Skripsi Dihapus Adalah Omong Kosong yang Harusnya Memang Nggak Terwujud

Muhammad Arsyad
Senior Content Writer AMD Media. Penikmat budaya pop. Penyuka kajian media dan komunikasi. Warga Pekalongan.
Konten dari Pengguna
1 September 2023 8:11 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Arsyad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi. Foto: Charles DeLoye/UNSPLASH
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. Foto: Charles DeLoye/UNSPLASH
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Detik pertama membaca berita soal penghapusan skripsi oleh Mendikbudristek tersebut saya terbelalak. Detik ke-25 saya tertawa namun tidak keras. Saya tertawa bukan karena senang, tapi lebih kepada reaksi spontan saya membaca sesuatu yang kocak.
ADVERTISEMENT
Membaca berita skripsi yang akan dihapus itu seolah membaca cerpen-cerpennya Misbach Yusa Biran, tulisan-tulisannya Agus Mulyadi, atau esai-esai lucu Mahbub Djunaidi. Oh sungguh, berita skripsi dihapus itu bahkan lebih kocak ketimbang aksinya Harry Maguire.
Oh ya, kalau kamu tidak mengenal siapa itu Harry Maguire, besok saya teleponkan. Atau supaya tidak kelamaan, kamu ketik saja "Harry Maguire lucu" di YouTube atau media sosial. Sudah? Kalau sudah saya lanjutkan.
Baik.
Saya menjumpai informasi bahwa skripsi akan dihapus itu di media sosial Instagram. Sedang rehat setelah menulis satu artikel bola, informasi itu muncul waktu saya lagi nye-croll Instagram.
Tentu setelah menemukan informasi itu, hal pertama yang saya cek adalah kolom komentar. Saya ingin tahu saja, apa yang muncul dari benak warganet setelah membaca berita itu. Yah, meskipun saya sudah tahu bakal bagaimana isi komentarnya. Apa yang saya lakukan itu lebih kepada memastikan bahwa dugaan saya benar.
ADVERTISEMENT
Betul ternyata, banyak dari warganet yang menyambut dengan riang gembira penghapusan skripsi. Banyak dari mereka menganggap bahwa ide penghapusan skripsi sangat revolusioner. Mereka mendukung Nadiem Makarim, sang Mendikbudristek RI.
Jujur saja, saya bukan termasuk orang yang senang dengan langkah itu. Tidak, sama sekali tidak ada kecemburuan melihat generasi mendatang tidak mengerjakan skripsi, sedangkan saya dulu melakukannya. Supaya terang, ini saya jelaskan.

Tidak Ada Penghapusan Skripsi

Mendikbud Nadiem Makarim. Foto: dok. kemdikbud.go.id
Saya mencoba mencari tahu sumber berita lain. Perlu saya baca utuh beritanya terlebih dahulu sebelum memutuskan. Dan setelah mencari berita-berita lain, saya menjumpai pernyataan Nadiem Makarim akan hal itu.
Dikutip dari kumparanNEWS, Nadiem Makarim buru-buru mengklarifikasi pernyataannya sendiri. Bahwa Kemendikbudristek memang sudah tidak mewajibkan skripsi. Namun, keputusan itu dilemparkan ke kebijakan masing-masing kampus.
ADVERTISEMENT
Jadi, misal kampusmu masih memakai skripsi sebagai standar kelulusan, maka kamu tidak perlu ngamuk sampai-sampai lantang mengatakan kampusmu melanggar aturan yang ditetapkan Kemendikbudristek.
"Kalau perguruan tinggi itu merasa memang masih perlu skripsi atau yang lain itu adalah hak mereka," ujar Nadiem, lulusan Sekolah Bisnis Harvard yang satu ini.
Dengan kata lain, hak untuk menentukan standar atau syarat kelulusan diserahkan ke pihak kampus, pemerintah tidak ikut campur. Tentu masih ada pernyataan lengkap dari Nadiem Makarim yang isinya juga ada istilah-istilah njelimet. Tapi intinya yang saya tangkap itu. Saya nggak mau menjelaskan istilah-istilah rumit yang disampaikan Nadiem Makarim. Kamu bisa cari sendirilah itu.
Namun, dengan tidak mewajibkan skripsi, menurut saya, pemerintah seolah-olah lepas tangan dalam menentukan syarat kelulusan. Di satu sisi, ini akan sedikit mengendurkan cengkeraman pemerintah di dunia pendidikan. Tapi di sisi lain, lewat kebijakan semacam ini pemerintah bisa lepas tanggung jawab begitu saja, terutama soal profil para sarjana.
ADVERTISEMENT
Misalnya lulusan sebuah universitas dalam beberapa tahun gagal menjawab tantangan zaman, atau katakanlah banyak dari lulusannya tidak akseptabel, maka yang akan jadi sasaran tembak adalah pihak universitas tersebut.
Mengapa? Karena universitaslah yang kelak bertanggung jawab dalam menentukan persyaratan kelulusan. Takutnya nih, takutnya ya, nanti bakal begini:
"Gimana nih, kualitas lulusan universitas di Indonesia kok buruk?"
Lalu, pemerintah dalam hal ini Kemendikbudristek akan berdalih, "Lho, kami tidak menentukan syarat kelulusan. Coba tanya ke universitas terkait."
Ha... modyar!

Sistemnya yang Ribet

Ilustrasi menulis skripsi. Foto: justplay1412/Shutterstock
Meski Nadiem mengklarifikasi bahwa pihaknya tidak akan menghapus skripsi, tapi dengan frasa "tidak mewajibkan" sebetulnya intinya sama saja. Toh memang isu penghapusan skripsi ini sudah sejak lama. Bahkan sudah dipraktikkan di jurusan tertentu di beberapa kampus.
ADVERTISEMENT
Tapi kan poinnya adalah walaupun tidak mengerjakan skripsi, tapi mahasiswa tetap mengerjakan tugas akhir. Entah itu membuat lukisan, pementasan drama, bikin film, joget TikTok, pokoknya apa pun yang disebut "tugas akhir". Jadi bukan njug leha-leha terus bisa wisuda.
Dan... yang sebetulnya ribet itu bukan skripsinya, bukan tugas akhirnya, melainkan birokrasinya. Weladalah. Mau bentuknya skripsi, film, video klarifikasi, yang namanya tugas akhir itu seringnya yang ribet adalah pengurusan tetek-bengeknya.
Anda tahu kenapa saya menunda untuk nggak ngerjain skripsi selama hampir setahun? Tepat sekali! Aturan-aturan aneh ketika mengerjakan skripsi. Di kampus saya dulu ada buku panduan skripsi.
Jadi mahasiswa yang akan mengerjakan skripsi harus mengikuti panduan skripsi itu. Dan bajilak-nya, jika ingatan saya nggak berkhianat, panduannya sering gonta-ganti. Bahkan saya pernah nggak tahu kalau aturannya sudah ganti.
ADVERTISEMENT
Seriusan, guideline-nya itu aneh-aneh. Ada aturan soal berapa page margin-nya. Font yang dipakai harus ini. Judul, subjudul, subjudulnya-subjudul ukuran font-nya harus berbeda. Cover-nya harus begini-begitu. Kalau menulis footnote mestinya begini, pakai ini-itu. Menulis daftar pustaka nggak boleh beginu.
Rumit, kan? Cewek aja nggak serumit itu. Saya takutnya ya, bukan skripsinya yang sulit, tapi aturan atau brief yang bertele-tele itulah yang menyebalkan. Bukannya fokus substansi yang dibahas, ini malah ngurusin perkara dhohir yang kasat mata. Duh, sangat tidak filosofis sekali.
Pantas saja, banyak para sarjana yang sukanya hanya melihat perkara luarnya saja daripada muatan atau substansinya. Kayak siapa? Betul, kayak saya. Ha-ha-ha!

Bukan Soal Skripsinya

Ilustrasi skripsi. Foto: Aewphoto/Shutterstock
Lanjut, Mang...
Dengan tidak mewajibkan skripsi, pemerintah sebetulnya memandang bahwa skripsi kurang relevan untuk syarat kelulusan. Meskipun bahasanya untuk menyederhanakan. Maka dari itu, pemerintah menyerahkan hal tersebut ke masing-masing perguruan tinggi.
ADVERTISEMENT
Sebab, kata Nadiem, ada banyak cara untuk menunjukkan kompetensi lulusan para mahasiswa. Bagi Nadiem bentuknya bisa beragam, tidak hanya skripsi. Namun, apa pun itu, menurut saya, sebetulnya dalam hal kompetensi lulusan atau sarjana, pemerintah hanya mengukur objeknya saja. Ha kalau nanti persyaratan-persyaratan kelulusan yang dicanangkan masing-masing kampus itu juga sudah tak lagi relevan, bagaimana?
Apakah "syarat kelulusan" itu sendiri pada suatu hari nanti tidak akan diwajibkan lagi? Lalu, gantinya apa dong?
Skripsi dan tugas akhir lainnya itu bukan output dari lulusan universitas. Ia mungkin bisa menjadi syarat agar seseorang mendapatkan gelar kesarjanaan. Tapi bukan bentuk manifestasi belajar bertahun-tahun di kampus.
Yang sering dilupakan adalah substansi mengapa calon sarjana harus membuat tugas akhir seperti skripsi. Saya sendiri sering bingung mengapa harus bikin skripsi. Lagi-lagi jawaban yang sering saya dengar: supaya lulus atau agar tidak jadi "donatur" kampus.
ADVERTISEMENT
Kalau lulus sekadar lulus, kita nggak perlu mengerjakan skripsi atau tugas akhir. Sewa saja orang lain yang mengerjakannya, ijazah langsung bisa didapat. Beres kan?
Dalam prosesnya, mahasiswa yang mengerjakan tugas akhir seringkali dimudahkan jalannya. Baik itu oleh dosen pembimbing maupun dosen penguji. Apalagi kalau kampusnya sedang mengejar status atau akreditasi. Yah, dibikin sulit cuma sekali dua kali saja. Sisanya yang penting lulus. Semakin banyak menghasilkan lulusan, nama baik kampus kian terangkat.
Padahal yang penting dalam mengerjakan tugas akhir itu prosesnya. Mencari literasi, menyusun kata-kata, membedah kasus, sampai menganalisis. Semua itu muaranya pada kemampuan memecahkan masalah.
Namun, karena hari ini banyak yang fokusnya cuma pada produknya, dalam hal ini skripsi maupun seonggok tugas akhir, tahapan-tahapan yang saya sebutkan tadi kadang diterabas dan dilupakan. Mahasiswa nggak perlu bisa menganalisis apalagi memecahkan masalah. Buat apa lulusan kampus bisa menganalisis? Wong pabrik gula itu kan yang dihasilkan gula, bukan karyawan.
ADVERTISEMENT