Konten dari Pengguna

Toleransi dan Kebudayaan Jawa

Muhammad Fachrizal Helmi
Trainer dan Facilitator, Learning Strategies, Instructional Designer, Human Resources Practitioner
5 Mei 2017 2:27 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Fachrizal Helmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Toleransi dan Kebudayaan Jawa
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Dalam banyak kebudayaan di seluruh dunia, kondisi toleran selalu dianggap sebagai sesuatu yang sangkil untuk menekan berbagai macam perpecahan karena segala bentuk perbedaan. Wazler dalam buku On Toleration (1997) mengemukakan bahwa toleransi merupakan suatu hal yang niscaya dalam ruang individu dan publik. Dia berpendapat bahwa tujuan dari toleransi untuk membangun kehidupan yang damai antarberbagai kelompok masyarakat yang berbeda-beda. Termasuk juga di dalam masyarakat etnik Jawa yang beranggapan bahwa kondisi harmonis dalam berbagai bentuk perbedaan adalah niscaya dan harus menjadi yang utama dalam kehidupan.
ADVERTISEMENT
Toleransi adalah sikap yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Manusia sebagai makhluk sosial perlu menjaga lingkungan sosialnya agar tetap harmonis. Dalam lingkungan sosial tersebut manusia harus bisa hidup secara berdampingan dengan seminimal mungkin konflik. Salah satu jalan yang perlu ditempuh untuk mewujudkan itu dapat melalui sikap toleran antarsesama.
Toleransi dalam praktiknya sangat banyak jenis, seperti toleransi antarumat beragama, toleransi antarsuku, toleransi antarpandangan politik yang berbeda, dan lain-lainnya. Dalam kondisi lingkungan, hampir di seluruh belahan dunia manapun, yang plural (lebih dari satu) dalam banyak hal, toleransi sangat kita butuhkan.
Rainer Forst dalam buku Toleranz im Konflikt: Geschichte, Gehalt und Gegenwart eines umstrittenen Begriffs (2003) merumuskan 4 tingkatan toleransi. Empat tingkatan toleransi tersebut didasarkan pada kedalaman seseorang mengaplikasikan kondisi toleransi terhadap masyarakat di lingkungannya. Pertama, Erlaubnis, yaitu sekadar membiarkan ada orang-orang yang berbeda. Kedua, Koexistenz, yaitu berada bersama dengan orang-orang yang berbeda, hidup berdampingan. Ketiga, Achtung, yaitu saling menghormati antarsesama di dalam suatu lingkungan hidup. Keempat, Anerkennung, yaitu mengakui dan menghargai keanekaragaman---tahap ini merupakan tingkatan tertinggi di dalam toleransi.
ADVERTISEMENT
Pada kebudayaan Jawa dikenal ungkapan tepa salira dan nguwongke wong. Kedua ungkapan tersebut merepresentasikan pandangan ideal masyarakat Jawa dalam melihat hubungan antarsesama di lingkungan sosialnya. Mengacu pada pemikiran Suseno (1984), Darmanto (1997), dan Mulder (1996) dalam buku-buku mereka yang mengungkapkan bahwa masyarakat etnik Jawa secara umum memandang bahwa dunia dapat dikatakan baik ketika keadaan tidak kacau dan tidak saling berselisih antara satu dengan lainnya: hal tersebut dapat sebagai tujuan yang sama dalam konsep toleransi.
ADVERTISEMENT
Ungkapan tepa salira dan nguwongke wong adalah dua proposisi yang dipercaya secara kolektif oleh masyarakat Jawa sebagai ungkapan yang mengandung nasihat baik. Tepa salira dapat dimaknai sebagai ungkapan yang mengajarkan kita untuk selalu mengukur segala tindakan dengan mengandaikan diri sendiri sebagai patokannya. Nguwongke wong mengandung makna bahwa setiap manusia pada dasarnya harus saling memanusiakan sesamanya. Kedua ungkapan tersebut dekat sekali konsep toleransi. Pada tepa salira maupun nguwongke wong yang menjadi poin utama adalah penghargaan terhadap orang lain. Dalam contoh sederhananya, kedua ungkapan tersebut mengajarkan kita agar tidak memukul seseorang bila kita tidak ingin dipukul oleh seseorang---dengan kata lain kita harus memanusiakan orang lain sebagaimana kita memanusiakan diri kita.
Budaya Jawa bersih dari intoleransi (Foto: Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Budaya Jawa bersih dari intoleransi (Foto: Istimewa)
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, sampai kapanpun kehidupan yang toleran harus kita jadikan cita-cita utama dalam menjalankan hidup. Dalam berbagai konteks, toleransi harus menjadi bagian penting kehidupan kita semua. Ungkapan tepa salira dan nguwongke wong pada akhirnya dapat kita jadikan sebagai rujukkan tentang bagaimana sikap toleran harus kita aplikasikan dalam keseharian. Walaupun ungkapan tepa salira dan nguwongke wong berasal dari kebudayaan Jawa, namun saya pikir konsep yang terdapat di dalamnya dapat diaplikasikan oleh seluruh orang di seluruh dunia.