Konten dari Pengguna

Doa Ibu Sepanjang Jalan

Muhammad Dicky Zulian
Mahasiswa Jurnalistik, Politeknik Negeri Jakarta.
10 Juli 2021 14:42 WIB
·
waktu baca 3 menit
clock
Diperbarui 13 Agustus 2021 14:01 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Dicky Zulian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kasih sayang Ibu kepada anak. Foto : unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kasih sayang Ibu kepada anak. Foto : unsplash.com
ADVERTISEMENT
Teriknya mentari tak membuat semangatku hilang untuk bermain. Sebelum keluar rumah aku berpamitan dulu kepada ibu. Saat itu, aku bersepeda mengunjungi rumah ke rumah kawanku untuk bermain menunggu waktu sekolah tiba. Entah mengapa, kawan – kawanku tak ada satupun yang berada dirumah. Aku merasa kesepian, hilang arah, tidak tahu tujuan ke mana lagi akan ku kayuh sepeda ini. Tidak ada suara tawa dan canda dari teman – teman, tidak ada keringat bahagia disaat kita bermain bersama.
ADVERTISEMENT
Rasa kesepian ini seakan memenuhi seluruh jiwa dan raga ini, tak terasa telah sejauh ini aku mengayuh sepeda hingga masuk ke jalan besar. Terbesit pikiran nakal untuk melanjutkan perjalanan dan tidak mengikuti kegiatan belajar di sekolah. Sepedaku laju perlahan di sepanjang jalan utama Depok – Jakarta. Jiwa dan raga ini seperti dikendalikan, aku tidak bisa berpikir jernih. Ibu maafkan kenakalan si kecil yang ingin terlihat besar olehmu ini.
Seketika air Tuhan turun membahasi jalanan yang aku lewati. Perasaan ragu mulai menyelimuti raga ini, antara melanjutkan perjalanan walaupun hujan, melipir sejenak ke tempat berteduh, atau memutuskan untuk kembali pulang. Kegigihanku mulai goyah, beribu - ribu pertanyaan menyerang diriku sendiri. Kenapa aku melakukan ini semua, dosa apa yang telah aku lakukan, apakah ibu mengkhawatirkanku, bagaimana kalau ibu mencariku. Oh Tuhan, lindungilah aku selalu.
ADVERTISEMENT
Hujan akhirnya berhenti dan matahari mulai menyinari. Setelah dipikir kembali, akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Perlahan tapi pasti, jalan pusat kota Depok telah terlewati dan mulai memasuki wilayah perbatasan provinsi antara Jawa Barat dan DKI Jakarta.
Aku bersepeda dengan semangat yang membara. Mungkin, karena terlalu bersemangatnya, tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba tubuhku tersungkur dari sepeda. Aku tergeletak di bahu jalan, terasa sakit dibagian kakiku. Ternyata aku bersepeda terlalu dekat dengan trotoar jalan sehingga roda sepedaku bergesekan dan terjatuh. Aku beristirahat sejenak untuk menghilangkan rasa nyeri di kaki dan melanjutkan kembali perjalanan.

Dewa Penolong dari Doa Seorang Ibu

Sudah sejauh ini aku menunggangi sepeda besiku. Selatan, timur, sampai pusat Jakarta telah ku arungi. Tiba-tiba ada yang salah dengan perasaanku, entah ini sebuah kontak batin antara Ibu dan anaknya atau bukan. Di sisi jalan flyover tiba-tiba aku menangis, mengeluarkan semua perasaan yang mengganjal di dalam hati. Kata pertama yang keluar dari mulutku ketika menangis adalah "Ibu", tak terbendung lagi air mata dan suara parau yang keluar, aku terus mengucapkan "Ibu, maafin aku."
ADVERTISEMENT
Aku tak habis pikir dengan apa yang telahku perbuat. Kenapa aku tega melakukan ini yang membuat ibu dirumah cemas mencariku, sedangkan aku tidak berpikiran seperti itu. Ya, aku tahu bu, bagaimanapun sikapku kepadamu, engkau tetap mendoakan ku yang terbaik.
Tiba-tiba dari arah depan, aku melihat seorang lelaki yang lebih tua dariku menuntun mundur vespa tuanya ke arahku. Aku tidak berpikir kalau dia akan menolongku, mungkin saja dia ingin mengambil sesuatu yang tidak sengaja terjatuh. Tapi ternyata salah, dia menuntun vespanya untuk melihat kondisiku yang sangat prihatin.
Lelaki itu begitu peduli padaku, dia tak segan untuk menyisihkan waktunya yang sedang dalam perjalanan untuk bertanya sedang apa dan kenapa aku menangis. Tidak sedikitpun terlintas dalam pikiranku kalau lelaki itu jahat, yang ada dalam benakku saat itu adalah "mungkin ini salah satu dahsyatnya doa seorang ibu."
ADVERTISEMENT
"Jadi anak laki-laki itu harus kuat, jangan menangisi apa yang disesali," kata-kata itu seakan memberikanku semangat untuk terus melanjutkan perjalanan yang sedikit lagi akan sampai tujuan tanpa rasa penyesalan. Aku mulai menaiki sepedaku dan memulai kembali perjalanan yang sempat terhenti.
Andai saja waktu dapat diputar kembali, aku ingin lebih lama lagi berbicara dengannya, supaya suatu saat nanti aku akan membalas kebaikannya yang telah dia berikan kepadaku. Aku hanya bisa berdoa yang terbaik untuknya, semoga segala kebaikan yang telah dia berikan dibalas oleh Tuhan.