Konten dari Pengguna

Ketakutan Dicap Plagiat

Muhammad Arsyad
Senior Content Writer AMD Media. Penikmat budaya pop. Penyuka kajian media dan komunikasi. Warga Pekalongan.
16 September 2022 16:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Arsyad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
DariuszSankowski/pixabay
zoom-in-whitePerbesar
DariuszSankowski/pixabay
ADVERTISEMENT
Salah satu masalah yang jadi ancaman seorang pekarya adalah dicap sebagai plagiat. Apa pun jenis karyanya, kalau sudah kena stempel plagiat di dahi, jadi sangat merepotkan. Untung saja, saya belum pernah mengalami hal semacam itu.
ADVERTISEMENT
Namun, sebagai penulis konten, tak bisa bohong, boleh jadi saya akan mendapat kasus serupa. Lagi enak-enak nonton drakor, tiba-tiba ada notifikasi masuk di ponsel. Notifikasi itu bunyinya, ada seseorang yang protes karena tulisannya saya plagiat.
Amit-amit sih. Namun, mau amit-amit sampai memukul tanah atau lempar jumroh pun, ancaman dituduh plagiat memang bakalan ada. Sebagai tukang nulis konten, hal itu sama menyebalkannya dengan dituduh mencemarkan nama baik dan dijerat UU ITE.
Apa yang akan saya lakukan? Tentu sulit. Kalau dituduh mencemarkan nama baik, saya mungkin masih bisa berdebat. Seminimalnya, bisa belajar buat ngeles sama UU ITE. Atau, ya, mungkin saya juga bisa meminta bantuan LBH. Tapi bagaimana dengan kasus plagiat?

Plagiarisme

Seorang penulis yang saya definisikan cukup masyhur, karena banyak menulis cerpen, pernah buat sebuah status di Facebook. Bunyi status Facebook-nya itu begini. Ia bilang, dosa plagiarisme itu sulit dihapuskan. Orang yang ketahuan plagiat reputasinya akan remuk.
ADVERTISEMENT
Saya belum memastikan pendapat begitu asalnya dari mana. Apa ontologi dan epistemologinya, saya belum pernah menganalisis. Tapi pendapat itu bikin ciut nyali.
Saya yang baru mencoba menulis. Iseng-iseng saja menulis, tahu hal semacam itu buruk, saya jadi takut. Takut tiba-tiba ada orang mengklaim tulisan saya plagiat.
Ketakutan saya bertambah nyata karena saya adalah pekarya akar rumput. Saya tidak punya privilese. Tidak punya dua anak buah Kang Muslihat di belakang saya. Jadi, kalau ada yang mengaku itu, tamatlah riwayat saya.
Belum selesai ketakutan itu, lahir ketakutan lain lagi. Saya ingat, pernah ada sebuah kejadian agung. Katakanlah seorang penulis moncer. Karyanya sudah banyak. Namun, suatu ketika ia mengaku-ngaku sebuah tulisan seseorang sebagai tulisannya. Dan itu dimuat di media beken.
ADVERTISEMENT
Cukup sampai situ saja yang saya tahu. Namun, dari kasus itu, kesimpulannya, tindakan semacam itu jelas tidak etis. Barangkali masuk ke ranah plagiat. Tapi, nggak tahu juga. Karena jika itu plagiat, harusnya reputasi si penulis buruk.
Nyatanya, orangnya masih saja eksis. Kelas menulisnya masih saja laris. Stop! Sampai sini saya cuma bisa menyimpulkan satu hal: bias itu ada.

Bias Plagiarisme

Pada kenyataannya ada bias soal etis tidak etis dalam berkarya. Lalu, kemudian saya berpikir. Bisa jadi, soal plagiarisme ini, juga ada bias semacam itu. Bahwa yang kuat bisa saja mengaku-ngaku. Sementara, yang lemah gampang ditindas. Ketika tulisannya dicontek, tapi bukan dari golongan yang kuat, tidak bisa melawan.
Saya pernah mengalami hal itu. Jadi, ceritanya saya menulis sebuah tulisan olahraga. Temanya adalah Pele. Tentu saya tidak perlu menjelaskan soal siapa itu Pele, bukan?
ADVERTISEMENT
Untuk menulis itu, saya meriset sumber. Saya cari sumbernya di media luar negeri. Tentu saja, yang saya lakukan tidak mencomot artikel luar negeri itu mentah-mentah. Tapi hanya datanya yang saya ambil.
Kemudian saya susun. Saya tulis sedemikian rupa. Tak lupa, saya cantumkan sumber artikel yang saya kutip. Artikel berbahasa barat. Lalu, saya unggah ke website tempat kerja saya.
Oh, Tuhan. Demi celana dalam Neptunus, dua hari berselang muncul tulisan Pele di website lain. Tema yang diangkat, sudut pandang, dan informasi yang disampaikan persis seperti apa yang saya tulis. Website itu tidak terlalu besar. Hanya saja, punya kekuatan.
Saya mencoba melayangkan protes ke pemilik website. Tapi bangsatnya, si pemilik website itu seperti tidak merasa bersalah. Padahal jelas-jelas ia hanya mengubah sedikit tulisannya biar nggak sama persis dengan tulisan saya. Sudah gitu nggak nyantumin sumber pula. Bangsat, bangsat. Yang begini kurang plagiat gimana coba?
ADVERTISEMENT
Sayangnya, si pemilik website, sekali lagi, tidak merasa bersalah. Ia justru adem ayem, karena barangkali kekuatan menyelimuti usaha website plagiatnya. Sedangkan saya, tidak sama sekali.
Oh kalau gitu, saya akhirnya minta bantuan media sosial. Karena biasanya kekuatan viral lebih ampuh daripada perkataan Luhut Panjaitan. Hasilnya, tentu gagal. Saya baru menyadari kalau saya itu bukan selebtwit.
Pengikut saya juga bukan pengikut yang “berkualitas”. Jadi, ya, menguap begitu saya. Sampai sini, sebagaimana kata Joko Pinurbo, "Segala kenang tertidur di dalam kening". Maka, satu-satunya kenangan yang tidur di kening saya adalah bahwa privilese itu benar-benar nyata. Hal itu makin membuat saya takut dicap plagiat.

Batasan Plagiat

Saya bekerja di sebuah media. Katakanlah demikian. Tugas saya setiap hari adalah menulis konten. Tepat di titik itu, ketakutan soal plagiarisme memenuhi kepala saya. Tiba-tiba saya berpikir, kalau nanti ada yang melabrak tulisan saya bagaimana?
ADVERTISEMENT
Misalnya, ada orang yang menuding tulisan saya plagiat. Atau bisa jadi ada manusia yang menghardik tulisan saya karena hanya mencomot informasi. Mengembangkannya menjadi tulisan baru yang utuh. Apa itu menyebutnya, hmmm, ya, rewrite.
Konon menulis ulang, dengan bersumber artikel lain, itu sangat tidak etis. Dan bisa disebut plagiat. Sampai sini saya makin bingung. Bagaimana mungkin saya menulis berdasarkan sumber, kemudian dengan sudut pandang saya, disebut plagiat?
Sekalipun informasi yang saya tulis persis dengan sumber, apa itu layak disebut plagiat? Untunglah saya mengikuti diskusi virtual dengan Dea Anugrah. Dan saya mendapat pencerahan dari sana.
Dea bilang, bahwa rewrite itu tidak mesti plagiat. Semua orang yang bekerja di media online, toh akrab dengan menulis ulang. Jadi tidak perlu terlalu risau, katanya. Kita, menurut Dea, bekerja di ruang yang sama. Jadi, nggak masalah rewrite, apalagi pekerjaan sering menuntut target.
ADVERTISEMENT
Dari situ saya sedikit lega. Sedikit mendapat pencerahan. Meski saya tahu, rewrite itu ada batasannya. Dea Anugrah juga mengatakan demikian. Kalau kita menulis dengan tujuan berkarya, kata Dea, lebih baik nggak usah rewrite. Tapi sudah dapat pencerahan begitu, ketakutan dicap plagiat tetap saja membanjiri perasaan saya.

Semua Takut Dicap Plagiat

Seiring waktu, saya menyadari bahwa takut dicap plagiat itu hal yang juga lumrah. Toh, bukan cuma saya yang merasakan hal itu. Orang penting, bahkan sampai akademisi sekalipun ternyata, ya, takut juga dianggap plagiat. Tapi soal ini saya nggak tahu apakah tetap ada privilese atau tidak.
Misalnya, yang plagiat itu adalah rektor atau pejabat tinggi di kampus, apakah reputasinya akan jelek setelah ketahuan plagiat? Ah, jika ingatan saya tidak berkhianat, kasus plagiarisme Rektor Universitas Negeri Semarang (UNNES) yang dulu itu nggak jelas sampai mana.
ADVERTISEMENT
Ada yang ingat kasusnya? Kalau ingat, tolong ingatkan saya itu kasus sampai mana!
Belum kasus plagiarisme yang menimpa pejabat di kampus lain. Saya kok yakin, kasusnya cuma seperti kuda nil di dalam lumpur: menguap. Lucunya, meski obat penawar racun dicap plagiat adalah privilese, seperti kekuasaan, tapi tetap saja, ketakutan dicap plagiat akan muncul dalam sanubari setiap pembuat karya.
Bahkan, saya yakin, pejabat di lingkungan akademisi sekalipun, susut nyalinya jika dicap plagiat. Haqqul Yaqin saya, siapa pun yang dicap plagiat akan mencari pembenaran. Tinggal, siapa yang dicap plagiat itu.
Kalau ia adalah orang berkuasa, maka pembenaran itu bisa menjadi benar. Apabila orang yang dicap plagiat itu tak punya privilese, kekuasaan, dan ketenaran, sudah pasti selain dicap plagiat, di dahinya akan distempel "PEMBUAL".
ADVERTISEMENT