Konten dari Pengguna

Sejarah Sastra Indonesia: Perjalanan Kreativitas yang Tak Pernah Padam

Muhammad Bintang Kournikova
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Universitas PGRI Madiun
13 Januari 2025 9:28 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Bintang Kournikova tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Dokumentasi Pribadi
ADVERTISEMENT
Sastra merupakan cerminan budaya dan identitas masyarakat suatu bangsa. Bagaimana pemikiran masyarakat dapat dinilai dari karya sastra yang berkembang dan disukai di zamannya masing-masing. Selain sebagai media hiburan, karya sastra dapat digunakan untuk menyampaikan aspirasi dari para penulisnya. Sastra juga dapat menjadi media perlawanan terhadap kolonialisme, membuka pemikiran masyarakat, dan menggambarkan keadaan yang tengah terjadi di masyarakat itu.
ADVERTISEMENT
Perjalanan panjang sastra Indonesia dimulai dari jaman Pra-Kolonial hingga sekarang. Perkembangan karya sastra menyesuaikan keadaan yang dialami oleh bangsa Indonesia. Mulai dari menyuarakan perlawanan terhadap kolonial, mengangkat hak asasi, hingga mengekspresikan ideologi.

Masa Sastra Klasik – Sastra Tradisional (Pra-Kolonial)

Sastra di Indonesia dimulai dengan adanya sastra tradisional yang merupakan sastra lisan seperti legenda, fabel, mitos, dongeng, hikayat, pantun dan lain-lain. Jenis-jenis sastra ini biasanya disampaikan secara lisan dan diturunkan dari generasi ke generasi. Sastra tradisional memuat tema yang universal dan mengandung nilai-nilai moral baik untuk anak-anak di masa itu. Sifat-sifat sastra klasik meliputi anonim (pengarangnya tidak diketahui), pralogis (tidak dapat diterima akal sehat), istana sentris (latar, tokoh dan temanya berfokus di kerajaan).
ADVERTISEMENT
Beberapa contoh karya pada masa ini antara lain, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Abu Nawas, Legenda Danau Toba, dan lain-lain.

Masa Kolonial – Awal Sastra Modern – Balai Pustaka & Pujangga Baru

Balai Pustaka merupakan sebuah penerbit dan percetakan yang didirikan oleh Kolonial Belanda pada 22 September 1917 dengan tujuan untuk mengembangkan bahasa-bahasa daerah utama yang ada di Hindia Belanda. Beberapa karya sastra masa Balai Pustaka diantaranya Sitti Nurbaya (1922), Salah Asuhan (1928), dan Azab dan Sengsara (1920).
Meskipun Balai Pustaka menjadi penerbit yang sangat besar, namun sastrawan pada masa itu merasa terkekang oleh aturan-aturan yang ditetapkan oleh Balai Pustaka. Balai Pustaka menyensor hal-hal yang mengandung pralogis, perjuangan, seksualitas dan bahasa tidak sopan. Lelah oleh aturan-aturan Balai Pustaka, Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, dan Armijn Pane menerbitkan Majalah Pujangga Baru.
ADVERTISEMENT
Pujangga Baru merupakan majalah yang mulai terbit pada 29 Juli 1933 di Jakarta. Nama Pujangga Baru (Poedjangga Baroe) memiliki arti, pengarang kesusastraan yang menginginkan pembaruan, meninggalkan sastra lama dan menciptakan sastra baru. Beberapa karya sastra masa Pujangga Baru antara lain Layar Terkembang (1936), Belenggu (1940).

Masa Kemerdekaan – Kebangkitan Indonesia

Masa ini muncul sebagai representasi jiwa bangsa yang sedang berjuang untuk kebebasan dan kemerdekaan. Salah satu sastrawan terkenalnya, Chairil Anwar menjadi tokoh penting salah satunya berkat puisi Aku yang menjadi simbol semangat perjuangan. Puisi yang pertama kali dibacakan di Pusat Kebudayaan Jakarta pada bulan Juli 1943 ini mencerminkan sikap individualisme, keberanian, dan perlawanan terhadap penindasan. Sastrawan Angkatan 45 hadir sebagai cerminan semangat bangsa yang tengah memperjuangkan kebebasan dan kedaulatan.
ADVERTISEMENT

Masa Pasca-Kemerdekaan – Orde Lama dan Orde Baru

Sastra pada masa ini menjadi alat ekspresi ideologi. Konflik antara LEKRA dan Manikebu pada tahun 1950-an hingga 1960-an memperdebatkan pandangan fundamental mengenai fungsi dan tujuan seni dan budaya dalam masyarakat. Ideologi LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) berakar pada konsep bahwa seni harus berpihak pada rakyat dan menjadi alat perjuangan sosial serta politik. Sebaliknya, Manikebu (Manifesto Kebudayaan) mengusung ideologi seni yang bebas dari kepentingan politik atau ideologi tertentu.
Setelah pembubaran Lekra pasca gerakan G30S/PKI dan Orde Lama digantikan oleh Orde Baru, karya sastra kembali mendapatkan sensor. Sensor-sensor dilakukan terhadap karya-karya kritis dan kritik terhadap pemerintah. Beberapa karya sastra di masa ini antara lain Bumi Manusia (1980), Sungai (1985).
ADVERTISEMENT

Sastra Pasca-Reformasi

Di masa ini, kebebasan didapatkan oleh sastrawan. Kritik, feminisme, seksualitas, bahkan hal yang tabu dapat diekspresikan dalam karya sastra. Pada masa ini pula, media digital berperan dalam perkembangan sastra. Salah satu karya sastra yang terkenal adalah novel Saman (1998) karya Ayu Utami. Dianggap menjadi pelopor tema baru yang dianggap tabu pada masa sebelumnya. Hingga kini, ada banyak sekali karya sastra yang tersebar, dan dapat di akses oleh siapa saja di internet.
Sastra Indonesia terus berkembang, seiring dengan dinamika sosial, politik, dan budaya yang terjadi di negara ini. Namun, tantangan zaman modern memerlukan peran serta generasi muda untuk terus melestarikan dan mengembangkan sastra Indonesia, baik melalui menulis, membaca, maupun apresiasi terhadap karya-karya sastra. Generasi muda, dengan kecakapan teknologi dan kreativitas mereka, memiliki peluang untuk membawa sastra Indonesia ke arah yang lebih relevan dengan zaman tanpa kehilangan akar budayanya. Oleh karena itu, menjaga dan mengembangkan sastra Indonesia bukan hanya menjadi tanggung jawab seorang penulis, tetapi juga tanggung jawab kita semua sebagai bagian dari bangsa yang berbudaya.
ADVERTISEMENT

Referensi

Hanifa, A, A. (2022). Mengenal Lebih Jauh Tentang Sejarah Sastra Indonesia. Diakses pada 10 Januari 2025 dari https://kumparan.com/assifa-atsna-hanifa/mengenal-lebih-jauh-tentang-sejarah-sastra-indonesia-1yDP46ODlZu/full