Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
27 Tahun
27 Maret 2021 0:40 WIB
Tulisan dari Muhammad Fadjar Hadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada mulanya, semua berjalan lancar seperti biasa dan tidak ada masalah berarti di hari ini, Kamis (26/3). Dini hari bekerja, lalu paginya istirahat. Yah, walaupun sebenarnya waktu istirahat hari ini sedikit kurang karena sempat ada berbagai urusan kecil sejak pagi hingga sore.
ADVERTISEMENT
Memasuki malam, aku menghabiskan waktu di tempat biasa ngopi di sebuah warung kecil di depan rumah. Dalam kesunyian malam, ditemani secangkir kopi dan sebungkus tembakau, tidak sengaja aku teringat tujuan dahulu masuk kuliah. Rencananya, begitu lulus, aku ingin langsung mendaftar menjadi perwira karir. Entah itu TNI atau Polri.
Memang, hingga saat ini masih ada sedikit rasa penasaran. Apakah masih ada kesempatan bagiku untuk mendaftar menjadi abdi negara melalui jalur tersebut?
Akhirnya, aku mencari informasi di situs resmi pendaftaran perwira karier. Ternyata, pendaftaran perwira karir Polri atau SIPSS TA 2021 sudah ditutup pada Januari lalu. Aku kemudian melihat apakah jurusan Ilmu Sejarah dibuka atau tidak. Jawaban yang terpampang sama seperti tahun sebelumnya: tidak.
ADVERTISEMENT
Ada sedikit perasaan lega di hati ini. Seandainya dibuka dari jurusan Ilmu Sejarah, jelas itu akan menjadi penyesalan terbesar dalam hidup. Kalau tidak salah, terakhir dari jurusan Ilmu Sejarah dibuka pada 2016 atau 2017.
Namun di tengah kelegaan itu, tidak sengaja aku melihat salah satu poin persyaratan penting, yakni calon perwira sumber S-1 harus berusia maksimal 26 tahun.
Aku mengerutkan dahi dan mulai merenung. Ah tenang, masih ada waktu satu tahun lagi. Mungkin tahun depan aku akan coba mendaftar sekaligus kembali mempersiapakan diri dengan melatih fisik. Pendaftaran di tahun depan akan jadi kesempatan terakhirku.
Tapi, tidak berselang lama, aku baru tersadar bahwa usiaku saat ini bukan 25 tahun, tetapi 26 tahun menuju 27 tahun. Sial memang. Selama ini aku terlena dengan berbagai hal yang tidak penting sampai-sampai melupakan fakta pahit bahwa hidup terus berjalan dan usia akan terus bertambah.
ADVERTISEMENT
Mulanya, aku sedikit ragu dan tak percaya. Apa benar tahun ini usiaku genap 27 tahun? Aku langsung memeriksanya lewat kalkulator dan ternyata benar. Tahun ini usiaku akan genap 27 tahun.
Seakan masih tak percaya, aku mencoba menghitung kembali di kalkulator, takutnya salah memasukkan angka atau kalkulatorku memang error. Tapi sial. Hasilnya tetap sama: 27 tahun.
Krisis dalam Hidup
Usai dua kali memeriksa kebenaran pahit itu, aku terdiam cukup lama. Pikiran dan suasana hati langsung berubah 180 derajat menjadi tidak karuan. Mulai terganggu dengan tak karuannya isi pikiranku ini, aku memutuskan untuk pulang dari wakrop.
Sepanjang perjalanan pulang, aku terus bertanya-tanya, "Apa benar usiaku tahun ini akan menginjak 27 tahun?" Tak hanya itu, tanpa tedeng aling-aling, rasa penyesalan bertubi-tubi merasuki pikiran hingga membuat hati gelisah.
ADVERTISEMENT
Rasanya waktu berjalan begitu cepat tanpa aku sadari. Perasaan, baru kemarin aku melamar kerja di usia 23 tahun. Kini, tidak terasa, usiaku akan menginjak 27 tahun. Berarti, sudah empat tahun lamanya aku bekerja.
Aku terus berpikir keras, "Apa yang sudah aku lakukan dan hasilkan selama 4 tahun ini di Kota Jakarta?" Rasanya belum ada hal yang bisa aku banggakan, selain merepotkan saudara. Itu pastinya bukan sebuah kebanggaan bagiku.
Setibanya di rumah, aku hanya berdiam diri sembari mengungkit rangkaian memori di masa lalu. Sesekali, aku membaca berbagai tulisan soal usia 27 tahun; sebenarnya ada apa di usia 27 tahun. Entah mengapa, rasanya ada yang sesuatu yang berbeda dibanding usia-usia sebelumnya. Kini mulai mulai terasa ada kejanggalan—seperti ada sesuatu yang berubah dalam kehidupan ini, tetapi sulit dijelaskan oleh kata-kata. Semua terjadi begitu saja.
ADVERTISEMENT
Dari beberapa tulisan yang telah aku baca, akhirnya didapat benang merah bahwa usia ini adalah usia krusial karena sebagian besar orang akan mengalami quarter life crisis. Katanya, setiap keputusan dan tindakan yang diambil akan memengaruhi dan menentukan bagaimana nasib kita di masa depan.
Semua gejala yang aku rasakan dan alami semuanya berkesesuaian. Tidak bisa dipungkiri, nampaknya aku akan segera memasuki fase ini. Fase krusial dalam hidup di mana setiap tindakan dan keputusan yang diambil harus dipertimbangkan secara matang.
Hingga tulisan ini dibuat, sejujurnya aku masih terus merenung dan berpikir keras. "Apa yang sebenarnya ingin aku cari di dunia ini? Seperti apa kehidupan ideal itu?"
Dampak kegagalan mendaftar menjadi abdi negara beberapa tahun lalu kini mulai terasa. Aku berangan-angan, seandainya dahulu tidak memutuskan mundur, apakah saat ini aku sudah menjadi seorang abdi negara?
ADVERTISEMENT
Aku teringat. Dahulu, dalam masa-masa krusial seperti ini, di mana banyak pikiran mengganggu, selalu ada teman yang bisa diandalkan untuk berkeluh kesah dan dimintakan jalan keluar. Tapi kini, satu per satu dari mereka menghilang. Sekarang, kebanyakan mereka sudah sibuk dengan kehidupannya masing-masing.
Hati ini retak, ya, jelas. Dia pergi menghilang tanpa sebab. Terbesit pikiran, "Akan seperti apa kehidupanku dalam 3 atau 5 tahun ke depan dengan kondisi seperti ini?" Semua pertanyaan itu seakan mejadi beban dan tantangan baru dalam hidup.
Pada akhirnya, mau tidak mau, quarter life crisis ini memang harus dihadapi. Sudah menjadi takdirnya manusia: lahir, tumbuh, berkembang menjadi remaja, dewasa, berkeluarga, menua, dan kelak akhirnya mati.
Jika melihat siklus kehidupan, artinya waktu di dunia ini tidak lama lagi. Tapi sejujurnya, masih banyak yang ingin aku lakukan dan ingin aku raih selama berada di dunia ini. Hidup terus berjalan dan waktu terus berputar.
ADVERTISEMENT