'Pak Guru, Apa Beda Agama Islam dan Kristen?'

Muhammad Fachrizal Helmi
Trainer dan Facilitator, Learning Strategies, Instructional Designer, Human Resources Practitioner
Konten dari Pengguna
8 Agustus 2019 12:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Fachrizal Helmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bagaimana bila suatu waktu kamu dapat pertanyaan soal apa beda agama Islam dan agama Kristen dari seorang anak? Apalagi, anak-anak itu berasal dari agama, adat, dan daerah yang berbeda dengan kita? Aku sempat terkejut waktu dapat pertanyaan seperti itu dari anak-anak di Ambai, Papua, tempatku bertugas sebagai Pengajar Muda Indonesia Mengajar.
ADVERTISEMENT
Malam segera datang. Aku meminta tolong Johan untuk membantuku menyalakan lampu api gas pompa di rumah. Aku sekarang tinggal di rumah guru, tidak ada cahaya lampu dari panel surya ataupun genset. Hanya terang api dari pelita dan lampu api gas pompa saja.
Aku siapkan kasur lantai di ruang tengah kosongan. Johan asik memompa lampu gas. Jeki, Wasti, dan Putri nimbrung mengelilingi johan. Malam itu aku ditemani oleh empat orang anak: Johan (SMP), Wasti (SD), Putri (SD), dan Jeki (belum sekolah, baru akan masuk SD).
Putri, Johan, Wasti, dan Jeki (dari kiri ke kanan) sedang menonton film (Dok. Pribadi).
Malam itu (10/12/2018) aku janji untuk mengajak mereka menonton film di rumah. Aku ajak mereka menonton film Jembatan Pensil. Lampu gas sudah mulai menyala, ruangan terang–namun terasa lebih panas dari sebelumnya. Kulihat jarum jam menunjukkan pukul 18.14 WIT.
ADVERTISEMENT
Aku pamit sembahyang Magrib kepada mereka. Selesai sembahyang Magrib, aku mulai ambil laptop yang persediaan baterainya masih lumayan banyak, cukup untuk menonton dua film dengan durasi 80-90 menit. “Kita nonton sekarang ya,” kataku kepada anak-anak.
Kami berlima rebahan di kasur lantai, di depannya terang lampu gas menghangatkan tubuh yang tersentuh dingin dari sela-sela papan rumah. "Kitong (kita) nonton film Jembatan Pensil yo (ya)," kataku kepada anak-anak.
Film segera kumainkan, anak-anak terlihat antusias. Sepanjang pemutaran film, anak-anak beberapa kali sempat terdengar saling adu diskusi. “Itu kasihan Ondeng eee”, kata Putri, waktu melihat tokoh Ondeng di dalam film dijahili teman sekelasnya.
Lalu tidak lama Johan balas, “Ondeng baik itu, suka tolong-tolong teman terus eee”, kata Johan yang mengomentari Ondeng yang selalu dijahili teman-temannya namun tetap menjadi anak yang baik.
ADVERTISEMENT
Tiba-tiba saja ada suara ketukan pintu dari luar, lalu kubuka. Itu ibunya Johan dan Jeki, yang sekaligus neneknya Wasti. Ia meminta Wasti dan Jeki pulang karena mau diajak pergi. Akhirnya Wasti dan Jeki pun pulang meninggalkan aku, Putri, dan Johan. Kami bertiga tetap melanjutkan menonton film. Kulihat di smartphone yang baterainya tinggal sekitar 20% itu, jam menunjukkan 19.40-an WIT. Aku pamit kembali kepada mereka untuk pergi sembahyang Isya–mereka masih tetap melanjutkan menonton filmnya tanpaku.
Di tengah-tengah aku sembahyang, sempat terdengar Putri dan Johan ramai berdiskusi mengenai kejadian-kejadian dalam film. Saat itu Johan sedang berbicara, lalu tiba-tiba saja Putri meminta Johan untuk diam karena takut mengganggu sembahyangku.
“Pak guru sedang sembahyang eee, jangan berisik sudah,” kata Putri kepada Johan.
ADVERTISEMENT
Lalu seketika Putri dan Johan hening, film pun tiba-tiba mereka hentikan sementara–waktu itu aku sempat memberitahu mereka bagaimana menghentikan sementara film. Setelah selesai sembahyang, aku langsung bilang terima kasih kepada mereka berdua.
Putri, Johan, dan Jeki (dari kiri ke kanan) (Dok. Pribadi).
Lalu aku lanjutkan menonton film dengan mereka. Film pun selesai. Setelah selesai menonton film, tanpa tedeng aling-aling, Johan yang masih SMP tiba-tiba bertanya, "Pak guru, apa beda agama Islam pak guru dan agama Kristen?"
Aku cengo sebentar, lalu menjawab. "Ah begini, semua agama itu mengajarkan kebaikan. Itu sudah.....," Belum selesai jawabku, Putri, anak kelas 3 di SD YPK Baitel Rondepi tempatku mengajar, membalas, "nah iya pak guru, berarti yang beda itu cara sembahyangnya saja toh?" Aku mengiyakan sambil tersenyum.
ADVERTISEMENT
Masa Depan Indonesia yang Toleran Ada di Tangan Anak-Anak
Kita tentu sepakat beberapa tahun terakhir isu intoleransi telah mengkhawatirkan kita semua. Telah banyak yang menjadi korban. Misalnya saja yang sempat terjadi pada keluargaku di Rangkasbitung, Banten. Suatu waktu aku pulang dari Depok ke rumah untuk beberapa hari. Saat aku pulang, di televisi masih ramai kabar mengenai peristiwa penistaan agama oleh Ahok.
Pawai obor di Jakarta diikuti sejumlah anak untuk menyambut datangnya Bulan Ramadan. Namun tidak jelas di lokasi mana di Jakarta, tempat anak-anak berteriak 'bunuh-bunuh' berlangsung. (Oscar/Getty Images)
Tentu kita semua masih sangat ingat dengan peristiwa tersebut. Narasi yang dibangun oleh FPI (Front Pembela Islam) saat itu: Ahok itu penista agama dan seluruh muslim di Jakarta tidak boleh memilih pemimpin bukan muslim. Sampai pada titik ekstrimnya, ada mesjid yang mengharamkan mensalatkan jenazah yang mendukung atau memenangkan pemimpin bukan muslim. Serem, itu kesanku waktu itu.
ADVERTISEMENT
Kembali ke suasana di rumahku. Saat aku sampai, aku langsung 'diberondong' beberapa pertanyaan dan pernyataan yang berkaitan dengan peristiwa FPI vs Ahok. Dan tentu saja pertanyaan-pertanyaan yang keluar bernada sinis, mengingat orang-orang di dalam rumahku berada di kubu pendukung FPI.
Orang tua mengingatkanku untuk jangan sampai nanti memilih pemimpin bukan muslim, padahal jelas-jelas aku bukan warga DKI yang nanti akan ambil bagian dalam agenda politik mereka. Kakak perempuan dan suaminya mengingatkanku untuk hati-hati tinggal di Jakarta, jangan sampai terpengaruh ideologi-ideologi yang liberal dan antimuslim. Aku senyum-senyum saja menghadapi 'berondongan' mereka.
Sampai suatu ketika saat aku sedang menonton tayangan berita di televisi mengenai sidang dugaan penistaan agama Ahok, tiba-tiba datanglah adikku. Ia tiba-tiba bicara: "Aa Emi (panggilanku), itu si Ahok Kristen. Aa Emi pilih Ahok teu (gak)?"
ADVERTISEMENT
Aku langsung agak bengong melihat adikku yang masih usia SMP kelas 1 bicara seperti itu. Antara takut, sedih, dan bertanya-tanya bercampur aduk.
Bagaimana mungkin seorang anak kecil bisa berbicara sekeji itu? Jawabannya, tentu karena pengaruh dari keluarga.. Atau guru? Karena ada survei yang menyebutkan kalau sekitar 50 persen lebih guru mempunyai terindikasi intoleran.
Kalian bisa bayangin enggak gimana masa depan Indonesia kalau anak-anak yang kelak akan jadi penerus itu sudah terpapar hal-hal kurang baik seperti sikap intoleransi sedari kecil? Mengerikan.
Lantas, bagaimana agar anak-anak tumbuh menjadi sosok yang toleran? Mungkin salah satu caranya bisa dengan mengajak anak-anak berdialog dan berinteraksi dengan orang. Biarkan anak-anak mengeksplorasi rasa penasaran mereka terhadap banyaknya perbedaan, termasuk dalam hal beragama.
ADVERTISEMENT
Itulah yang terjadi antara aku dengan Jeki, Johan, Wasti, dan Putri. Mereka selama ini hidup dalam semesta yang relatif homogen dalam hal beragama. Rata-rata masyarakat di Ambai merupakan pemeluk agama Protestan. Tapi, bukan tidak mungkin bahwa mereka bisa menerima seseorang dari agama lain. Asalkan mereka diberi pemahaman misalnya, tidak perlu yang rumit, bahwa semua agama itu intinya mengajarkan kebaikan hanya saja praktik untuk menempuhnya itu bisa variatif.
Dengan diberikan pemahaman yang seperti itu, kita sama-sama tinggal berdoa semoga saja di masa mendatang nanti Indonesia dapat dipenuhi orang-orang yang bukan hanya sadar bahwa masing-masing dari kita memang terlahir berbeda, namun juga menghormati sekaligus mencintai perbedaan yang ada. Amin.