Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kita yang Masih Perlu Memahami Papua Lebih Dalam
8 Oktober 2019 16:11 WIB
Tulisan dari Muhammad Fachrizal Helmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dampak pecahnya kerusuhan panjang di Papua yang bermula terjadi pada 19 Agustus 2019 lalu, di Manokwari, masih terasa sampai sekarang. Dampak yang muncul dari pecahnya kerusuhan tersebut bukan hanya berupa munculnya kerusuhan-kerusuhan lain belaka seperti yang terjadi di beberapa daerah di Papua dan Papua Barat seperti di Sorong, Fak-Fak, Nabire, Jayapura, Wamena, Pegunungan Bintang, dan daerah lainnya. Misalnya, seperti yang terjadi di kota Serui, daerah Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua.
Di kabupaten tersebut memang tidak ada kerusuhan susulan yang mengerikan yang nampak di permukaan, melainkan dampaknya lebih kepada perasaan takut dan sentimen dingin yang bersifat implisit– yang tentu saja membuat hubungan Orang Asli Papua (OAP) dengan Orang Nusantara (ON) (pendatang, seperti saya) menjadi kurang nyaman. Selain itu, kerusuhan yang terjadi di Papua memberikan suasana ketakutan bukan hanya kepada ON, melainkan juga kepada OAP sendiri. Saat itu anak-anak di Kepulauan Ambai serta orang tua yang menampung saya di sana beberapa kali memberikan pesan: pak guru hati-hati e sekarang ini dong orang gunung dari Wamena su banyak turun mau serang kitong di Serui, pak guru ko hati-hati e kemarin di Jayapura itu su ada kapal besar yang siap bikin kerusuhan susulan di Serui. Semua ketakutan itu sekadar gosip dari mulut ke mulut karena sulit diverifikasi validitasnya. Tidak ada satu pun cerita kengerian yang berkembang di mereka terjadi di Serui, Kabupaten Kepulauan Yapen. Tapi, mereka betul-betul ketakutan.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Di desa, saat itu, saya belum mengetahui kejadian yang terjadi di Surabaya pada tanggal 16 Agustus 2019 yang diawali dengan. Barulah ketika tanggal 21 Agustus 2019 saya memperoleh sinyal, saat itulah banyak pesan dari keluarga dan kerabat yang menanyakan bagaimana kondisi saya di Papua. Saya balas dengan singkat saat masih berada di dalam taksi (jangan bayangkan seperti taksi di Jakarta) beserta isi di dalamnya yang ajaib dari dari manusia sampai hasil bumi seperti durian dengan jalan berkelok serta lumayan berlubang: saya di Yapen baik-baik saja. Jawaban itu saya berikan dengan ketidaktahuan dan pertanyaan yang mengganjal, memangnya apa yang terjadi di Papua?
Setelah menelusuri melalui internet (dengan sinyal yang sungguh ndet-ndetan), akhirnya saya tahu kalau di Manokwari ada kerusuhan. Kerusuhan tersebut merupakan respon dari apa yang terjadi di Surabaya tepat setelah kita merayakan hari kemerdekaan yang ke-74, yaitu kriminalisasi yang diterima oleh sejumlah mahasiswa Papua di sana. Kriminalisasi yang mereka terima seperti biasa, yang sering terjadi juga, yaitu tuduhan gerakan separatisme dan diskriminasi rasial. Persekusi terjadi terhadap sejumlah mahasiswa Papua di Surabaya karena ada video yang beredar bahwa sejumlah mahasiswa Papua menelantarkan Bendera Merah Putih di selokan. Informasi itu saya pegang sebagai informasi awal, sambil lalu mengikuti informasi susulan lainnya yang terus bertambah dari waktu ke waktu.
ADVERTISEMENT
Salah Satu Akibat dari Kata Monyet
Saat itu hari Sabtu, 24 Agustus 2019, saya diajak oleh teman untuk berkegiatan belajar dan bermain bersama adik-adik di daerah Wainakawini, Serui Kota, Kab. Kepulauan Yapen, Papua. Kegiatan tersebut bertujuan untuk mengajak adik-adik belajar sambil bermain mengenai materi Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Teman saya itu merupakan relawan dari Dompet Dhuafa Papua. Janjianlah kami untuk berkegiatan berdua. Dia bilang: kegiatan akan dimulai selepas Asar. Saya bersiap-siap untuk segera meluncur.
Kala itu tidak ada pikiran macam-macam, sampai tiba waktu saat saya datang di lokasi. Di sana sudah banyak anak-anak (SD-SMP) serta warga sekitar yang meliputi mama dan bapak dorang deng kakak-kakak telah berkumpul di tempat kegiatan, di Kelompok Belajar Kubuwei. Awalnya biasa saja. Saya dan teman saya tadi tengah melakukan persiapan. Memang agak terlambat saat itu. Mungkin terlambat sekitar 15-20 menit. Ada anak-anak yang nanti akan menampilkan Yosim Pancar juga tengah bersiap diri–kesenian tari dari Papua, tepatnya perpaduan dari Biak, Yapen, dan Waropen (Yapen dan Waropen waktu itu masih menjadi satu kabupaten, sebelum akhirnya mekar).
ADVERTISEMENT
Sampai tiba-tiba dari suatu arah ada mama-mama mengeluarkan sindirian yang, jujur saja, kurang nyaman didengar. “Kam lama sampe, ini kapan dimulai? Anak-anak monyet su tunggu baru”, seraya beberapa mama-mama lain tertawa, saya senyum mesem bingung. Saya langsung celingukan, begitu juga dengan teman tadi. Lalu saya mencoba untuk kode kepada teman agar kegiatan segera dimulai. Tidak lama berselang, kegiatan pun dimulai. Selama kegiatan, bersyukur semua berjalan dengan lancar. Tidak ada lagi sindiran-sindiran serupa tadi.
Tentu saja sindiran tadi tidak bisa kita anggap sepele. Apalagi, sindirian tadi sangatlah kontekstual dengan kejadian yang telah terjadi sebelumnya di Surabaya. Mereka bukan orang yang tidak tahu informasi, mereka paham betul apa yang terjadi. Apakah mungkin sindiran tadi, soal anak-anak monyet, akan muncul atau tidak bila sebelumnya tidak ada kejadian di Surabaya tentu saya tidak bisa memastikan. Tapi yang jelas, sindiran tadi membuat saya dan teman yang merupakan ON merasa kurang nyaman. Padahal sebelumnya dalam beberapa kali kesempatan berkegiatan, sempat juga menemukan kasus yang sama (telat), tidak pernah muncul candaan-candaan sarkastis seperti tadi. Entahlah, apakah ada maksud sarkastis atau tidak dari mama dorang.
ADVERTISEMENT
Rupa-rupa Persoalan di Papua–Kab. Kepulauan Yapen
Saat melangkah pergi ke area pasar, Anda akan melihat bagaimana OAP dan ON saling mengisi sudut-sudut pasar. OAP mengisi sudut-sudut kecil di lantai-lantai dan luar pasar beradagang hasil bumi seperti sayur yang hanya berkisar bayam, daun dan bunga pepaya, daun kasbi (singkong), pinang. Itu yang paling sering mereka perjualbelikan. Sesekali ada buah-buah hasil panen dari kebun masing-masing atau kacang-kacangan. Tapi, memang hampir semua OAP yang berdagang di pasar Serui hanya menempati lapak-lapak kecil–tentu dengan dagangan mereka yang juga ala kadarnya. Berbeda dengan pedagang-pedagang dari Bugis, Buton (Butung), atau Jawa. Mereka yang merupakan pedagang-pedagang dari kalangan ON mengisi sudut-sudut yang lebih luas, nyaman, bersih di pasar. Mereka para ON mengisi kios-kios, menjajakan aneka rupa dari sembako, barang-barang elektronik, kebutuhan sandang, hasil bumi yang lebih variatif.
ADVERTISEMENT
Ketika berbicara soal perkantoran dan pekerjaan di Papua, dalam hal ini secara khusus di Kab. Kepulauan Yapen, kalian akan menemukan terutama pada perkantoran milik swasta hampir 75-90% karyawannya adalah para ON. Mungkin hanya di perkantoran pemerintahan saja kita dapat menjumpai banyak OAP. Misalnya saja, Anda dapat melihatnya di lingkungan bank. Beberapa kali, dari beberapa orang yang berbeda, saya mendengarkan berbagai keluhan mereka, teman-teman OAP, tentang bagaimana saulitnya mencari pekerjaan dari sektor swasta. Maka dari itu, tidak jarang saya menemukan bahwa harapan mereka dalam pekerjaan tidak variatif, hanya menjadi: PNS. Ada beberepa informasi dari nggosip-nggosip dengan ON di sini. Kata mereka, banyak OAP yang suit mencari kerja karena mentalitas mereka yang pemalas dan tidak bisa profesional bekerja.
ADVERTISEMENT
Kemudian saat kita berkeliling kota, kita akan melihat bahwa kebanyakan rumah di daerah daratan yang mempunyai kondisi baik – setidaknya berdasarkan aspek fisiknya saja, lain dengan aspek psikologisnya. Kebanyakan rumah-rumah batu (rumah darat, tembok) adalah rumah milik para pendatang yang datang dari Jawa, Bugis, Buton (Butung)–terutama Jawa. Rumah-rumah orang Papua yang di daerah daratan kebanyakan hanya berupak rumah-rumah sederhana dari papan dan campuran batu, tapi tentu sangat ala kadar. Tidak jarang rumahnya tidak terlalu besar, namun yang mengisi banyak. Berbeda dengan rumah-rumah para pendatang yang lebih memadai kondisinya.
Belum lagi, soal masalah kesehatan dan pendidikan yang saat datang ke desa-desa akan kita temukan amatlah kompleks dan selalu minta diselesaikan (masalahnya). Puskesmas utama dan puskesmas pembantu kosong kekurangan tenaga kesehatan. Sekolah-sekolah yang kekurangan guru – sering sudah kurang, guru yang ada pun tidak memenuhi tanggungjawabnya. Terutama pendidikan yang memang saya amati lebih dalam semenjak berada di sini, sangat kompleks masalahnya. Kontrol dari pemerintah terhadap pelaksanaan penddikan di tingkat teknis masih sangat kurang. Dinas terkait hanya menekankan pada penyaluran dana BOS pendidikan saja, tapi pelaksanaan teknis di lapangan tidak jalan dengan baik. Guru-guru mangkir dari tugas, kepala sekolah yang entah bagaimana mengelola dana BOS karena tidak transparan, komite sekolah yang jalan, anak-anak yang menjadi korban menunggu guru sampai siang tapi tak kunjung datang, dan pembelajaran yang tidak terlaksana sebagaimana mestinya, dipenuhi korupsi materi dan etik.
ADVERTISEMENT
Belum lagi juga soal infrastruktur yang masih belum bisa dinikmati oleh banyak masyarakat. Akses jalan darat yang masih sulit ditembus–walaupun sedang tahap babad alas (untuk di daerah Kab. Kepulauan Yapen). Listrik yang belum semua masuk pemukiiman berpenghuni – dan ini juga sedang dalam tahap pemerataan (untuk di daerah Kab. Kepulauan Yapen). Tapi sungguh persoalan infrastruktur ini memang kompleks juga, mengingat bahwa daerah Papua sendiri memang masih banyak belum babad alas, masih hutan. Kalau pun bukan hutan, harus menyeberang lautan. Belum lagi sinyal internet yang tidak ada, masyarakat juga belum banyak bisa mengakses informasi luas dari gawai atau dari apapun mediumnya. Akibat dari ini, banyak informasi-informasi berseliweran di masyarakat yang sulit terverifikasi, seperti yang sempat saya uraikan sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Saat sebelum berangkat ke Papua saya tidak begitu membayangkan bahwa ternyata di Papua juga banyak sekali gelombang transmigrasi, terutama dari Jawa, Makassar, dan Buton (Butung). Saya juga memang kurang referensi bacaan terkait Papua. Tentu saja memang kalau nampak permukaan kesemuanya dapat hidup rukun dan saling berdampingan serta saling mengisi. Akan tetapi, apakah teman-teman OAP telah jadi tuan di tanahnya sendiri
Menarik sekali pascakerusuhan panjang di Papua terjadi, saya baru ingat bahwa ternyata saya sempat membawa buku kumpulan catatan jurnalistik Ekspedisi Tanah Papua yang disusun oleh Kompas pada tahun 2007, tepat sekitar 12 tahun yang lalu. Catatan tersebut merekam banyak sekali informasi dari daerah Teluk Bintuni dan Manokwari dari Provinsi Barat serta Biak, Jayapura, Nabire, Jayawijaya, Boven Digoel, Merauke, Timika, dan Asmat di Provinsi Papua. Permasalahan yang terekam pada proses pengumpulan data saat Kompas melakukan Ekspedisi Tanah Papua masih sama dengan yang hampir semuanya saya temukan setelah hampir satu tahun tinggal di Papua, di Kabupaten Kepulauan Yapen, yaitu mengenai SDM Papua yang dinilai belum mampu bersaing secara maksimal dengan para pendatang, kegiatan ekonomi yang lebih menguntungkan para pendatang, pelayanan kesehatan dan pendidikan yang masih minim dan belum maksimal, padahal di sisi lain dana OTSUS yang diberikan pemerintah begitu besar untuk Papua - pada tahun 2020 nanti Jokowi akan menggelontorkan dana OTSUS untuk Provinsi Papua Rp 5,86 triliun dan Papua Barat Rp 2,51 triliun.
ADVERTISEMENT
Apakah memang kita sudah memahami Papua secara sungguh-sungguh dari dalamnya? Apakah pemerintah juga sudah memahami Papua? Menarik sekali refleksi yang saya dapat dari aktivitas membaca buku Ekspedisi Tanah Papua Kompas sambil langsung punya kesempatan mengamati Papua di lapangan, walaupun hanya mengamati bagian kecil dari Papua yang luas. Refleksinya sangat sederhana: bahwa setelah 24 tahun hidup di Indonesia, ternyata saya belum benar-benar memahami Indonesia beserta segala permasalahannya yang kompleks sampai ke akar rumput. Jawa yang nyaman membuat saya terlena dan merasa seolah-olah itulah Indonesia yang sejati, padahal bukan.