Solo Hiking ke Gunung Lawu dan Bertemu 6 Pendaki Misterius

Muhammad Fadjar Hadi
masih hidup dan masih bertahan
Konten dari Pengguna
24 Oktober 2020 6:08 WIB
comment
13
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Fadjar Hadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Gunung Lawu. Gunung setinggi 3.265 mdpl yang terletak di antara perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur ini sejak dahulu memang sudah menarik perhatianku. Bukan tanpa sebab, karena begitu banyak cerita dan kisah di sana yang menjadi perbincangan di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Mulai dari cerita mistis hingga urban legend warung 'Mbok Yem' yang legendaris itu. Sayangnya keinginanku mendaki Gunung Lawu tak pernah terwujud selama duduk dibangku kuliah.
Tak terasa tiga tahun berlalu. Siapa sangka, impian yang terpendam itu benar-benar terwujud pada Selasa, 20 Oktober 2020. Semua dimulai ketika saya mengajukan cuti akhir September lalu.
Sebelum cuti, kebetulan ada teman kantorku yang baru selesai cuti. Singkat kata, kita berbincang-bincang yang pada intinya dia menyarankanku cuti. Beberapa pekan setelah itu, akhirnya saya mengikuti saran darinya dan mengajukan cuti.

Sebelum ke Gunung Lawu

Jujur, rencana awal saya hanya ingin mengabiskan cuti selama lima hari di rumah yakni Bandung. Maklum, sudah lama tidak pulang ke rumah dan Ibuku selalu menanyakan kapan akan pulang. Selain itu, karena pandemi COVID-19 di Indonesia belum melandai, rasanya agak riskan jika bepergian jauh-jauh.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, hati kecil ini berbisik alangkah menariknya jika cuti ini juga dipakai pergi liburan ke gunung. Kapan lagi ngajuin cuti? Toh kan sudah lama tidak cuti. Pada akhirnya bisikan untuk naik gunung itu saya lakukan. Pulang iya, liburan juga iya. Ibarat sekali dayung dua pulau terlampaui.
Sebelum ke Gunung Lawu, ada beberapa plan yang muncul di kepala yakni Gunung Prau, Gunung Sumbing, dan Gunung Merbabu. Gunung Lawu tidak masuk plan karena saya tidak punya tim pendakian tetap sehingga cukup riskan kalau ke Lawu. Sementara kalau ke Paru, Sumbing atau Merbabu, kebetulan sudah pernah ke sana sehingga kurang lebih masih ingat medan pendakian di sana.
Setelah mantap ingin mendaki gunung, saya sempat menghubungi salah satu teman kuliah dan saudara mengajak kembali naik gunung. Ketika itu, tanpa pikir panjang mereka menerima ajakanku dengan alasan sedang free. Mereka bertanya gunung apa yang nanti akan didaki dan spontan saya mengusulkan Gunung Lawu yang sebelumnya tidak ada dalam plan. Mereka juga langsung menerima tawaran ini.
ADVERTISEMENT

Harapan Palsu

Akhir-akhir ini ada istilah yang tren di kalangan anak muda, biasanya apa yang sudah direncanakan sejak jauh hari tidak akan pernah terealisasi. Namun berbeda jika dilakukan secara dadakan. Dan ternyata itu memang benar adanya.
H-7 sebelum keberangkatan, teman kuliahku dan saudaraku kompak mendadak membatalkan janji untuk muncak bareng karena alasan ini dan itu.
Sebenarnya dari awal sudah curiga kalau mereka hanya akan memberi harapan palsu. Tapi ya sudah, karena sudah terlanjur cuti saya tetap melanjutkan pendakian ini meski nantinya harus sendirian.
-----

Pergolakan Batin Solo Hiking ke Gunung Lawu

Entah apa yang merasuki pikiranku saat itu. Tanpa pikir panjang, langsung memantapkan diri mendaki gunung seorang diri alias solo hiking. Terlebih gunung yang akan didaki adalah Gunung Lawu yang terkenal angker karena banyak cerita mistis.
ADVERTISEMENT
Memang selama mendaki gunung sejak 2014 mulai dari Ciremai, Slamet, Sindoro, Sumbing hingga Semeru saya belum pernah mengalami hal-hal mistis. Tapi, tetap saja hati ini sempat sedikit goyah.
Bukan tanpa sebab, beberapa bulan lalu baru ada kejadian pendaki hilang karena kabut lalu dia ditemukan tewas akibat jatuh ke jurang. Padahal yang bersangkutan naik ramai-ramai. Lantas bagaimana dengan nasibku nanti yang akan mendaki seorang diri?
Tiga hari sebelum keberangkatan, batin ini terus bergejolak. Ada sedikit rasa cemas namun di satu sisi hormon adrenalin terus terpancing, semakin tak sabar ingin mendaki Gunung Lawu.
Setelah mengalami pergolakan batin dan merenung panjang, rasa gundah di hati ini perlahan pudar dan saya semakin yakin mendaki Gunung Lawu seorang diri. Akhirnya dari Jakarta saya mulai menyusun sejumlah rencana perjalanan dan menetapkan tanggal pendakian yakni 20 Oktober 2020.
ADVERTISEMENT
H-1 sebelum pendakian, saya pulang ke rumah dengan melakukan start dari Stasiun Gambir ke Stasiun Bandung. Sebagai warga negara yang baik, tentu saya mengikuti anjuran pemerintah dan Satgas COVID-19 yaitu melakukan rapid test terlebih dahulu. Hasilnya sudah pasti saya non-reaktif. Selama perjalanan juga saya mematuhi protokol kesehatan menjaga jarak, mencuci tangan dan tidak lupa memakai masker.
Singkat kata, tibalah saya di rumah dengan selamat. Di sana saya langsung menyiapkan alat-alat pendakian. Ada beberapa barangku yang masih ada tapi ada juga yang hilang seperti kompor dan nesting, tapi semua masih bisa diatasi. Jelang keberangkatan tidak lupa aku meminta izin dan doa restu dari orang tua.
Perjalanan menuju Gunung Lawu kali ini bisa dibilang unik dan cukup mewah. Dulu biasa naik kereta kelas ekonomi atau bisnis kini, pakai kelas eksekutif yakni Turangga dari Stasiun Bandung ke Stasiun Solo Balapan. Masalah harga tiket, jangan ditanya, sudah pasti cukup menguras isi dompet.
ADVERTISEMENT
Mendaki seorang diri memang ada plus minusnya. Plusnya adalah selama perjalanan terasa cukup tenang dan kita lebih memiliki kontrol penuh terhadap waktu dan rencana-rencana selama berada di lapangan. Sedangkan minusnya, jelas perjalanan terasa hampa karena tidak ada teman ngobrol dan budget membengkak.
Sepi di dalam Kereta Turangga Menuju Solo, 1 Gerbong Cuman Isi 7 Orang, Gokil

Dari Solo Balapan ke Gunung Lawu

Saya tiba di check point pertama yakni di Stasiun Solo Balapan pada Selasa subuh sekitar pukul 03.10 WIB. Setibanya di Solo saya sempat berkeliling mencari angkringan karena perut ini sudah keroncongan. Sekitar 10 menit berkeliling, tidak ada angkringan yang buka, Solo benar-benar sepi kala itu. Penyebabnya tidak lain akibat COVID-19 sehingga tidak banyak orang lalu lalang di sana.
Meski begitu, untungnya masih ada mini market yang buka dan saya langsung pergi ke sana untuk membeli beberapa cemilan dan logistik.
ADVERTISEMENT
Usai dari mini market, saya kembali melanjutkan perjalanan menuju basecamp pendakian. Kebetulan saya sudah berencana mendaki melalui jalur Candi Cetho karena pemandangan di sana cukup baik dibanding dari Cemoro Sewu atau Cemoro Kandang. Selain itu, start pendakian cukup enak karena kita sudah berada di ketinggian sekitar 1.700-an mdpl atau sudah setengah di badan Gunung Lawu. Jadi kita enggak benar-benar naik dari bawah.
Dari Solo Balapan saya menyewa mobil seorang diri dan tentu saja hal itu menguras isi dompet. Perjalanan menuju Candi Cetho cukup lancar dan cuaca subuh itu sedikit gerimis. Lama perjalanan sekitar 1 jam 30 menit dengan medan menanjak dan berkelok-kelok. Terlihat beberapa truk pembawa air lalu lalang dari arah Cetho menuju Solo.
ADVERTISEMENT
Ah, ternyata saya sangat rindu dengan pemandangan seperti ini. Udara dingin segar dan jauh dari hinar binar Ibu Kota Jakarta membuat perjalanan semakin syahdu.
Saya sendiri tiba di basecamp pendakian Cetho sekitar pukul 04.45 WIB. Rasa was-was sempat menghampiri karena suasana di sekitar basecamp sepi. Tidak ada warung yang buka, tidak banyak orang berkeliaran dan saya belum melihat adanya orang yang akan mendaki atau baru turun gunung saat itu. Dalam hati saya berkata:
Catatan: Sedikit gambaran mengenai suasana di basecamp Candi Cetho, di sini merupakan pemukiman warga dan mereka cukup ramah dengan para pendaki rasanya sudah seperti saudara sendiri. Selain itu, berdasarkan informasi yang saya terima mayoritas warga di sana berprofesi sebagai petani hal itu dibuktikan dengan banyak sekali ladang teh dan perkebunan. Kemudian fasilitas dan sarana juga sudah cukup lengkap ada wi-fi, penyewaan alat-alat outdoor, warteg, hingga kamar mandi air panas. Ini juga menjadi tempat terkakhir kita mendapat sinyal sebab begitu kita sudah masuk jalur pendakian sinyal mulai sulit.
Suasana di Basecamp Candi Cetho

Persiapan Pendakian

Sebelum start pendakian, saya sempat istirahat sebentar di basecamp Barokah. Di sana akhirnya saya melihat ada beberapa orang pendaki yang ternyata merupakan rombongan dari Jawa Timur. Mereka cukup banyak sekitar tujuh orang tapi sayangnya mereka baru saja turun gunung dan akan pulang.
ADVERTISEMENT
Saya berkenalan dengan mereka dan menanyakan bagaimana suasana Gunung Lawu termasuk medan pendakian di jalur Cetho. Mereka bilang cukup aman dan jalur-jalur cukup jelas, hanya saja cuaca di atas sempat berkabut sehingga mengurangi jarak pandang. Lalu mereka bertanya saya mendaki dengan siapa. Setelah mendengar mendaki seorang diri tentu sudah bisa ditebak bagaimana ekspresi mereka. Ya, mereka kaget dan terheran-heran.
"Serius mas sendirian? Gila, enggak takut apa? Apa sebelumnya sudah pernah mendaki sendirian?" tanya dia.
"Ya belum lah, ini aku baru pertama naik sendiri, yah itung-itung cari pengalaman dan menenangkan diri dari kerjaan dan juga doi haha," jawabku.
Akhirnya kita berbincang-bincang sedikit dan berkutar kontak siapa tahu dalam perjalanan berikutya kami bisa menanjak bareng.
ADVERTISEMENT
Seperti biasa, sebelum mendaki ada ritual-ritual yang saya lakukan yakni foto-foto dan membuat beberapa video. Selepas itu saya kembali memeriksa perlengkapan pendakian jangan sampai ada yang terlewat.
Ritual Sebelum Pendakian

Solo Hiking dari Basecamp Cetho Menuju Pos 1

Pendakian Gunung Lawu baru dibuka pukul 07.00 WIB. Saya sangat antusias karena cuaca pagi ini sangat cerah, tidak ada hujan, tidak ada kabut, dan puncak terlihat dengan sangat jelas. Rasanya seperti Gunung Lawu memberikan restu dan karpet merah kepadaku untuk masuk ke dalam sana.
Setelah cukup istirahat dan memastikan barang-barang lengkap saya langsung tancap gas melakukan pendakian. Sebenarnya, pendakian yang sudah-sudah biasa saya baru jalan sekitar pukul 10.00 WIB atau setelah zuhur bahkan terkadang malam. Tetapi mengingat kali ini saya mendaki sendiri, mau tidak mau harus berangat sepagi mungkin agar perjalanan lebih aman terlebih gunung yang didaki adalah Gunung Lawu.
ADVERTISEMENT
Biaya simaksi Gunung Lawu adalah Rp 20 ribu. Tapi ada sedikit catatan, karena COVID-19 seharusnya petugas di basecamp menerapkan protokol kesehatan ketat yakni meminta surat bebas COVID-19 atau minimal surat keterangan sehat, tetapi kala itu saya tidak diminta menunjukan surat itu.
Saya positif thinking mungkin petugas jaga di basecamp sudah percaya kalau para pendaki dalam keadan sehat. Tapi entahlah, hanya mereka yang tahu.
Setelah mengurus simaksi saya diberi satu peta pendakian Gunung Lawu. Dalam peta dijelaskan ada 5 pos utama di jalur Cetho dan beberapa pos kecil. Urutannya mulai dari basecamp - Candi Cetho - Candi Kethek - area camp - Pos 1 - Pos Bayangan - Pos 2 - Pos 3 dan sumber air - Pos 4 dan area camp - Pos 5 - Gupak Menjangan - Telaga - Batas Sabana - Pasar Dieng - Mbok Yem - Hargo Dalem dan Puncak Hargo Dumilah.
ADVERTISEMENT
Petugas basecamp itu mengatakan, suasana Gunung Lawu akhir-akhir ini cukup baik dan cerah. Ia memberikan saran jika kabut turun lebih baik berhenti sejenak untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Selain itu, dia mengatakan agar mendirikan tenda di Pos 3, Pos 5, atau di Gupak Menjangan dia tidak merekomendasikan mendirikan tenda di Pos 4.
Saya sendiri sebenarnya sudah paham dengan apa yang dimaksud jangan mendirikan tenda di Pos 4. Kurang lebih akan banyak hal-hal tidak terduga jika tetap ngeyel bikin tenda di Pos 4. Setelah selesai membaca dan memahami peta saya langsung melakukan pendakian.
Kebetulan sekali meski saya mendaki seorang diri ternyata hari itu ada beberapa rombongan lain yang mendaki Lawu. Saya bertemu dengan dua orang bapak-bapak dari Kediri namanya Pak Miko dan satu lagi saya lupa namanya. Ah lega sekali rasanya, ternyata saya tidak benar-benar sendirian mendaki gunung ini.
ADVERTISEMENT
Perjalanan dari basecamp ke Pos 1 saya jalan bersama mereka. Kita berbagi cerita dan kisah seputar pendakian gunung. Ternyata Pak Miko ini sudah cukup ekspert karena sudah tiga kali naik Lawu. Kemudian sudah banyak gunung lain yang dia daki. Meski usianya sudah tak lagi muda, tapi staminanya masih terawat dengan baik.
Rencananya saya dan Pak Miko ini akan mendirikan tenda di Gupak Menjangan atau selepas Pos 5 naik sedikit. Pak Miko memperkirakan kita sampai di Gupak sekitar pukul 15.00 WIB. Tetapi berhubung saya cukup lama tidak naik gunung sekitar tiga tahun, rasanya pendakian kali ini terasa berat.
Ditambah saya tidak pernah olah raga dan melakukan pemanasan terlebih dahulu. Apalagi gaya hidup yang kini semakin parah akibat alkohol dan rokok serta pola istirahat yang tidak menentu tentu sudah merusak fisik ini.
Sedikit Pucat Gara-gara Barang Bawaan Beratnya Bukan Main
Otot-otot di pundak ini terasa begitu nyeri dan pegal akibat banyaknya barang di carrier kapasitas 60 liter ini. Tiap jalan lima menit saya selalu berhenti untuk mengatur napas dan stamina. Sungguh berat sekali rasanya. Akhrinya saya mempersilakan Pak Miko untuk jalan duluan dan kita berpisah di Candi Kethek.
ADVERTISEMENT
Gila memang, baru sekitar 30 menit perjalanan tapi stamina sudah banyak terkuras. Saya merasa sedih sekaligus menyesal karena tidak pernah berolahraga.
Selesai istirahat di Candi Kethek, perjalanan seorang diri kembali berlanjut. Jalur pendakian menuju Pos 1 boleh dibilang tidak terlalu terjal dan masih cukup ramah. Sepanjang jalan kita disugguhkan ladang-ladang pertanian milik warga.
Sebelum sampai Pos 1, di sana ada sumber mata air mengalir yang sepertinya menjadi tempat petilasan. Saya menyempatkan diri mencicipi bagaimana rasanya air di sana dan ternyata memang lebih segar dari air mineral yang ada di kota-kota.
Spot di sini juga cukup bagus untuk dijadikan tempat foto-foto ria tapi karena saya naik sendiri, otomatis tidak bisa berlama-lama karena harus kembali melanjutkan perjalanan.
ADVERTISEMENT
Akhirnya tepat sekitar pukul 08.40 WIB saya tiba di Pos 1. Di sini ada sebuah shelter kecil, tapi karena sepi dan sudah istirahat cukup lama di sumber air, saya langsung melanjutkan perjalanan ke Pos 2.
Sumber Air di Dekat Pos 1

Bertemu Burung Jalak Jawa

Jalur pendakian dari Pos 1 ke Pos 2 ini sudah banyak didominasi oleh pohon pinus. Kalau melihat peta, jarak dari Pos 1 ke 2 sekitar 1.034 meter dengan waktu tempuh sekitar 52 menit dengan medan yang cukup terjal. Memang terjal sekali medannya.
Dalam perjalanan ke Pos 2, kebetulan saya bertemu dengan burung Jalak Jawa Gading Abu yang seolah menuntun perjalananku menuju puncak. Entah percaya atau tidak, memang di Gunung Lawu ini terkenal dengan mitos Kiai Jalak.
ADVERTISEMENT
Konon Kiai Jalak ini merupakan pengikut dari Brawijaya V. Jika kita memiliki niatan baik, maka Jalak itu akan menuntun kita sampai atas tapi kalau tidak, katanya kita akan bernasib buruk. Tapi itu semua hanya mitos dan saya juga tidak terlalu percaya dan memikirkan hal itu. Terpenting kembali ke diri sendiri dan niat kita ke gunung untuk apa.
Burung Jalak Jawa itu lumayan lama menemani perjalananku dari Pos 1 ke Pos 2. Beberapa kali pikiran ini sempat sugest 'sepertinya pendakian kali ini gagal total alias tidak akan sampai puncak'. Selain pundak, kedua kaki ini benar-benar terasa berat, baru beberapa langkah ke atas saya sudah berhenti untuk istirahat.
Ini dia, Jalak Jawa yang Menemani Perjalanan dari Pos 1 ke Pos 2
Bukan sekali atau tiga kali seperti itu, tetapi sering sampai tak terhitung. Padahal dalam pendakian sebelumnya saya tidak pernah seperti ini. Boleh dikata pendakian ini merupakan yang paling parah karena saya merasakan rasa lelah dan sakit dan teramat sangat. Saya sampai dibuat jengkel dan tidak percaya mengapa kini bisa selemah ini.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, jelas saya engga mau menyerah dengan keadaan, inilah risiko dan tantangannya naik gunung, apalagi dari awal sudah niat naik sendiri mau tidak mau tantangan ini harus dihadapi. Lantas pikiran-pikiran negatif itu diahilhkan dengan hal-hal yang lebih positif.
Setiap langkah menanjak saya ucapkan bismillah dan lantunan Al-Fatihah dalam hati. Bukan karena takut setan, tapi berharap diberikan kekuatan agar sanggup mendaki sampai puncak. Kalau pun nantinya pendakian ini memakan waktu lama, tak masalah asal jangan sampai rekor 100 persen puncak yang selama ini terjaga dengan baik malah ambyar.
Saya juga tidak peduli jika summit nanti tidak dapat sunrise seperti yang biasa dilakukan di gunung-gunung terdahulu. Terpenting setiap proses pendakian dinikmati dengan baik, toh di puncak Gunung Lawu ini kita tidak dibatasi seperti di Gunung Semeru, Sindoro atau Slamet di mana jam 09.00 WIB kita sudah wajib turun karena adanya gas belerang.
ADVERTISEMENT

Pertemuan dengan Rombongan dari UIN Tangerang Selatan dan Duo Maut dari Boyolali

Mendekati Pos 2, saya bertemu dengan dua orang rombongan dari Boyolali mereka adalah Syaiful alias Emon dan Fajar. Sebuah kebetulan yang bukan kebetulan sekali sih ini, namanya sama-sama Fajar dan seumuran bedanya Fajar Boyolali ini lebih berisi sedangkan saya yah begitulah.
Sama seperti pertemuan dengan rombongan Pak Miko tadi, kita sempat bertukar cerita seputar pendakian gunung. Mereka sempat kaget dan tidak percaya kalau saya naik seorang sendiri.
"Sendirian mas? Seriusan? Wah, bareng aja mas ayok kita rencana ngecamp di Gupak," kata Emon.
Awalnya bukan tidak mau naik bareng mereka tapi saya sadar diri perjalanan kali ini sudah sangat menyiksa dan membebani fisik ini. Mereka memiliki target sampai Gupak sekitar jam 17.00 WIB, sementara jika melihat jalanku yang seperti kura-kura ini rasanya tidak mungkin jam 17.00 WIB bisa sampai Gupak. Saya tidak ingin membebani mereka sehingga saya minta mereka untuk jalan duluan.
ADVERTISEMENT
"Gak apa mas, duluan saja, biar nanti saya nyusul. Kebetulan tadi di depan udah ada dua orang bapak-bapak, seengaknya hari ini saya enggak naik sendirian jadi amanlah,"
"Oh gitu ya sudah tak tunggu di Pos 3 nanti ya," ucap Emon.
Akhirnya Emon dan Fajar melanjutkan perjalanan ke atas. Sementara saya masih beristirahat sejenak dan mereggangkan kaki-kaki. Fajar dan Emon ini nantinya akan menemani perjalan ke Mbok Yem dan mengantar saya sampai Stasiun Solo Balapan.
Tidak lama setelah itu, saya kembali melanjutkan perjalanan ke Pos 2 dengan napas terengah-engah dan kaki yang terus bergetar. Detak jantung terdengar jelas berdebar-debar dan terkadang pandangan di mata ini terasa kabur.
Di tengah kesengsaraan itu, saya kembali bertemu dengan rombongan pendaki. Kali ini, mereka berasal dari Universitas Islam Negeri (UIN) Tangerang Selatan (Tangsel). Jumlah rombongan dari UIN ini cukup banyak ada enam orang. Mereka adalah Son, Yudit, Fatin, Blek, Edo dan Faiz. Kelak mereka ini yang akhirnya banyak membantuku selama perjalanan di Gunung Lawu.
ADVERTISEMENT
Momen perkenalan dengan rombongan dari UIN ini mulanya tidak berjalan dengan lancar seperti perkenalanku dengan Pak Miko dan duo dari Boyolali. Saya dan mereka hanya sedekar saling sapa biasa. Beberapa kali kami saling salip di perjalanan.
Suasana di Jalur Pendakian Gunung Lawu

Perjalanan Syahdu Bersama Rombongan dari UIN

Pukul 10.20 WIB akhirnya saya sampai di Pos 2 atau diketinggian 1.906 mdpl. Di sana saya kembali bertemu dengan rombongan dari UIN Tangsel. Akhirnya kita berbincang-bincang santai dan kita klop dengan sendirinya.
Salah satu pendaki dari UIN ini Faiz sepertinya sudah dari awal memperhatikan kondisiku yang kewalahan karena menenteng tenda. Jadi, masalah tenda ini bermula karena saya tidak punya tenda, akhirnya saya menyewa di sekitar basecamp.
ADVERTISEMENT
Awalnya saya ingin menyewa tenda untuk dua orang karena hanya mendaki sendiri. Tetapi entah mengapa saya malah dikasih tenda untuk empat orang sehingga tenda itu engga muat masuk di dalam carrier. Akhirnya tenda sialan itu saya tenteng dari bawah.
Dengan santuynya Faiz menawarkan diri membawakan tenda sewaan itu. Mulanya jelas saya tolak karena tidak ingin merepotkan, tetapi dia tetap meminta agar tenda ini dibawa olehnya. Pada akhirnya saya serahkan tenda itu kepada Faiz. Dan benar saja, setelah tidak lagi menenteng tenda, perjalanan ini terasa semakin baik karena beban berkurang.
ADVERTISEMENT
Perjalanan dari Pos 2 ke Pos 3 akhrinya saya barengan bersama mereka. Karena masih sedikit canggung, tidak banyak perbincangan di antara kami. Perjalanan menuju Pos 3 cukup berat, medan terjal dan terus menanjak hampir tidak ada bonus (jalur landai). Kemudian kabut juga mulai turun sehingga jarak pandang berkurang. Meski begitu, saya sama sekali tidak khawatir karena kali ini ada enam orang yang menemani perjalanan menuju Gupak.
Selama perjalanan menuju Pos 3, saya juga masih melihat ada beberapa burung Jalak Jawa yang seperti menuntun jalan. Emang bener-bener epic sih itu Jalak.
Kurang Lebih Seperti Ini Medan dari Pos 2 ke Pos 3 Begitu Juga dari Pos 3 ke Pos 4
Pukul 12.00 WIB akhirnya sampai juga di Pos 3. Pos 3 ini cukup luas dan terdapat shelter yang cukup besar. Selain itu ada sumber air yang cukup melimpah di sini.
ADVERTISEMENT
Kita istirahat cukup lama di Pos 3 kurang lebih sekitar satu jam. Seperti biasa, waktu istirahat dipakai untuk ngemil hingga sebat. Sebenarnya saya ingin mengambil beberapa dokumentasi di sekitar Pos 3 ini tapi karena sudah cukup lelah dengan perjalanan saya hanya menghabiskan waktu istirahat untuk bersandar sembari merenggangkan kaki.
Selesai istirahat tepat sekitar pukul 13.00 WIB kami melanjutkan perjalanan dari Pos 3 menuju ke Pos 4. Sejauh ini so far tidak ada masalah dan kendala yang berarti. Medan pendakian, ya jelas jangan ditanya semakin terjal dibandingkan dari Pos 2 ke Pos 3.
Hampir dua jam perjalanan, sekitar pukul 14.45 WIB kami sampai di Pos 4. Ya, pos yang katanya menyimpan banyak kisah mistis itu.
ADVERTISEMENT
Kalau melihat topografi Pos 4 ini, memang cukup sempit dan tidak layak untuk mendirikan tenda. Sebenarnya bisa saja mendirikan tenda di sini tetapi space area terlalu kecil. Selain itu, tidak banyak pohon-pohon di spot pendirian tenda sehingga akan cukup riskan jika memaksakan diri mendirikan tenda di sana.
Oh iya, di Pos 4 ini juga ada shelter kecil yang sepertinya bisa menampung sekitar empat sampai enam orang. Tapi memang sih suasana di Pos 4 agak berbeda dibanding dengan di Pos 3, Pos 2 atau Pos 1.
Mungkin karena Pos 4 ini berada diketinggian 2.550 mdpl sehingga suasanya berbeda dibanding dengan di Pos 3 atau Pos 2. Kami sendiri tidak berlama-lama istirahat di Pos 4 kira-kira hanya 30 menitan.
ADVERTISEMENT
Catatan: Ada satu hal yang hampir lupa saya jelaskan di jalur pendakian via Cheto ini. Hampir di setiap pos selalu ada tempat khusus untuk menaruh sesajen. Beberapa saya melihat ada bekas dupa dan bunga di sana mungkin bunga mawar. Selain dupa dan bunga juga ada seserahan makanan seperti beras dan sebagainya.

Sore Menjelang Malam dan Disambut Kabut dan Hujan

ADVERTISEMENT
Usai istirahat di Pos 4, kami melanjutkan perjalanan menuju Pos 5. Rencananya rombongan dari UIN Tangsel ini ingin mendirikan tenda di Pos 5 sementara saya ingin mendirikan tenda di Gupak Menjangan agar perjalanan menuju nanti puncak tidak terlalu jauh. Tetapi semua melihat situasi dan kondisi mengingat jam sudah menunjukkan pukul 15.45 WIB.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan keterangan peta, perjalanan dari Pos 4 menuju Pos 5 cukup jauh kira-kira sekitar 80 menit. Terlebih jika berjalan dengan santai seperti ini, perkiraan kita baru sampai sekitar pukul 17.20 WIB. Jalur dari Pos 4 ke Pos 5 ini juga merupakan yang terjauh jika dibanding dari basecamp ke Pos 1, Pos 1 ke Pos 2, dan Pos 3 ke Pos 4. Kurang lebih jaraknya sekitar 824 meter dengan medan terjal.
Karena asyiknya rombongan dari UIN ini, sampai-sampai membuat lupa jika saya saat itu sedang mendaki seorang diri. Perlahan tapi pasti saya mulai berbaur dan mengobrol dengan mereka tidak seperti dalam perjalanan dari Pos 3 ke Pos 4 yang masih sedikit canggung.
ADVERTISEMENT
Kabut di Gunung Lawu ini akhirnya kembali datang, namun kali disertai dengan rintik air. Sekitar pukul 16.40 WIB kabut semakin tebal dan rintik air juga semakin banyak. Ketika itu saya berfikir mungkin ini hanya air dari kabut tapi ternyata salah. Rintik air itu bukanlah air kabut tetapi memang akibat hujan.
Dalam pendakian ini saya hanya membawa satu jaket tebal berwarna hitam. Jaket ini sangat spesial karena anti air dan juga ada bulu angsanya sehingga sangat hangat begitu dipakai. Tapi satu kekurangan jaket ini yaitu memiliki berat yang berbeda dibanding jaket biasa. Karena carrier ini sudah penuh, jelas saya tidak bisa memasukkan jaket itu sehingga saya akali dengan cara diikat dari belakang carrier dan terlihat seperti orang sedang memeluk.
ADVERTISEMENT
Ternyata ada satu pendaki yang ketakutan ketika melihat saya berjalan dengan posisi seperti itu. Dia adalah seorang pendaki wanita dari rombongan Yogyakarta. Saya dan dia sebenarnya sudah berpapasan sebelumnya di Pos 3. Namun karena saya terlalu lama istirahat, mereka melanjutkan perjalanan duluan.
Kemudian kita kembali berpapasan di tengah perjalanan dari Pos 4 menuju Pos 5 sekitar pukul 16.50 WIB. Entah apa maksudnya tapi dia nyeletuk ketakutan ketika melihat saya.
"Mas, jangan kayak gitu bawa jaketnya saya takut, masnya kayak lagi ngegendong orang. Hati-hati loh mas," ucap dia.
Saya hanya tertawa mendengar hal itu. Tapi kebetulan karena saat itu hujan semakin deras akhirnya saya putuskan kembali memakai jaket. Saya juga sebenarnya ingin sekalian memakai ponco, tapi sialnya ponco yang ada berwarna hijau.
ADVERTISEMENT
Sementara ada mitos yang mengatakan jangan memakai pakaian atau barang berwarna hijau selama berada di jalur pendakian Gunung Lawu. Akhirnya saya urungkan niat memakai ponco itu karena sebenarnya jaket ini juga sudah tahan air.
Hampir selama satu jam lebih perjalanan sambil hujan-hujanan dan kena kabut, kami akhirnya sampai di Pos 5 sekitar pukul 17.25 WIB. Kebetulan juga begitu sampai Pos 5 hujan reda dan kabut mulai hilang.
Suasana di Pos 5, Mirip Fiersa Besari katanya..
Pos 5 ini ada diketinggian 2.861 mdpl di mana terdapat sabana yang cukup luas. Jika kalian naik dari Cemoro Kandang atau Cemoro Sewu niscaya kalian tidak akan menemukan pemandangan seperti ini, katanya sih.
Usai beristirahat sejenak di Pos 5, kami berembuk akan mendirikan tenda atau tidak. Dari sana akhirnya diputuskan tenda akan digelar di Gupak Menjangan. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan saat itu. Pertama memang Pos 5 cukup luas dan bisa menampung banyak tenda tetapi di sana pohon-pohon cukup sedikit sehingga jika pait-pait terjadi badai, tentu akan terjadi hal yang tidak diinginkan.
ADVERTISEMENT
Kedua, jarak dari Pos 5 ke Gupak Menjangan tidak terlalu jauh, kurang lebih jarak dari Pos 5 ke Gupak hanya sekitar 40 menit. Terakhir melihat cuaca masih cukup terang meski jam sudah menunjukkan hampir pukul 18.00 WIB membuat kita tetap melakukan perjalanan ke Gupak.
Sekitar pukul 17.45 WIB kita melanjutkan perjalanan menuju Gupak Menjangan. Medan dari Pos 5 ke Gupak tidak terlalu terjal seperti dari Pos 2 sampai Pos 5. Di sini banyak sekali bonusnya. Hingga saat ini, alhamdulillah perjalanan masih aman terkendali tak ada kendala.
Di tengah perjalanan ke Pos 5, saya dengan Blek dan Son (2 pendaki dari UIN Tangsel) sempat berleha-leha sejenak. Ternyata di sana ada buah arbei yang sudah matang dan jumlahnya banyak sekali. Ketika dicicipi ternyata rasanya cukup manis. Kami pikir sayang sekali kalau tidak diambil dan akhirnya sekitar lima menit kami bertiga keasyikan memetik buah arbei di sana.
ADVERTISEMENT
Puas menyicip arbei, kami kembali melanjutkan pendakian ke Gupak Menjangan. Akhirnya kita tiba di Gupak Menjangan sekitar pukul 18.20 WIB. Gupak Menjangan ini berada diketinggian 2.952 mdpl.
Setelah mencari spot yang aman, tanpa pikir panjang kita langsung mendirikan tenda. Total ada dua tenda yang kita gelar, pertama tenda yang saya bawa kedua tenda milik rombongan dari UIN Tangsel. Kita set tenda saling berhadapan agar jika sewaktu-waktu turun hujan kita tidak repot untuk berkoordinasi.
Proses pemasangan tenda berjalan cukup cepat sekitar pukul 19.00 WIB dua tenda sudah siap untuk dipakai. Berbarengan dengan itu, sambil berjalan parallel kita juga membereskan barang-barang bawaan di dalam carrier dan mulai mengeluarkan peralatan makan mulai dari kompor nesting hingga logistik.
ADVERTISEMENT
Karena saya biasa memasak dalam setiap pendakian, setelah selesai memasang tenda saya langsung menyiapkan makanan untuk tim. Saya memasak nasi sementara mereka memasak mi hingga sarden. Tidak lupa dua butir telor yang saya bawa juga dimasak malam itu.
Sayangnya mereka lupa membawa sosis dan nugget serta sayuran sehingga menu makanan malam itu alakadarnya. Tapi porsi makanan malam itu sudah lebih cukup untuk mengganjel perut yang keroncongan ini.

A Letter from Lawu

Biasanya dalam setiap pendakian saya yang terdahulu selalu menulis kata-kata untuk seseorang yang sepesial di sebuah kertas kecil. Tapi seiring berjalannya waktu dan bertambahnya usia, rasanya cara seperti itu sudah tidak lagi relevan.
Karena bekas kertas itu nantinya hanya akan menjadi sampah sehingga saya mengubah kebiasaan itu dengan menulis disebuah buku catatan kecil. Pada akhirnya terbongkar juga alasan pendakian ini. Ujung-ujungnya naik gunung karena ada maksud lain bukan sebatas ingin melepas penat dari kerjaan hahaha.
ADVERTISEMENT
Sekitar pukul 20.00 WIB, setelah selesai makan saya mengeluarkan buku merah kecil. Karena tidak boleh bakar-bakar api unggun, saya hanya menyalakan kompor di belakang tenda.
Suhu di Gupak Menjangan malam itu cukup dingin, mungkin dibawah 18 derajat celcius. Dinginnya udara malam di Gupak tidak menyurutkan niat untuk menulis sebuah pesan kecil ini.
Di tengah hening malam dan ditemani api kecil dari kompor saya mencoba menulis dan merangka beberapa kata mutiara untuk dia. Sialnya mungkin akibat tadi kehujanan dan fisik yang sudah cukup lelah membuat pikiran saat itu tidak bisa fokus seperti biasa. Pada akhirnya saya hanya menuliskan apa yang selama ini ada di dalam hati ini.

6 Pendaki Misterius

Sebenarnya saya masih ingin berlama-lama di belakang tenda sembari menikmati api kecil yang menyala di atas kompor. Tapi sekitar pukul 20.50 WIB hujan kembali turun sehingga memaksaku untuk masuk ke dalam tenda. Selain itu, kabut juga kembali turun.
ADVERTISEMENT
Meski kapasitas tendaku bisa menampung empat orang, tapi malam itu hanya diisi tiga orang yakni saya, Son dan Yudit. Sekitar pukul 21.00 WIB hujan turun dengan deras.
Di tengah hujan, datang sekitar enam orang pendaki misterius. Orang yang pertama kali mengetahui kedatangan mereka adalah Son. Ketika itu, salah satu perwakilan dari enam orang ini meminta izin ikut berteduh karena tidak membawa tenda.
Son mengizinkan mereka berteduh tetapi tidak sampai masuk ke dalam tenda. Bukan apa-apa, karena situasi saat itu sudah cukup malam dan kami takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Pasalnya, kita sedikit menaruh curiga karena mereka mendaki Gunung Lawu dan tidak membawa tenda. Terlebih jumlah mereka cukup banyak sekitar enam orang.
ADVERTISEMENT
Selang beberapa menit kemudian Blek yang ada di tenda depan penasaran dan bertanya. Kami jelaskan, ada sekitar enam orang yang ingin ikut berteduh karena tidak membawa tenda. Blek lalu ingin meminjamkan tenda kepada mereka. Kebetulan memang masih ada satu tenda yang belum digelar. Tetapi sebelum tenda itu diberikan kepada mereka, sempat ada perdebatan karena dikhawatirkan enam orang ini bukan pendaki melainkan hanya orang-orang yang ingin melakukan semedi di atas.
Akhirnya setelah berdiskusi, Blek tetap ingin meminjamkan tenda kepada enam orang itu. Tapi belum sampai lima menit, begitu diperiksa ke luar enam orang itu sudah tidak ada. Mereka juga tidak pamit ketika meninggalkan kami.
Saya, Son dan Blek ketika itu masih berpikir positif, mungkin bisa jadi mereka memang sekelompok orang yang ingin bersemedi di atas. Karena cukup gelap kita tidak bisa melihat dengan jelas seperti apa enam orang itu apakah juga membawa carrier atau tidak. Tetapi salah satu dari mereka menggunakan ponco berwarna kuning.
ADVERTISEMENT
Setelah enam orang itu pergi akhirnya kami semua memejamkan mata karena hujan semakin deras. Saya pun menanggap peristiwa itu hanyalah angin lalu.
Tepat sekitar pukul 01.00 WIB, saya terbangun dari tidur lelap ini. Penyebabnya tidak lain tidak bukan karena kebelet kencing karena suasanya malam ternyata semakin dingin. Saya kemudian pergi ke belakang tenda buang air kecil. Kebetulan hujan sudah berhenti.
Setelah selesai kencing, saya masih penasaran dengan enam orang yang sempat menumpang berteduh. Saya sempat sedikit mengelilingi tenda tapi ternyata memang sepi tidak ada apa-apa. Selain itu, tidak terlihat adanya tanda-tanda bekas orang berteduh.
Dini hari itu meski hujan sudah reda tapi kabut menjadi lebih tebal dari biasanya, jarak pandang hanya sekitar tiga meter, saya masih pengin memeriksa sekitar tenda memutuskan mengurungkan niat itu dan kembali masuk ke dalam tenda.
Kabut di Gunung Lawu Tak Kunjung Hilang

Summit ke Puncak Bareng Duo Boyolali

Pukul 04.30 WIB saya benar-benar tebangun dan tidak bisa tidur kembali. Sementara enam rombongan dari UIN ini masih terlelap di dalam sleeping bag mereka.
ADVERTISEMENT
Kemudian saya memeriksa ke luar tenda dan kabut sudah menghilang. Selain itu, cuaca cukup cerah dan sangat mendukung untuk melakukan summit ke puncak Gunung Lawu. Kilapan sunrise yang terlihat dengan jelas membuat jantung ini berdebar-debar.
Kebetulan duo dari Boyolali Fajar dan Emon mendirikan tenda tidak jauh dari lokasi kami. Kira-kira hanya sekitar 10 meter atau ada di bawah. Saya langsung menghampiri mereka untuk mengajak summit bareng.
Sementara rombongan dari UIN Tangsel memang tidak akan muncak hari ini karena mereka masih akan menginap satu hari lagi. Sehingga saya mencari teman lain yang mau diajak bareng ke puncak.
Pas sekali ternyata Emon dan Fajar juga ingin summit ke puncak. Akhirnya kita sepakat melakukan perjalanan pukul 05.00 WIB. Tidak banyak persiapan dalam perjalanan ke puncak ini karena saya tahu ada Mbok Yem diatas. Artinya, stok logistik atau makanan sudah pasti terjamin. Setelah saya berpamintan dengan rombongan dari UIN, kami bertiga melakukan start menuju puncak.
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanan menuju puncak, saya sempat bertanya kepada Fajar dan Emon soal adanya enam pendaki misterius yang semalam sempat mampir ke tenda saya. Ternyata, mereka mengaku tidak melihat adanya rombongan pendaki enam orang itu. Dalam hati saya masih berpikir positif mungkin enam orang ini tidak melintas di depan tenda mereka.
Pendakian dari Gupak Menjangan ke puncak tidak terlalu jauh. Meski begitu, kita harus melalui beberapa pos di depan mulai dari Pasar Dieng, Hargo Dalem, Mbok Yem lalu puncak Hargo Dumilah. Jika ditotal, perjalanan dari Gupak Menjangan sampai puncak membutuhkan waktu kurang lebih hampir 60 menit.
Bak petir di siang bolong, cuaca yang tadinya cerah berubah drastis saat kami akan sampai ke Pasar Dieng. Kabut tiba-tiba kembali muncul dan hujan rintik manja turun dengan syahdunya. Wah sumpah saya speechless ketika itu. Saya khawatir kejadian seperti di Gunung Slamet dan Sumbing kembali terulang (ditutup kabut ketika ada di puncak).
Yak, Kurang Lebih Seperti Ini Situasi saat Summit ke Puncak
Pikiran saya mulai tak karuan kala hujan dan kabut turun. Apes benar kalau sampai puncak nanti ditutup kabut. Apa jangan-jangan Gunung Lawu murka karena tahu saya juga ingin menulis kata-kata mesra di puncak nanti untuk dia? Entahlah.
ADVERTISEMENT
Saya masih berpikiran positif semoga cuca pagi ini bersahabat. Setelah 10 menit berlalu, hujan tak kunjung reda malah semakin menjadi. Sekitar pukul 05.45 WIB kami bertiga sampai di Pasar Dieng. Di sini banyak sekali bunga Edelweis dan cocok dijadikan spot foto-foto. Tapi hujan dan kabut membuat kami tidak bersemangat foto-foto.
Dalam pendakian itu, aku masih saja penasaran dengan sosok enam pendaki itu. Sebab dalam perjalanan aku belum melihat ada tanda-tanda dari enam orang itu. Tapi bisa jadi mereka memang rombongan yang akan semedi. Akhirnya pukul 05.55 WIB kami sampai juga di Mbok Yem. Kami bertiga sedikit mengigil karena diguyur hujan sepanjang perjalanan.
Suasana di Warung Mbok Yem

Mbok Yem, Urban Legend Gunung Lawu

Pernahkan kalian melihat ada warung makan dengan menu komplit di atas gunung? Atau pernahkah kalian terpikir ada warung di ketinggian 3.150 mdpl? Ini bukan warung kecil ya tapi warung cukup besar seperti yang ada ditempat-tempat angkringan.
ADVERTISEMENT
Ya, warung itu memang ada tidak lain dan tidak bukan adalah Mbok Yem. Warung Mbok Yem ini adalah yang tertinggi di Indonesia bahkan bisa jadi di Asia Tenggara.
Kebetulan ketika saya sampai, Mbok Yem baru saja selesai memasak nasi. Tanpa basa basi saya langsung memesan makanan di sini. Ternyata menu yang disajikan tidak main-main. Nasi gudeg ditambah dengan telur. Benar-benar makanan yang cukup mewah ketika kita berada di puncak gunung.
Ini Dia Menu Makanan di Warung Mbok Yem
Selain memesan nasi, saya juga sekalian memesan minuman hangat. Bagaimana dengan rasanya? Satu kata, juara! Masakan dari Mbok Yem ini benar-benar memanjakan perut. Stamina yang tadinya terkuras habis langsung terisi penuh.
Harga paket nasi dan minuman hangat di Mbok Yem juga cukup ramah di kantong hanya Rp 20 ribu. Kalau diperhatikan dengan seksama, dagangan yang ada di Mbok Yem ini sudah cukup komplit. Saya sampai berpikir, kira-kira bangaimana caranya orang yang mengangkut semua barang dagangan ini.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya saya ingin berbincang banyak dengan Mbok Yem tapi karena saya kurang fasih berbahasa Jawa saya hanya manut-manut ketika beliau berbicara.
Kurang lebih, hanya kata-kata itu yang bisa saya ucapkan kepada beliau.
Emon yang fasih berbahasa Jawa sempat sedikit mewawancara Mbok Yem. Kurang lebih Mbok Yem bercerita sudah cukup lama berdagang di Puncak Gunung Lawu. Biasanya dalam seminggu sekali ada orang yang mengatar persediaan bahan dagangan dan Mbok Yem ini juga memang tinggal di puncak. Sungguh luar biasa.
Berhubung suasana masih berkabut, kami bertiga memutuskan untuk bersantai di warung Mbok Yem kurang lebih sampai pukul 08.30 WIB atau hampir tiga jam lamanya. Selagi menunggu hujan reda dan kabut menghilang, di sana kita banyak bercerita dengan seorang pria yang ikut membantu Mbok Yem berdagang di puncak. Mulai dari berbicang seputar UU Cipta Kerja, HRS, hingga Jokowi hahaha.
ADVERTISEMENT
Saya kemudian pergi ke luar warung untuk kembali memantau cuaca di luar. Ternyata kabut tidak kunjung berhenti dan terus berdatangan disertai dengan hujan. Saya sempat mengajak Emon dan Fajar melanjutkan perjalanan ke puncak, tapi karena mereka tidak membawa jas hujan, mereka menolak ajakanku.
Di satu sisi karena saya sudah berjanji dengan rombongan dari UIN akan turun pukul 09.00 WIB, akhirnya saya tetap melanjutkan perjalanan ke puncak seorang diri.
Suasana di Gunung Lawu

Sensasi Sendirian di Hargo Dumilah

Mungkin karena cuaca hujan dan berkabut tidak banyak pendaki yang menuju ke puncak kala itu. Tapi saya masih penasaran seperti apa suasana di Hargo Dumilah karena jika dilihat dari Mbok Yem suasana di puncak cukup cerah meski ada kabut.
ADVERTISEMENT
Dari sini saya benar-benar merasakan bagaimana rasanya naik seorang diri. Sebelumnya, saya ditemani oleh pendaki lain yakni rombongan dari UIN dan Emon serta Fajar.
Jujur sedikit deg-degan ketika nanjak ke puncak dari Mbok Yem. Padahal jaraknya hanya sekitar 260 meter dengan waktu tempuh 15 menit. Penyebabnya kabut yang cukup pekat membuat jarak pandang benar-benar terbatas. Selain itu, saya tidak menyangka ada banyak jalur percabangan saat menuju puncak. Salah ambil jalur, sudah pasti akan tersesat.
Beruntungnya saya kembali betemu dengan burung Jalak Jawa. Meski bukan gading abu, burung kecil itu seakan menuntunku menuju puncak. Tidak lama setelah itu, akhirnya saya sampai puncak sekitar pukul 08.50 WIB.
Benar saja, sesuai dengan dugaanku dipuncak sepi tidak ada orang. Saya sempat berkeliling di sekitar Hargo Dumilah untuk memastikannya dan memang tidak ada orang sama sekali. Kemudian kabut semakin tebal di sekitar area puncak, padahal tadi dibawah cukup terang.
ADVERTISEMENT
Meski sedikit panik, saya berusaha tetap tenang agar pikiran tidak lari kemana-mana. Saya juga menyalakan sebatang rokok agar badan ini terasa hangat. Tapi sialnya kopi yang sudah aku siapkan di dalam termos kecil malah ketinggalan di warung Mbok Yem.
Tetap Tenang Walau di Hargo Dumilah Sepi dan Bekabut
Sekitar 15 menit sendirian di puncak Hargo Dumilah, siapa yang sangka ternyata Emon dan Fajar menyusulku dari belakang. Dari kejauhan terdegar teriakan mereka.
Setelah dipastikan mereka adalah Emon dan Fajar akhirnya rasa cemas ini benar-benar hilang. Bersamaan dengan itu kabut yang tadinya menutupi Hargo Dumilah perlahan menghilang dan pendaki lain mulai berdatangan ke puncak tertinggi di Gunung Lawu.
Fajar, Emon, dan Fajar
So far, tidak ada peristiwa janggal atau aneh yang terjadi kepada saya selama di Gunung Lawu. Kecuali masalah enam pendaki misterius yang sampai sekarang masih menjadi misteri siapakah gerangan mereka. Tapi saya dan rombongan dari UIN Tangsel menganggap tidak terjadi apa-apa di malam yang sunyi di Gupak Menjangan.
ADVERTISEMENT
Kurang lebih seperti itu sedikit pengalaman mendaki solo ke Gunung Lawu via Candi Cetho. Secara garis besar sangat cukup memuaskan dan memberikan banyak pengalaman bagi saya pribadi. Jadi engga benar-benar full mendaki solo karena ternyata ada rombongan yang mengajak naik bareng.
Tidak lupa kembali saya sampaikan banyak terima kasih kepada rombongan dari UIN Tangsel yakni Son, Yudit, Fatin, Blek, Edo dan Faiz. Kalian memang sungguh luar biasa. Kapan-kapan kalau ada waktu, kita bisa muncak bareng lagi.
Kemudian terima kasih juga buat Emon dan Fajar yang sudah nemenin di puncak walau telat. Terima kasih juga karena sudah mau turun bareng dan mengatarkan saya sampai Solo. Next time, begitu ada waktu senggang perjalanan turun gunung juga bakalan ceritain sama seperti pendakian.
ADVERTISEMENT
Akhir kata mohon maaf jika ada kesalahan kata-kata dan kekeliruan. Salam sehat selalu buat kita semua.