Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Teknologi Tidak Akan Menggerus Rasa Empati Kita
6 Agustus 2022 19:50 WIB
Tulisan dari Muhammad Arsyad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menarik sekali membaca tulisan Mas Khairul Anwal di Kumparan beberapa waktu lalu. Oke, jika anda belum notice tulisan mana yang saya maksud, itu lho tulisan berjudul “Smartphone dan Ancaman Krisis Empati di Masa Depan” . Saya tidak akan mengkritisi tulisan yang Masya Allah panjangnya itu.
ADVERTISEMENT
Kebetulan saya mengenal si penulisnya. Jadi, lewat tulisan ini, saya hanya ingin mengutarakan apa yang terpatri dalam pikiran saya, terutama membalas pendapat-pendapat Mas Khairul di tulisan tersebut. Tentu saya sudah memohon izin dengan si empunya tulisan.
Lantaran beliau mengizinkan, ya, akhirnya saya bikin tulisan ini. Nggak apa-apa, ya, Mas, saya balas tulisannya? Hehe. Begini, begini. Saya tidak akan mengomentari ide-ide Mas Khairul yang kelewat jadul melalui tulisannya itu. Mengkritik teknologi, bukankah gagasan itu sangatlah usang?
Tentu saya tidak akan mengatakan Mas Khairul adalah orang jompo. Namun, dilihat dari profilnya di Kumparan, saya rasa Mas Khairul ini masih muda. Lagi pula, ia juga kelihatan sangat peduli pada khazanah kehidupan bersosial kita.
ADVERTISEMENT
Patut diakui, saya sejatinya nggak kontra-kontra banget dengan apa yang ditulis Mas Khairul. Ada beberapa poin yang bagi saya, itu sangat bagus dan layak untuk kita terima. Misal soal teknologi yang merampas kegiatan bersosial kita, itu saya akui.
Teknologi memang menyita hal itu. Kehadiran benda semacam gawai atau telepon pintar, membuat kita kehilangan waktu untuk bersosial. Namun, perlu dicatat, bersosial tidak melulu bertatap muka. Dalam tulisannya, Mas Khairul justru memblokade pendapatnya sendiri.
Beliau menulis yang kurang lebih menuding bahwa gawai membuat kita tidak bisa bersosialisasi, tapi di kalimatnya yang lain, beliau mencontohkan musyawarah online dan rapat online. Sampai sini saya ingin bertanya ke Mas Khairul, apa rapat dan musyawarah–sekalipun berada di ruang online–tidak bisa disebut aktivitas bersosialisasi?
ADVERTISEMENT
Biar Mas Khairul menjawab sendiri pertanyaan tersebut. Namun, saya punya pandangan lain terkait bersosialisasi. Oke, begini. Karena Mas Khairul membidik isunya pandemi, saya akan lakukan hal yang sama. Jika Mas Khairul menulis pandemi menjadi salah satu yang mengakibatkan percakapan di ruang virtual makin masif, saya sepakat.
Soal pandemi yang menyebalkan, itu saya juga sepakat. Namun, saya pikir kehadiran pandemi mengajarkan kita banyak hal. Sampai di sini, saya ingin berlagak seperti seorang tokoh yang bijak bestari. Jadi mohon maaf jika saya kelihatan terlalu sombong. Hehe.
Pandemi, bagi saya justru mengajarkan semua orang untuk memiliki rasa empati. Tentu kita tahu, dua tahun ke belakang, saat masa-masa sulit, semua orang saling bantu. Dan saya rasa, kehadiran pandemi justru membuat ruang maya kembali hidup.
ADVERTISEMENT
Ruang maya yang, ketika sebelum kedatangan pandemi hanya dipenuhi ujaran kebencian, kadrun-kampret, caci maki, dan lain sebagainya, berubah menjadi ruang yang penuh kehangatan. Kita bisa melihat orang-orang saling bantu di media sosial. Warganet jadi lebih responsif.
Misalnya, ketika ada yang membutuhkan tabung oksigen, seseorang tinggal mengunggahnya saja di media sosial. Lalu, hanya hitungan menit, banyak orang yang dengan suka rela menawarkan bantuannya. Saya malas mencari contoh yang lain. Karena contoh aksi-aksi semacam itu banyak, silakan anda bisa mencarinya sendiri. Itu kalau anda punya waktu.
Melalui contoh yang sederhana itu, saya rasa, dalam posisi ini teknologi sama sekali tidak akan menggerus rasa empati kita. Justru dengan hadirnya teknologi, seperti gawai dan sebangsanya, memudahkan orang untuk menyalurkan empatinya. Ingat fenomena koin untuk Prita? Begitulah cara kerja teknologi.
ADVERTISEMENT
Seseorang bisa memulai gerakan di ruang-ruang maya. Gerakan yang awalnya dianggap bakal lenyap dalam waktu kurang dari 14 hari, ternyata bisa langsung bermanuver ke dunia nyata. Maka, muncul istilah “dari maya ke nyata”. Soal benar tidaknya kemunculan istilah itu, saya nggak tahu juga. Hehe.
Sampai sini kekhawatiran Mas Khairul terhadap generasi yang krisis empati akibat gawai jelas tidak mendasar. Saya rasa, kekhawatiran itu lebih cocok keluar dari pikiran generasi boomer, bukan pemuda macam Mas Khairul. Namun, tidak masalah, saya menghargai pendapat beliau.
Kemudian, kritik Mas Khairul berikutnya adalah, ketika orang-orang fokus ke gawainya, mereka tidak mempedulikan lingkungan sekitar. Hmmm… mari kita renungkan baik-baik kalimat itu. Tidak peduli lingkungan sekitar? Lingkungan sekitar yang mana nih?
ADVERTISEMENT
Kalaupun yang dimaksud lingkungan sekitar rumah, saya tidak sepakat. Jika seseorang bermain gawai, itu bukan alasan mereka tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Kampung-kampung hari ini sudah sangat kreatif. Kita tak perlu khawatir terhadap generasi muda yang tidak peduli lingkungan sekitar.
Organisasi-organisasi kepemudaan sudah banyak yang bergerak. Ormas, komunitas, sampai yang lumrah seperti karang taruna, semua hidup di tengah masyarakat kita. Dan uniknya, setiap organisasi pemuda memiliki visi yang berbeda-beda. Inilah yang membuat saya yakin, generasi muda di sekitar kita sudah menjawab tantangan zaman.
Pertanyaannya, apakah organisasi pemuda di desa atau kampung-kampung itu tidak kecanduan bermain gawai? Ah, belum tentu. Saya rasa, gawai sudah hidup di masyarakat kita. Teknologi telah menyatu dengan masyarakat. Dan organisasi pemuda, memanfatkan itu untuk melakukan aktivitasnya. Kalau nggak percaya, silakan tanya ke ketua organisasi pemuda di dekat rumah anda.
ADVERTISEMENT
Itu lingkungan sekitar dekat rumah. Nah, kalau yang dimaksud Mas Khairul, lingkungan sekitar itu kota atau bahkan negara, justru gawai makin dibutuhkan untuk menumbuhkan rasa empati. Dulu, saat saya aktif di organisasi mahasiswa, kebetulan saya kerap mendapat seruan dalam bentuk semacam flayer digital untuk menanam mangrove.
Namun, saya tidak tertarik dengan gerakan itu. Tidak, tidak, bukan saya tak peduli lingkungan. Hanya saja, saya punya keyakinan bahwa menanam mangrove doang justru akan merepotkan petugas mangrove. Eh, eh, kok melebar ya? Maaf, maaf.
Eh, tapi, begini lho saudara-saudaraku. Dari ajakan poster digital itu, kelak saya tahu, ternyata yang mengikuti kegiatan menanam mangrove lumayan banyak. Saya tidak peduli apa alasan mereka ikut kegiatan itu. Namun, menanam mangrove adalah salah satu kegiatan yang menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan.
ADVERTISEMENT
Dan mereka, para peserta itu barangkali tidak akan tahu ada kegiatan penanaman mangrove andai tidak ada poster digital. Atau, lebih jauh lagi, mereka tidak ikut apabila ajakan menanam mangrove itu tidak sampai ke gawai mereka. Jadi, silakan simpulkan sendiri.
Kasus lain. Tempo hari saya menonton video, ya semacam podcast lah, antara Najwa Shihab dan Rhoma Irama di kanal Youtube Rhoma Irama Official. Kebetulan keduanya adalah idola saya. Saya menggemari Bang Haji karena lagu-lagunya yang bertenaga, sedangkan kata-kata yang keluar dari mulut Mbak Nana selalu membuat hati saya bergetar.
Dalam podcast tersebut, Mbak Nana cerita tentang liputan yang pernah dilakukannya bersama tim soal kasus salah tangkap aparat kepolisian. Pada kasus itu, anak kecil disiksa dan dipaksa mengaku sebagai pembunuh. Padahal pengadilan memutuskan anak kecil tersebut tidak bersalah.
ADVERTISEMENT
Namun, korban sudah terlanjur dipenjara, putus sekolah, dan orang tuanya sudah habis uang sampai jual motor untuk bayar selnya di penjara. Ironisnya, ketika meminta ganti rugi pada negara, dan itu pun tidak sampai 200 juta, eh malah tidak dikabulkan oleh negara. Mbak Nana bilang, ia bersama tim bekerja sama dengan LBH Jakarta dan situs crowdfunding Kita Bisa, akhirnya membuka donasi digital.
Dan ternyata, belum sampai 24 jam sudah terkumpul uang ratusan juta. Dana itu bisa digunakan untuk menyekolahkan korban tadi. Dari cerita Mbak Nana tersebut, kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa ruang maya sangat bisa menjadi sarana untuk menumbuhkan empati. Alih-alih menggerusnya.
Saya nggak tahu apa yang melatarbelakangi Mas Khairul berpikir gawai akan merusak empati. Namun, sekali lagi, saya tidak ada masalah dengan itu.
ADVERTISEMENT
Oh iya, mohon maaf, Mas Khairul, soal anak-anak yang kecanduan gawai, saya tidak akan menyinggung hal itu. Lain kali saja di tema yang berkaitan dengan pengasuhan orang tua. Bukan apa-apa, sampai sekarang saya sendiri belum punya pacar je, bagaimana mau ngasih pendapat soal pola asuh anak? Hehehe.