Konten dari Pengguna

Dampak Ketimpangan Global dalam Sistem Dunia terhadap Lingkungan dan Sumber Daya

Azfa Fairuz
Mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas Sebelas Maret
26 Desember 2024 13:19 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Azfa Fairuz tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
http://www.freepik.com/
zoom-in-whitePerbesar
http://www.freepik.com/
ADVERTISEMENT
Di era globalisasi ini, setiap negara dapat dengan mudah melakukan kegiatan ekonomi lintas negara, seperti perdagangan internasional, investasi asing, hingga alih teknologi. Kemudahan ini memberikan peluang besar untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga membawa tantangan baru, terutama terkait dengan ketimpangan hubungan antarnegara. Negara-negara dengan kekuatan ekonomi dan teknologi yang lebih maju sering kali memanfaatkan posisi dominannya untuk mengeksploitasi negara-negara yang lebih lemah demi memenuhi kebutuhan mereka. Eksploitasi ini tidak hanya melibatkan penguasaan pasar dan tenaga kerja murah, tetapi juga mencakup pengambilan sumber daya alam secara besar-besaran dari negara yang lebih lemah. Akibatnya, hubungan ekonomi global yang tidak setara ini menciptakan hierarki yang berulang, di mana negara yang lebih kuat terus menguatkan posisinya sementara negara yang lebih lemah terjebak dalam ketergantungan. Fenomena ini dapat dianalisis lebih mendalam melalui Teori Sistem Dunia (World-Systems Theory), yang mengkaji struktur hierarkis dan dampaknya terhadap ketimpangan global.
ADVERTISEMENT
Teori Sistem Dunia (World-Systems Theory), yang dikembangkan oleh Immanuel Wallerstein pada tahun 1970-an, menawarkan kerangka kerja untuk memahami ketimpangan sosial dan ekonomi global dengan menganalisis keterkaitan antar negara dalam sistem global yang bersifat hierarkis. Teori ini mengkategorikan negara-negara ke dalam tiga kelompok: inti (core), periferal (periphery), dan semi-periferal (semi-periphery). Negara core memiliki dominasi ekonomi dan keunggulan teknologi, memanfaatkan kekuatan tersebut untuk mengeksploitasi negara periphery yang kurang berkembang dan bergantung pada ekspor bahan mentah. Sementara itu, negara semi-periphery berada di posisi menengah dengan karakteristik gabungan dari negara core dan periphery—mereka mengeksploitasi negara periphery sekaligus mengalami eksploitasi oleh negara core. Sistem pembagian kerja internasional yang dinamis ini berakar pada perkembangan sejarah, seperti kemunculan kapitalisme pada abad ke-16 setelah kemunduran feodalisme, dan terus berkembang sambil menopang ketimpangan global (Christofis, 2019)
ADVERTISEMENT
Hubungan world system antara negara core, semi-periphery, dan periphery memiliki dampak yang signifikan terhadap dinamika lingkungan global. Negara core yang mendominasi teknologi dan ekonomi, cenderung mengimpor bahan mentah dari negara periphery untuk menopang industri mereka, yang sering kali melibatkan eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam. Sementara itu, negara periphery sering kali menghadapi tekanan untuk mengeksploitasi sumber daya mereka secara berlebihan tanpa memperhatikan keberlanjutan, demi memenuhi kebutuhan pasar global yang dikendalikan oleh negara core. Negara semi-periphery, yang berada di posisi tengah, turut berkontribusi pada tekanan lingkungan karena mereka berusaha mengejar pertumbuhan ekonomi dengan cara yang sering kali tidak berkelanjutan. Ketimpangan dalam hubungan ekonomi global ini mempercepat degradasi lingkungan, seperti deforestasi, pencemaran, dan perubahan iklim, yang dampaknya dirasakan secara global.
ADVERTISEMENT
Eksploitasi SDA dan Dampaknya
Seperti yang dijelaskan pada bagian pendahuluan, Negara-negara corei yang menguasai sektor teknologi dan ekonomi cenderung mengimpor bahan baku dari negara-negara periphery untuk mendukung industri mereka, yang sering kali mengarah pada eksploitasi yang masif terhadap sumber daya alam. Eksploitasi tersebut seringkali membawa dampak yang buruk bagi lingkungan negara periphery. Sebagai contoh dapat dilihat melalui peristiwa deforestasi yang terjadi di Brasil. Deforestasi di Brasil, khususnya di hutan Amazon, didorong oleh kegiatan peternakan dan pertanian yang memberikan tekanan besar terhadap ekosistem. Peternakan sapi, yang berkontribusi sekitar 30% terhadap total deforestasi sejak tahun 1970-an, menjadi penyebab utama penggundulan hutan. Untuk memenuhi permintaan global akan daging dan susu, hutan tropis sering kali ditebang dan diubah menjadi padang rumput bagi ternak, didukung oleh peningkatan ekspor dan devaluasi mata uang Brazil yang membuat harga daging lebih kompetitif. Selain peternakan, pertanian, terutama untuk penanaman kedelai, juga menjadi kontributor signifikan. Lahan hutan dibuka secara masif, sering dengan cara membakar, demi memenuhi permintaan domestik dan internasional (Warsito, 2013).
ADVERTISEMENT
Proses-proses tersebut, tidak hanya menghancurkan ekosistem tetapi juga meningkatkan emisi karbon dioksida, mengurangi keanekaragaman hayati, dan mengganggu habitat alami. Infrastruktur pendukung, seperti jalan dan fasilitas penyimpanan, memperburuk situasi dengan membuka akses ke wilayah hutan yang sebelumnya tidak terjamah. Akibatnya, deforestasi ini menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati yang mengancam spesies flora dan fauna di Amazon, serta memperburuk perubahan iklim global akibat pelepasan karbon yang tersimpan di hutan tropis.
Polusi di Negara Periphery
Selain deforestasi, negara periphery juga menjadi sasaran relokasi pembangunan industri dari negara core. Relokasi ini menimbulkan hipotesa surga polusi (pollution haven hypothesis). Pollution haven hypothesis merupakan sebuah hipotesa di mana negara-negara dengan peraturan lingkungan yang longgar menarik industri yang padat polusi dari negara-negara dengan peraturan yang lebih ketat. Fenomena ini terjadi karena perusahaan berusaha meminimalkan biaya, dan salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan merelokasi ke negara-negara di mana mereka dapat beroperasi dengan lebih sedikit kendala lingkungan. Akibatnya, negara-negara berkembang sering kali menjadi "surga polusi" bagi industri yang menghasilkan kerusakan lingkungan yang signifikan, seperti manufaktur dan ekstraksi sumber daya (Gill et al., 2018). Negara core cenderung memiliki peraturan lingkungan yang ketat. Sebaliknya, negara periphery cenderung memiliki peraturan lingkungan yang sangat longgar.
ADVERTISEMENT
Contoh dari pollution haven ini dapat dilihat melalui kenaikan emisi karbon di Tiongkok pada tahun 2005. Fenomena tersebut sejalan dengan hipotesis pollution haven. Dalam hubungan perdagangan Tiongkok dengan Spanyol pada tahun 2005, Tiongkok menghasilkan tambahan 29.667 kiloton emisi CO2 akibat aktivitas yang dilakukan guna memenuhi permintaan ekspor ke Spanyol. Industri berpolusi tinggi seperti listrik dan produksi baja memainkan peran utama, dengan 82,2% peningkatan emisi terkonsentrasi hanya pada lima sektor, dan sektor listrik saja menyumbang 30% dari total emisi. Sifat rantai nilai global (global value chain/GVC) yang saling terhubung semakin memperburuk masalah ini, karena emisi dari barang setengah jadi tertanam dalam proses produksi lintas batas. Temuan ini menggarisbawahi bagaimana relokasi manufaktur ke Tiongkok, yang didorong oleh perdagangan internasional, tidak hanya menggeser polusi secara geografis, tetapi juga berkontribusi pada peningkatan bersih emisi global, yang memperkuat peran Tiongkok sebagai surga polusi yang signifikan (López et al., 2013).
ADVERTISEMENT
Jadi dapat dipahami bahwa ketimpangan struktural dalam sistem dunia menciptakan dinamika eksploitasi dengan dampak buruk pada ekonomi negara-negara periphery serta keberlanjutan lingkungan global. Fenomena seperti deforestasi, relokasi industri, dan hipotesis pollution haven menggarisbawahi bagaimana ketidakseimbangan ini memicu kerusakan ekosistem dan memperparah krisis lingkungan. Pendekatan global yang inklusif dan berkelanjutan menjadi penting untuk mengatasi ketimpangan dan dampak lingkungannya.
Referensi
Christofis, N. (2019). World-Systems Theory. In The Palgrave Encyclopedia of Global Security Studies (pp. 1–7). Springer International Publishing. https://doi.org/10.1007/978-3-319-74336-3_372-1
Gill, F. L., Kuperan Viswanathan, K., Zaini, M., & Karim, A. (2018). International Journal of Energy Economics and Policy The Critical Review of the Pollution Haven Hypothesis. International Journal of Energy Economics and Policy |, 8(1), 167–174. http:www.econjournals.com
ADVERTISEMENT
López, L. A., Arce, G., & Zafrilla, J. E. (2013). Parcelling virtual carbon in the pollution haven hypothesis. Energy Economics, 39, 177–186. https://doi.org/10.1016/j.eneco.2013.05.006
Warsito, T. (2013). Integrasi dan Fragmentasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Studi Kasus: Deforestrasi di Brazil). Jurnal Hubungan Internasional, 2(1), 35–47. https://doi.org/https://doi.org/10.18196/hi.2013.0025.35-47