lebih populer dari media mainstream, yang cuma datang, meliput kalau ada aksi cepat tanggap.
Salah satu hasil reportasenya, yang kemudian terbit dalam Majalah LPM Al-Mizan adalah bahwa tanggul itu bukanlah solusi final. Awalnya saya merasa majalah tersebut tidak akan berguna di kemudian hari.
ADVERTISEMENT
Namun, ketika saya melihat sebuah postingan bahwa Pemkot sedang membangun tanggul darurat, saya pikir majalah itu sangat relevan. Yang pasti pernyataan "Tanggul bukan solusi final" sejatinya memang datang dari otoritas pemerintah.
Dalam majalah tersebut, datang dari salah satu pegawai Dinas PUPR. Dari sini saya bisa simpulkan ada inkonsistensi kebijakan. Atau bahkan bisa jadi lebih parah lagi. Bahwa ada ketidaksinkronan antara satu otoritas dengan otoritas yang lain. Kalau sudah begini, masih yakin bisa mengatasi rob?
Yang Seharusnya
Pertanyaan tersebut tentu tidak muncul dari ruang hampa. Kekhawatiran saya terhadap banjir rob sudah naik ke taraf pasrah dan hanya bisa berdoa. Bukan hanya berdoa agar Robb yang di sana menghapus rob yang di sini. Tapi juga turut bermunajat agar Pemkot Pekalongan diberikan kesadaran.
ADVERTISEMENT
Sampai sini saya ingin memberikan batasan lagi. Betapa saya tidak akan menisbikan apa yang dilakukan Pemkot Pekalongan. Sama sekali tidak.
Saya akui Pemkot sudah melakukan banyak cara untuk menanggulangi rob. Dari yang berbiaya gotong royong, sampai yang "hanya gue yang boleh borong". Lalu, kenapa tidak mengapresiasi?
Mengapresiasi memang tidak ada salahnya, kalau yang diapresiasi itu memang pantas untuk diapresiasi. Mengapresiasi kinerja Pemkot atau pemerintah dalam tataran luas, itu menurut saya adalah tindakan aneh—jika tidak menyebutnya bodoh.
Kita nggak perlu bertepuk tangan atas kinerja Pemkot. Karena memang itu sudah tugas mereka. Nah, baru kalau mereka gagal melaksanakan tugas itu, tidak becus dalam menyusun rencana, kacau dalam anggaran, kita ini berhak untuk mengkritik.
ADVERTISEMENT
Itu dijamin oleh konstitusi. Meskipun, saya sendiri juga nggak tahu konstitusi yang dipakai adalah konstitusi dari universe yang mana.
Mari kita kembali ke soal rob. Ada banyak sebetulnya yang bisa dilakukan Pemkot Pekalongan. Tapi, Allahu Akbar, mereka itu seperti tertutup kupingnya dari usulan-usulan yang datangnya dari akar rumput.
Mereka lebih memilih usulan yang berproyek daripada usulan yang beriptek. Jika hal begini tetap terjadi, maka sulit untuk mengatakan bahwa Pemkot bakal sukses tangani rob.
Mengidentifikasi masalah juga mestinya diperhatikan. Namun, Pemkot tampaknya gagal melakukan identifikasi masalah. Rob seakan-akan hanya masalah bencana biasa. Bencana yang timbul lantaran perubahan iklim.
Fokusnya hanya pada permukaan air yang naik. Pasang surut dan semacamnya. Es di kutub yang mencair. Padahal masalahnya lebih kompleks daripada itu.
ADVERTISEMENT
Salah satunya penurunan muka tanah. Banyak penelitian menyebut penurunan muka tanah di daerah pesisir sangat gawat, gak terkecuali Kota Pekalongan. Penurunannya bisa 2-11 cm per tahun.
Satu dan yang signifikan dampaknya itu saja jarang disebut-sebut oleh Pemkot. Saya pikir ini memang bermasalah. Apalagi ketika mereka mengabaikan faktor penurunan tanah ini, di sisi lain pembangunan yang ada justru membuat permukaan tanah makin cepat menurun.
Saya tidak peduli apakah pembangunan di Kota Pekalongan selama ini hanya berorientasi pada profit. Saya juga nggak mau tahu, ada main serong atau tidak dalam pembangunan-pembangunan. Tapi pastinya, yang saya lihat dan cermati, Pemkot Pekalongan sudah kalah.
Pemkot, mau bagaimanapun alasannya. Mau berbusa bilang sedang membangun tanggul. Tanggulnya sukses untuk solusi jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, hasilnya masih nihil. Dan saya kira, tidak ada salahnya untuk mengakui kekalahan ini. Akui saja, bahwa rob memang susah dikendalikan.
Akui saja kekalahan itu. Minta maaf juga tidak ada salahnya. Minta maaf dan mengaku kalah bukan tindakan pecundang. Justru itu adalah tindakan ksatria.
Apa perlu saya wakilkan minta maaf? Kan nggak juga tho. Ha mosok karyawan yang salah, bosnya yang suruh minta maaf?