Konten dari Pengguna

Mesin Waktu dan Perasaan yang Tertinggal

Muhammad Fadjar Hadi
masih hidup dan masih bertahan
6 Maret 2020 2:57 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Fadjar Hadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Mesin Waktu dok Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Mesin Waktu dok Pixabay
ADVERTISEMENT
Seandainya mesin waktu itu benar adanya, jelas banyak hal yang ingin aku perbaiki di masa lalu. Namun sayangnya, mesin waktu hanyalah angan dan sampai sekarang tak pernah ada. Atau mungkin memang tak akan ada.
ADVERTISEMENT
Hampir dua tahun vakum menulis di akun pribadi, hati dan pikiran ini kembali terpanggil untuk menulis. Terakhir, aku ingin melanjutkan tulisan seputar pengalaman liputan bareng Pak Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi ketika meninjau arus mudik dan balik sekaligus menghabiskan malam tahun baru 2019 di Semarang, Jawa Tengah.
Tapi sepertinya kelanjutan tulisan itu harus setop sampai waktu yang belum ditentukan. Kali ini, aku ingin menulis yang santai-santai saja alias soft. Setiap hari bikin tulisan serius rasa-rasanya tegang juga he..he..
Sebetulnya, ide tulisan ini muncul setelah pikiran terutama hati ini terasa begitu sakit. Sakit bukan karena kerjaan, tapi karena seseorang.
Yah, setidaknya aku berharap dengan tulisan ini bisa sedikit menghilangkan rasa gundah yang sudah selama hampir seminggu belakangan ini terus menghantui kehidupanku sampai membuat sulit untuk istirahat.
ADVERTISEMENT
Teman-temanku pernah berkata kalau aku cukup payah dalam masalah percintaan. Mungkin itu ucapan benar adanya. Selama ini, aku jarang menyatakan perasaan yang ada di hati ini secara langsung kepada orang yang aku suka.
Aku berpikir, tanpa perlu dinyatakan, dia juga 'tahu' bagaimana perasaan ini yang sesungguhnya. Namun ternyata selama ini aku keliru.
Pada akhirnya, waktu yang terus berlalu, hari yang terus berganti, bulan demi bulan berlalu menghasilkan sekat pemisah di antara kita. Semua karena kebodohanku di kala itu.
Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi hari esok karena hidup adalah misteri. Seandainya kita tahu apa yang akan terjadi di masa depan, jelas akan sangat membosankan hidup ini.
Dan kini semua tak lagi sama seperti dulu. Hari-hari yang menyenangkan itu sekarang sudah berubah menjadi kenangan.
ADVERTISEMENT
Kala itu, aku yang tersesat di tengah keramaian ibu kota dan rutinitas Kota Jakarta begitu melelahkan hati dan pikiran ini. Kamu yang kemudian muncul di tengah keramaian itu perlahan memberi arti dan warna dalam hidup ini.
Senyummu bagai rembulan, parasmu layaknya mentari di pagi hari. Setiap detik yang dulu kita lewati terasa begitu berharga. Kini aku tersadar, semua sikap hangatmu telah meluluhkan hati yang keras ini.
Aku pikir, hati ini sudah menangis jika memang bisa menangis. Semua kenangan itu perlahan menghilang seperti kabut di pagi hari.
Ibuku pernah bilang, tidak perlu menyesali kesalahan di masa lalu. Aku pun telah mencoba membuka lembaran baru dan menjalani hari demi hari seperti biasanya. Sembari berharap kesedihan ini segera berakhir.
ADVERTISEMENT
Namun sialnya, semua ini terasa berat. Aku tak tahu harus berbuat apa. Bahkan aku masih terjebak dalam kenangan dan menaruh harap kepadanya.
Dari sejumlah kegelisahan itu aku berpikir, seandainya mesin waktu itu benar adanya, mungkin rasa sakit ini tidak pernah ada. Walau pun tidak ada jaminan, setidaknya aku sudah mendapatkan jawaban itu.
Orang bilang penyesalan selalu datang terlambat. Ah sial, mengapa kata orang itu ada benarnya. Tapi aku masih terus bertanya apa benar semua ini sudah terlambat?
Dahulu, ketika masih duduk di bangku kuliah, adalah gunung yang selalu menjadi pelampiasan. Selain itu, membuat puisi dan menggambar mampu sedikit menghilangkan rasa sakit di hati ini. Sayangnya kini semua itu tak bisa lagi aku lakukan.
ADVERTISEMENT
Harus diakui, ada perasaan yang tertinggal di masa lalu. Aku masih berharap bisa kembali ke masa itu. Bagaimana dengan kamu?