Konten dari Pengguna

X : Evolusi dan Tantangannya Dalam Lanskap Media Sosial

Muhammad Bilal Fauzan
Mahasiswa aktif Ilmu Komunikasi di Universitas Muhammadiyah Tangerang. Saya memiliki minat yang besar terhadap perkembangan teknologi dan media sosial.
5 Oktober 2024 18:21 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Bilal Fauzan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Mengenal X

Gambar diambil dari Shutterstock (https://www.shutterstock.com/image-photo/dhakabangladesh-11-august-2024-x-twitter-2501210129)
zoom-in-whitePerbesar
Gambar diambil dari Shutterstock (https://www.shutterstock.com/image-photo/dhakabangladesh-11-august-2024-x-twitter-2501210129)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam era digital yang terus berkembang, teknologi komunikasi telah mengalami transformasi signifikan, terutama dengan munculnya platform media sosial. Salah satu platform yang telah menjadi ikon dalam revolusi ini adalah X, sebelumnya dikenal sebagai Twitter. Sejak peluncurannya pada tahun 2006, X telah mengubah cara kita berkomunikasi, berbagi informasi, dan berinteraksi dalam ruang digital.
ADVERTISEMENT
Perjalanan X dari sebuah start-up sederhana menjadi salah satu platform media sosial paling berpengaruh di dunia mencerminkan perubahan besar dalam lanskap komunikasi global. Platform ini telah menjadi tempat di mana berita menyebar dengan cepat, tren budaya populer terbentuk, dan diskusi publik berlangsung secara real-time. Keunikan X terletak pada kemampuannya untuk mendemokratisasi informasi, memungkinkan individu dari berbagai latar belakang untuk memiliki suara yang setara dalam percakapan global.

Komunikasi Massa di Era Digital

Teori komunikasi massa tradisional, seperti yang dikemukakan oleh Harold Lasswell dengan model "Who Says What in Which Channel to Whom with What Effect", telah berkembang seiring dengan munculnya media sosial. Platform seperti X telah memperkenalkan konsep "many-to-many communication", di mana setiap pengguna dapat menjadi produsei sekaligus konsumen informasi. Menurut teori "Uses and Gratifications" yang dikembangkan oleh Katz, Blumler, dan Gurevitch, pengguna media sosial aktif mencari konten yang memenuhi kebutuhan mereka, yang sangat tercermin dalam cara orang menggunakan X untuk mencari informasi, hiburan, dan koneksi sosial.
ADVERTISEMENT
Selain itu, konsep "networked public sphere" yang diperkenalkan oleh Yochai Benkler menjadi sangat relevan dalam konteks X. Teori ini menjelaskan bagaimana platform media sosial menciptakan ruang publik baru di mana wacana dan pembentukan opini terjadi dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. X, dengan struktur follower dan fitur retweetnya, memungkinkan informasi dan ide-ide untuk menyebar secara viral, menciptakan apa yang Manuel Castells sebut sebagai "mass self-communication". Fenomena ini telah mengubah dinamika kekuasaan dalam komunikasi, memungkinkan individu dan kelompok kecil untuk mempengaruhi wacana publik dengan cara yang sebelumnya hanya mungkin dilakukan oleh institusi media besar.
Gambar diambil dari Shutterstock (https://www.shutterstock.com/image-photo/social-media-digital-online-concept-man-2474208529)

Perkembangan Fitur X dan Dampaknya

X telah mengalami berbagai perubahan sejak awal kemunculannya. Dari batasan 140 karakter yang ikonik, hingga peningkatan menjadi 280 karakter pada tahun 2017, platform ini terus beradaptasi dengan kebutuhan penggunanya. Pengenalan fitur-fitur seperti retweet, hashtag, dan threads telah memperkaya pengalaman pengguna dan memperluas kemampuan platform untuk menyebarkan informasi dengan cepat. Dr. Danah Boyd, peneliti media sosial terkemuka, menyatakan bahwa "Twitter (sekarang X) telah menciptakan ruang publik baru di mana informasi dapat menyebar dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, mengubah dinamika diskusi publik dan jurnalisme warga."
ADVERTISEMENT
Evolusi fitur X juga mencerminkan perubahan dalam perilaku pengguna dan tren komunikasi yang lebih luas. Misalnya, pengenalan fitur "Spaces" - ruang obrolan audio langsung - merespons pertumbuhan platform audio sosial dan kebutuhan akan koneksi yang lebih personal di tengah pandemi. Sementara itu, fitur "Fleets" yang singkat (meskipun akhirnya dihentikan) mencerminkan tren konten ephemeral yang dipopulerkan oleh Snapchat dan Instagram Stories. Dr. Jennifer Golbeck, profesor ilmu komputer di University of Maryland, mengomentari evolusi ini: "Setiap fitur baru X bukan hanya tentang menambah fungsionalitas, tetapi juga tentang membentuk cara kita berkomunikasi dan mengonsumsi informasi dalam era digital."

X sebagai Alat Demokrasi dan Aktivisme

Salah satu aspek paling signifikan dari X adalah perannya dalam aktivisme dan perubahan sosial. Platform ini telah menjadi instrumen kunci dalam berbagai gerakan sosial, dari Arab Spring hingga #BlackLivesMatter. Professor Clay Shirky, penulis "Here Comes Everybody", berpendapat bahwa "Twitter (X) telah menurunkan hambatan untuk mengorganisir aksi kolektif, memungkinkan kelompok-kelompok yang sebelumnya terpinggirkan untuk memobilisasi dukungan dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya."
ADVERTISEMENT
Kemampuan X untuk mempercepat penyebaran informasi dan memfasilitasi organisasi cepat telah mengubah lanskap aktivisme politik dan sosial. Hashtag seperti #MeToo dan #ClimateStrike telah mengubah gerakan akar rumput menjadi fenomena global dalam hitungan jam. Dr. Zeynep Tufekci, dalam bukunya "Twitter and Tear Gas", menjelaskan bagaimana platform ini telah mengubah dinamika kekuasaan antara aktivis dan otoritas: "Media sosial seperti Twitter telah memberikan suara kepada mereka yang sebelumnya tidak memiliki platform, memungkinkan mereka untuk membypass gatekeeper tradisional dan langsung berbicara kepada publik global." Namun, Tufekci juga memperingatkan tentang keterbatasan "aktivisme hashtag", mengingatkan bahwa perubahan nyata masih membutuhkan aksi offline yang terorganisir dan berkelanjutan.

Tantangan dan Kontroversi X

Meskipun X telah membawa banyak perubahan positif, platform ini juga menghadapi berbagai tantangan. Masalah seperti penyebaran informasi yang salah, cyberbullying, dan polarisasi politik telah menjadi perhatian utama. Dr. Zeynep Tufekci, sosiolog dan penulis "Twitter and Tear Gas", mengingatkan bahwa "meskipun media sosial seperti Twitter (X) telah memberdayakan banyak suara, mereka juga telah menciptakan ruang gema yang dapat memperkuat prasangka dan memecah belah masyarakat."
ADVERTISEMENT
Tantangan lain yang dihadapi X adalah keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab platform. Kasus-kasus high-profile seperti pemblokiran akun mantan Presiden AS Donald Trump telah memicu perdebatan tentang peran platform media sosial dalam mengatur wacana publik. Professor Jack Balkin dari Yale Law School berpendapat, "Platform seperti Twitter (X) telah menjadi penjaga gerbang baru dalam ekosistem informasi kita. Keputusan mereka tentang moderasi konten memiliki implikasi mendalam untuk kebebasan berbicara dan demokrasi." Debat ini terus berlanjut, dengan banyak pihak menyerukan regulasi yang lebih ketat, sementara yang lain memperingatkan tentang risiko sensor berlebihan.

Masa Depan X dan Teknologi Komunikasi

Seiring X terus berevolusi di bawah kepemilikan baru, masa depan platform ini dan dampaknya terhadap teknologi komunikasi tetap menjadi topik yang menarik untuk diikuti. Integrasi teknologi seperti kecerdasan buatan dan realitas virtual mungkin akan membentuk generasi berikutnya dari interaksi sosial digital. Seperti yang dikatakan oleh Jack Dorsey, salah satu pendiri Twitter, "Tujuan kami adalah untuk menjadi tempat diskusi publik yang paling sehat." Bagaimana X akan mencapai tujuan ini di tengah lanskap teknologi yang terus berubah akan menentukan perannya dalam membentuk masa depan komunikasi digital.
ADVERTISEMENT
Perkembangan teknologi baru seperti blockchain dan Web3 juga mungkin akan mempengaruhi evolusi X dan platform media sosial lainnya. Konsep seperti desentralisasi dan tokenisasi konten bisa mengubah model bisnis dan cara pengguna berinteraksi dengan platform. Dr. Sinan Aral, penulis "The Hype Machine", memprediksi, "Kita mungkin akan melihat munculnya 'sosial media 3.0' di mana pengguna memiliki kontrol lebih besar atas data mereka dan dapat monetisasi konten mereka secara langsung." Dalam konteks ini, kemampuan X untuk beradaptasi dengan tren teknologi baru sambil mempertahankan relevansi dan kegunaan sosialnya akan menjadi kunci keberhasilan jangka panjangnya.