Sertifikat Wartawan, Gaya-gayaan?

Muhammad Darisman
Asisten Redaktur kumparanBisnis. Menulis dan editing konten isu ekonomi dan bisnis. Membuat konten Multichannel.
Konten dari Pengguna
12 November 2018 7:36 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Darisman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Wartawan (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Wartawan (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
"Ya kali pakai ujian wartawan segala. Emang biar apa, gaya-gayaan?" ujar seorang teman kala mendengar kabar aku--tepatnya sekantor kumparan--mengikuti uji kompetensi wartawan.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut begini menurut dia, saat ini semua orang melek internet. Ingin tahu apapun, tinggal berselancar ria cukup dari telepon selular. Telusuri media sosial, niscaya kau dapat informasi secara instan. Media online menjamur, ratusan jumlahnya. Enggak bakal sulit untuk jadi wartawan.
"Nah justru itu," jawaban singkatku (Sebenarnya berujung pada obrolan panjang).
***
100 persen wartawan kumparan lulus uji kompetensi. Ujian oleh Dewan Pers yang dilangsungkan secara bertahap itu, sejak Mei hingga Agustus 2018, diikuti 158 wartawan.
Redaksi kumparan bersama LSPR dan para penguji kompetensi wartawan (Foto: istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Redaksi kumparan bersama LSPR dan para penguji kompetensi wartawan (Foto: istimewa)
Kenapa mesti repot-repot untuk memfasilitasi ujian, menyediakan tempat, mendatangkan penguji, hingga segala persiapan lain selama berbulan-bulan? Kenapa, dan kenapa lainnya.
Artinya, temanku tidak sendiri. Di luar sana banyak 'temanku' yang bakal bertanya serupa memang. Nada sinisme? Biarlah. Orang mencemooh? Ya boleh. Life must go on sajalah.
ADVERTISEMENT
Begini: Jurus 'nah justru itu' yang kukatakan bukan semata jawaban mengelak. Lagi pula, pendapatnya tidak salah. Tepat dia mengatakan media saat ini ratusan jumlahnya. Juga tak dimungkiri ini otomatis membikin jadi wartawan adalah hal mudah.
Hanya saja, jika sudah jadi wartawan di antara ribuan, jadi media di antara ratusan yang telah ada, lalu apa?
Berlomba-lomba jadi yang terbaik? Ya lumrah, siapa sih yang tidak ingin. Kenikmatan yang disuguhkan teknologi telah memberikan jalan bagi media untuk berpacu menjadi yang tercepat. Tentu saja merupakan cita-cita media agar informasi sampai secepatnya kepada pembaca.
Namun, di sinilah celakanya. Verifikasi dan akurasi sering kali terabaikan. Jika sudah begitu, saat informasi begitu mudah didapat, saat hoaks menyebar lebih cepat, apalagi yang bisa dilakukan media yang semestinya menangkal hoaks--malah luput untuk menjamin keakuratan berita.
ADVERTISEMENT
Tak berlebihan kiranya bila Cak Rusdi (2018: 37) berkata kredibilitas bukanlah segalanya. Jauh lebih penting dari kredibilitas ialah verifikasi dan akurasi. Hampir di seluruh isi tiga bukunya menegaskan dua kunci utama yang harus dimiliki wartawan tersebut. Baginya, pembuatan berita tanpa verikasi tak ubahnya sang wartawan sedang melacurkan profesinya.
Barangkali, kumparan menyadari betul soal ini. Demi menjadikan ini sebagai autokritik: Kami harus berbenah.
Tanpa menafikan segala kekurangan di usia yang baru akan dua tahun ini, fondasi harus terus diperkokoh. Dalam hal ini, wartawan menjadi tiang utamanya. Tak berlebihan rasanya jika dikatakan wartawan tak boleh salah. Bahkan, sekecil apapun.
Di sini, betapa kami menyadari pentingnya wartawan yang didominasi kaum muda ini melewati ujian—yang barangkali sebagian orang memandang sepele.
Suasana uji kompetensi wartawan kumparan, praktik meliput konferensi pers (Foto: istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana uji kompetensi wartawan kumparan, praktik meliput konferensi pers (Foto: istimewa)
Bukan, bukan sekadar pembuktian tujuan. Bukan pula semata demi agar menawan. Kalaupun seratus persen dinyatakan lulus, itu sedikit pencapaian. Jikapun semuanya dinyatakan kompeten, tak untuk dilebih-lebihkan.
ADVERTISEMENT
Bagi kami, ini lebih kepada sebuah upaya melihat jauh ke depan. Agar bila benar terjadi senjakala media (Tsunami hoaks, gejala ketidakpercayaan) seperti yang ditakutkan Cak Rusdi, ada yang sudah bersiap menangkal.
Soal penilaian, serahkan saja pada khalayak. Akhirnya, kepada pembaca jualah 158 sertifikat dan kartu wartawan yang bakal diterima hari ini, kami peruntukan.
Sumber bacaan:
Mathari, Rusdi. 2018. Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan. Yogyakarta: Mojok
Mathari, Rusdi. 2018. Mereka Sibuk Menghitung Langkah Ayam. Yogyakarta: Mojok
_____
Kamu bisa menyimak kisah para wartawan kumparan dengan mengeklik topik Sekarang kumparan.