Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Solo Hiking ke Gunung Rinjani: Porter, Kabut, Monyet, Jurang dan Sisa Gempa 2018
17 Oktober 2021 13:17 WIB
·
waktu baca 46 menitTulisan dari Muhammad Fadjar Hadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mendaki Gunung Rinjani rasanya sudah menjadi impian bagi sebagian besar pendaki di Indonesia termasuk saya. Khusus bagi saya, keinginan untuk mendaki gunung tertinggi di Nusa Tenggara Barat ini sudah muncul sejak masa kuliah.
ADVERTISEMENT
Namun, impian ini baru benar-benar terwujud pada Oktober 2021 atau setelah menunggu lebih dari 7 tahun lamanya.
Tapi, siapa yang sangka kalau pendakian ke Gunung Rinjani kemarin dilakukan seorang diri atau solo hiking.
Sebenarnya tidak solo juga sih, saya bersama seorang porter lokal bernama Ronni. Jadi, kami mendaki berdua dari Desa Sembalun lalu turun di Desa Senaru.
Prolog Pendakian
Mendaki Gunung Rinjani cukup menantang sehingga diperlukan persiapan matang. Persiapan pendakian sudah direncanakan sejak satu tahun ke belakang tepatnya setelah saya mendaki Gunung Lawu.
Selain itu, mendaki Rinjani memerlukan waktu tidak sedikit. Idealnya adalah 3 hari 2 malam. Belum termasuk perjalanan pergi dan pulang jika kita dari luar kota.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, bisa saja kita mendaki kilat dengan durasi 2 hari 1 malam. Tetapi otomatis kita tidak akan merasakan sensasinya Danau Segara Anak dan pemandian air panas di sana.
Saya rasa, pendakian 3 hari 2 malam sudah cukup pas dan ideal. Meski pada ujungnya di rusuh-rusuh selama pendakian. Apalagi kalau punya fisik dan stamina yang terbatas.
Protokol Pendakian Selama Pandemi COVID-19
Pendakian ke Gunung Rinjani ini dilakukan masih dalam keadaan pandemi COVID-19 . Semua wajib dipersiapkan sejak jauh hari. Mulai dari surat keterangan bebas COVID-19 berbasis antigen hingga surat keterangan sehat.
Sistem pendakian Gunung Rinjani menggunakan booking online di aplikasi e-Rinjani yang bisa kalian unduh di Google Store atau Apple Store secara gratis. Setelah mengunduh aplikasi, kalian tinggal memilih mau mendaki dari pos mana dan turun di pos mana.
ADVERTISEMENT
Total ada 5 pintu pendakian di Rinjani. Mulai dari Sembalun, Aik Berik, Senaru, Tete Batu, Timbanuhdan Torean. Kalian bebas mau naik dari mana saja begitu juga dengan turunnya. Contoh, kalian bisa naik dari Sembalun dan turun di Senaru seperti saya atau sebaliknya. Bisa juga naik di Sembalun dan turun di Sembalun.
Namun perlu dicatat, masing-masing pos sudah ada kuota pendakian tersendiri berkisar 20-50 orang per hari. Kemudian batas maksimal pendakian dibatasi hanya 3 hari 2 malam. Oleh sebab itu, kalian harus memikirkan hal ini dengan matang dan bijak agar tidak kesulitan saat memasuki hari pendakian.
Meski penularan COVID-19 di Indonesia mulai melandai dan terkendali, bukan berarti kita bisa berkegiatan leluasa seperti sebelum ada virus corona. Tetap, kita masih harus patuh protokol kesehatan ketat seperti memakai masker hingga menjaga jarak demi kebaikan bersama.
ADVERTISEMENT
Kita kembali lagi ke rencana pendakian. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, pendakian ke Gunung Rinjani ini dipersiapkan sejak jauh hari. Mendaki Gunung Rinjani membutuhkan effort yang lebih, tekad kuat, mental baja, dan tentunya kantong yang tebal 'bila solo hiking seperti saya'.
Sedikit buka-bukaan, sebelum ke inti dari tulisan, bila ditotal, rasanya sudah lebih dari Rp 5 juta keluar dari kantong demi bisa mewujudkan impian ini. Tapi pada akhirnya, biaya pengeluaran yang besar itu terbayar lunas setelah berhasil mencapai puncak dan merasakan nikmatnya pemandian air panas di Danau Segara Anak.
Tanpa basa-basi lagi kita langsung ke bagian inti yakni memulai pendakian dari Desa Sembalun.
Prya ke Sembalun
Awalnya saya kira perjalanan dari Lombok Praya alias bandara ke Desa Sembalun atau pos pendaftaran pendakian cukup dekat. Ternyata jaraknya lumayan jauh. Butuh waktu sekitar 3 jam menggunakan mobil.
ADVERTISEMENT
Untungnya, selama perjalanan tidak ada kemacetan sehingga terasa cukup nyaman. Selain itu, sepanjang jalan dari Praya hingga Desa Sembalun mulus abis dan sudah full aspal. Ini sih yang jadi nilai plus dan membuat saya terkaget-kaget.
Biasanya kan jalanan saat masuk ke daerah pegunungan 'jelek' dan tidak 'terurus' tapi di Lombok ini tidak demikian. Jalanannya sudah mulus dan rata aspal sehingga kita enggak perlu khawatir dengan jalanan berlubang dan jelek yang bisa bikin enggak nyaman selama di perjalanan.
Sedikit catatan, transportasi umum masih cukup sulit dijumpai di sini. Sehingga saya memutuskan untuk sewa mobil dari Praya.
Singkat kata, saya tiba di Desa Sembalun pada Minggu (3/10) sore sekitar pukul 18.00 WITA. Karena pendakian baru dimulai pada Senin (4/10), saya memutuskan menginap satu malam di home stay di sekitar kaki gunung sekaligus menyewa tenda.
ADVERTISEMENT
Mulanya, saya berencana mendaki Gunung Rinjani seorang diri alias solo hiking. Tapi rasanya keinginan itu tidak mungkin dilakukan karena kebetulan kedua jempol kaki ini terluka karena sehari sebelumnya saya bepergian dulu ke Gili Trawangan dengan nyeker alias tanpa alas kaki. Akibatnya, dua jempol kaki sobek dan lumayan cukup kesulitan untuk berjalan normal.
Selain itu, saya sempat sedikit berbincang dengan seorang warga sekitar sekaligus pemilik penyewaan tenda bernama Rozak. Ternyata, memang sulit jika ingin naik solo karena akan banyak gangguan selama pendakian terutama dari monyet. Belum lagi jika pahit-pahitnya sampai terjadi hal yang tidak diinginkan, jelas akan sulit melakukan evakuasi atau meminta pertolongan.
Setelah lama merenung dan mendengarkan berbagai masukan itu, akhirnya saya memutuskan memakai jasa porter lokal. Dia bernama Ronni. Terkait biaya dan sebagainya, nanti akan saya jelaskan dalam tulisan selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Kita lanjut, setelah istirahat semalaman sembari melakukan persiapan dan checking ulang seluruh barang bawaan, hari pendakian akhirnya dimulai.
Usai mengurus pendaftaran ulang dan pemeriksaan barang bawaan di pos pemeriksaan, saya dan Ronni melakukan pendakian. Pendakian dimulai pada Senin pagi pukul 07.30 WITA.
Terik Panas Membara di Pos 1 hingga Pos 2
BMKG menyampaikan Indonesia sudah memasuki musim pancaroba atau peralihan, beruntung cuaca hari ini sangat bagus dan bersahabat alias cerah. Dari kaki gunung, terlihat betapa gagahnya Gunung Rinjani ini.
Pikiran semakin tidak karuan karena terus mengkhayal bagaimana ya rasanya berada di puncak tertinggi di NTB pada esok hari? Ah, pasti rasanya sangat luar biasa apalagi ini merupakan impian yang sudah sejak lama didambakan.
ADVERTISEMENT
Namun, semua khayalan itu mendadak pupus karena pukul 08.30 WITA, cuaca semakin panas. Perlahan tapi pasti, langkah demi langkah mulai terasa berat. Saya mulai kesulitan mengatur napas akibat terik matahari menusuk kulit. Mau pakai jaket juga serba salah.
Kiri-kanan sepanjang pendakian sudah dipenuhi oleh pepohonan hijau. Tapi terik panas tidak dapat tertahankan. Nasi sudah menjadi bubur, karena sudah nanggung berjalan jauh dan keluar banyak ongkos, pendakian harus tetap berlanjut.
Beruntung, ada Ronni yang menemani pendakian ini. Sehingga suasana yang sempat hening dapat dipecahkan dengan berbagai macam obrolan. Meski Ronni merupakan seorang porter, bukan berarti seluruh barang bawaan saya dibawakan olehnya.
Prinsip saya adalah fair, jadi kami sharing barang bawaan. Ronni membawa beberapa konsumsi dan tenda karena kebetulan carrier saya sudah penuh. Lumayan beban di pundak sedikit berkurang karena tanpa membawa tenda, berat carrier ini sudah sekitar 10 Kg.
ADVERTISEMENT
Jelang memasuki pos 1, cuaca semakin panas dan napas makin tak karuan membuat pendakian makin tidak menentu. Singkat kata, kami dihampiri oleh beberapa tukang ojek lokal.
Setelah beberapa kali menolak tawaran tukang ojek itu, akhirnya dengan sangat 'terpaksa' saya memutuskan menggunakan jasa tukang ojek ini dari pos 1 menuju pos 2.
Pikirku saat itu adalah mengejar waktu agar bisa istirahat cukup lama di Pelawangan. Sebab sudah beberapa hari saya mengalami kesulitan tidur, jika sampai kurang istirahat, dikhawatirkan akan mengganggu dan mempengaruhi summit attack nanti. Sehingga saya putuskan mengiyakan tawaran tukang ojek itu.
ADVERTISEMENT
Ternyata keputusan naik ojek ini cukup tepat karena memangkas banyak waktu. Sekitar pukul 09.10 WITA saya dan Ronni sudah tiba di pos 2. Jika tidak naik ojek, mungkin perkiraan sekitar pukul 11.00 WITA atau 12.00 WITA kami baru sampai pos 2. Karena medan dari pos 1 dan 2 lumayan cukup jauh dan terjal.
Kebetulan saya lupa tidak menanyakan nama tukang ojek itu. Tapi kami banyak berbincang selama perjalanan. Mulai menanyakan tempat asal hingga seputar pengalaman naik gunung. Singkat kata, dia bertanya saya akan turun di mana, setelah mendengar jika saya akan turun di Senaru, pembicaraan mendadak menjadi serius.
Saya paham apa maksud dari pernyataan itu. Banyak setan di sana kurang lebih. Kang Ojek itu menambahkan, jalur Senaru saat ini sudah tidak sebagus dulu karena rusak akibat gempa sehingga berisiko tinggi. Menurutnya, sekarang Senaru sudah sepi pendaki. Rata-rata sekarang banyak orang naik dari Sembalun dan turun di Torean atau sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Setelah mendengar pernyataan itu, perasaan ini jelas menjadi sedikit cemas. Enggak sampai kena mentallah. Saya hanya tersenyum dan berkata. "Kita lihat nanti saja".
Setibanya di pos 2, saya dan Ronni beristirahat sekitar 15 menit sambil menghisap sebatang rokok kretek. Tidak lupa karena ada sumber mata air, saya mencoba mencicipi bagaimana rasanya air Gunung Rinjani dan mencuci muka. Ternyata, memang enggak salah, segar dan alami rasanya.
Kabut, Cerita Pendaki Tersesat hingga Tewas, Monyet dan Pelawangan
Setelah cukup beristirahat, sekitar pukul 09.30 WITA kami melanjutkan perjalanan dari pos 2. Di sinilah pendakian sebenarnya dimulai. Berdasarkan keterangan Ronni, diperkirakan kita baru sampai di Pelawangan sekitar pukul 12.00 WITA.
Kami memang menargetkan berkemah di Pelawangan karena rata-rata pendaki yang akan summit menuju puncak berangkat dari Pelawangan. Selain itu, ada mata air di sana sehingga sudah sangat ideal.
ADVERTISEMENT
Sebelum lanjut berjalan, masih ada pemeriksaan terakhir yang dilakukan petugas Taman Nasional Gunung Rinjani atau TNGR di sini. Kita kembali diperiksa barcode kode booking di aplikasi e-Rinjani. Sehingga kecil kemungkinan pendaki ilegal bisa lolos dari pemeriksaan.
Sepanjang pendakian menuju Pelawangan, cuaca panas mulai menghilang karena kabut muncul. Inilah yang saya suka. Mendaki berselimut kabut. Dengan adanya kabut, udara menjadi lebih segar dan dingin. Mengatur napas juga jauh lebih mudah.
Dalam pendakian, kami sempat bertemu dengan beberapa rombongan dari luar. Ternyata rombongan itu dari Jakarta dan juga memakai jasa porter.
Mereka sempat menanyai apa pekerjaanku. Mulanya saya tidak mau mengungkap apa pekerjaanku. Saya hanya menjawab sebagai seorang penulis. Namun mereka terus mendesak dan sempat menyinggung apa yang kelak aku dapat setelah nanti turun gunung akhirnya dengan terpaksa saya menunjukkan ID pers ini kepada mereka.
ADVERTISEMENT
Saya pikir mereka sepertinya tidak tahu apa itu kumparan. Tapi di luar dugaan, ternyata mereka tahu betul. Ada sedikit bangga. Sebab dahulu ketika masih awal-awal, banyak orang yang tidak tahu apa itu kumparan. Tapi seiring berjalannya waktu, kini kumparan semakin dikenal masyarakat luas.
Setibanya di pos 3, saya juga bertemu dengan seorang pendaki bule atau WNA yang turun gunung. Dilihat dari bahasanya, sepertinya dia berasal dari Prancis. Uniknya, bule itu sama seperti saya naik sendiri dan hanya ditemani seorang porter lokal.
Saya tidak sempat berkenalan dengan porter yang mendampingi bule itu. Tapi saya angkat topi karena ternyata dia sangat fasih berbahasa Prancis.
Pesan moralnya:
Seperti biasa, saya dan Ronni beristirahat sejenak di pos 3 hanya untuk menghisap sebatang rokok dan membuat secangkir kopi. Kebetulan di sana ada penduduk lokal yang berjualan.
ADVERTISEMENT
Meski usianya sudah lanjut, beliau masih cukup kuat untuk mendaki dan berdagang di pos 3. Berbagai aneka dagangan ia jajakan mulai dari buah-buahan hingga minuman kaleng. Ia ditemani oleh seorang pemuda yang sepertinya adalah anaknya.
Benar-benar pemandangan yang menyentuh dan menjadi penyemangat. Meski sudah tua, beliau masih semangat mencari rezeki.
Dalam kesunyian di pos 3, saya melihat ponsel dan benar ternyata masih ada sinyal. Menurut keterangan penduduk sekitar, sinyal dari provider Telkomsel dan XL sangat baik di sini. Bahkan, sampai puncak atau di ketinggian 3.726 mdpl, disebut-sebut masih ada sinyal.
Karena penasaran, saya coba membuat Instagram story. Ternyata, benar saja, masih bisa update meski membutuhkan waktu cukup lama.
Saya dan Ronni kembali melanjutkan pendakian. Seperti biasa, kami berbincang-bincang banyak hal mulai dari pengalaman hidup hingga cerita pendaki yang tewas di Gunung Rinjani. Menurut Ronni, ada banyak pendaki yang meninggal di sini. Tapi banyak yang tidak di publish karena berbagai macam pertimbangan.
ADVERTISEMENT
Ia bercerita ada seorang pendaki wanita asal Makassar yang ditinggal oleh rombongannya di puncak. Ini sih bener-bener keterlaluan. Tega-teganya kalian ninggalin cewek seorang diri di tengah gunung. Bagi kalian yang merasa dan membaca tulisan ini sumpah kalian lebih-lebih dari sampah.
Beruntungnya wanita malang itu selamat dan diantar turun karena bertemu dengan Ronni.
Selain itu, Ronni juga bercerita banyak hal mistis di Gunung Rinjani. Katanya, belum lama ini ada pendaki wanita yang tersesat ketika akan turun dari puncak. Pendaki wanita itu disebut sempat hilang selama 3 hari sebelum akhirnya ditemukan selamat di sekitar pos 2 jalur Sembalun.
Konon katanya, saat di puncak cuaca berkabut. Dia turun dan terpisah dari rombongan. Nahasnya, dia salah jalur di mana seharusnya dia turun melalui jalur lurus tetapi dia malah belok yang di mana itu adalah jurang.
ADVERTISEMENT
Anehnya, berdasarkan keterangan wanita itu, dirinya tidak melintasi jurang karena dia mengikuti beberapa 'pendaki' yang ada di depannya. Sepanjang jalan katanya cukup landai.
Lalu bagaimana dia bisa survive selama 3 hari tanpa makan dan minum?
Ronni bilang, sebelum tersesat dia membawa beberapa logistik seperti madu. Demi mencegah dehidrasi, dia mengkonsumsi madu itu dan mengoleskan di bibirnya.
Pendaki wanita itu juga bercerita kalau dirinya sempat ditemani oleh 'pendaki' misterius. Setiap malam, dia mengaku seperti dijaga oleh pendaki misterius itu. Pendaki itu katanya berpakaian serba putih, namun saat akan diajak berbicara, mereka selalu langsung bergegas untuk pergi.
Belakangan terungkap kalau pendaki wanita ini katanya ibadahnya rajin. Diduga rombongan 'pendaki' misterius itu adalah yang selalu menjaga wanita itu sebelum akhirnya ditemukan di dekat pos 2. Percaya atau tidak, ya seperti itulah yang disampaikan oleh Ronni, seorang porter yang sudah mendaki Rinjani sejak 2005.
Karena asyik bercerita, tidak terasa perjalanan kami sudah hampir tiba di pos 4 atau satu langkah sebelum tiba di Pelawangan. Seperti biasa, saya mendokumentasikan perjalanan di ponsel ini.
ADVERTISEMENT
Namun kesyahduan mengambil dokumentasi ini tidak berlangsung lama. Sebab, beberapa gerombolan monyet mulai berdatangan. Biasanya, monyet-monyet di Rinjani muncul di pos 4 hingga Pelawangan. Tingkah laku mereka cukup agresif karena mengambil barang-barang milik pendaki termasuk ponsel. Jika lengah, sudah dipastikan ponsel bisa saja melayang.
Kebetulan saya memiliki pengalaman buruk dengan monyet. Ketika mendaki Gunung Lawu pada Oktober 2020, ponsel saya dirampas oleh monyet di warung milik Mbok Yem. Beruntung. monyet itu di rantai sehingga ponsel saya masih bisa diselamatkan.
Tingkah monyet di Gunung Rinjani yang agresif ini dipicu oleh kesalahan kita sendiri. Monyet itu biasa dimanja dengan cara diberikan berbagai macam makanan oleh pendaki. Akhirnya mereka menjadi manja dan menilai kedatangan kita untuk memberikan makan. Jika tidak diberi, otomatis mereka akan agresif dan merampas paksa barang bawaan kita seperti para begal di ibu kota.
ADVERTISEMENT
Lepas dari pos 4, jalur pendakian semakin curam dan terjal. Beruntung kabut semakin pekat dan mulai ada rintik-rintik air dan membuat pendakian ini tidak terasa berat. Tidak bisa dibayangkan bagaimana jika tidak ada kabut, bisa dipastikan sepertinya pendakian saya akan terhenti di pos 4.
Jalur pendakian terus menanjak. Hanya ada sedikit bonus atau jalur landai. Mau mencoba ambil video tapi khawatir ada monyet. Akhirnya saya putuskan terus mendaki dengan ritme pendakian yang mulai melambat.
Sepanjang jalan, terlihat banyak kerusakan parah akibat gempa pada 2018. Gempa berkekuatan 6,8 magnitudo itu meluluhlantakkan sebagian besar jalur pendakian. Beberapa jalur sampai hancur akibat gempa. Tapi kata Ronni, kerusakan terparah ada di jalur Senaru.
ADVERTISEMENT
Sembalun juga terdampak gempa. Akibat jalur rusak, dibuat jalur baru sehingga kita harus sedikit memutar sebelum sampai ke Pelawangan.
Tidak terasa, sekitar pukul 13.30 WITA saya dan Ronni akhirnya tiba di Pelawangan. Ternyata, lumayan cukup banyak pendaki yang mendirikan tenda di sini.
Pemandangan di Pelawangan Sembalun ini sejatinya memanjakan mata jika tidak tertutupi kabut. Dari sini, kita bisa melihat Danau Segara Anak. Begitu juga dengan puncak Rinjani dan tanjakan Leter L yang katanya sangat menyiksa.
Keindahan di Pelawangan Sembalun sedikit tercoreng karena gerombolan monyet semakin banyak di sini. Saya sempat melihat ada monyet yang berusaha mengambil makanan di dalam tenda milik orang. Benar saja, kalau naik solo, enggak terbayang seperti apa repotnya mengurus gerombolan monyet itu.
ADVERTISEMENT
Setelah mencari spot, kami memutuskan mendirikan tenda di Pelawangan Sembalun 2 atau naik sedikit dari Pelawangan Sembalun 1. Total ada tiga Pelawangan di mana Pelawangan 2 dekat dengan jalur menuju Danau Segara Anak dan Pelawangan 3 dekat dengan punggungan saat nanti akan summit.
Dari sini, misteri mengapa sinyal di Rinjani ini begitu gacor juga terungkap. Karena ada pemancar sinyal di Pelawangan. Jadi, kalian tidak perlu khawatir jika ada kendala atau masalah. Kalian bisa menghubungi petugas di basecamp dengan lancar.
Nasi Kotak Polri Rasa Rendang, Berak Lagi di Gunung dan Milky Way
Selesai mendirikan tenda, kami langsung merapikan barang bawaan. Saya langsung mempersiapkan konsumsi dan daypack atau tas kecil untuk persiapan summit attack pada Selasa (5/10) dini hari. Sedangkan Ronni tidak ikut muncak karena dia akan menjaga tenda dari gerombolan monyet ganas.
ADVERTISEMENT
Ronni menjelaskan, perjalanan dari Pelawangan menuju puncak memerlukan waktu sekitar 3 sampai 4 jam. Artinya, waktu ideal untuk summit sekitar pukul 02.00 pagi jika ingin mengejar sunrise. Beruntungnya, tidak ada batasan waktu di puncak Rinjani. Tidak seperti di Semeru di mana batas maksimal di puncak adalah pukul 09.00 WIB.
Usai melakukan persiapan, saatnya untuk sarapan siang. Kebetulan dalam pendakian ini saya membawa nasi ransum Polri. Isinya ada tiga jenis macam nasi, yakni daging cincang, ayam, dan ikan. Dari tiga menu itu, saya mencoba mencicipi nasi daging cincang.
Proses pembuatannya tidak ribet, kalian cukup menaruh nasi kotak yang sudah dilapisi oleh alumunium foil itu di atas kotak panggangan yang sudah disediakan dalam paket. Lalu memanaskannya selama 5-10 menit karena nasi itu sebenarnya memang sudah matang.
ADVERTISEMENT
Memang agak sulit mendapatkan nasi ransum ini karena tidak dijual bebas dan tidak diperjualbelikan. Lalu bagaimana saya mendapatkanya? Ada lah.
Ternyata rasa nasi daging cincang ini kurang lebih seperti nasi rendang tapi tetap lebih enak rendang Padang. Sialnya, makan nasi ini yang kelak menjadi cikal bakal perut mules dan akhirnya berak lagi di gunung setelah hampir satu windu.
Satu jam setelah sarapan, sekitar pukul 15.00 WITA, Ronni pergi ke sumber mata air untuk mengambil air. Sedangkan saya menjaga tenda karena di luar masih banyak monyet. Singkat kata, setelah 20 menit, gerombolan monyet itu mulai pergi dan kembali ke tempat asal mereka hingga tidak ada lagi monyet di sini.
Perut ini mulai terasa sakit. Mulanya saya coba menggunakan minyak kayu putih untuk meredakan rasa mules tetapi tidak berhasil. Karena sudah sepi, dengan berat hati saya putuskan mencari tempat berak di sekitar Pelawangan yang jauh dan jarang di jamah orang.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya saya termasuk orang yang jarang buang hajat di gunung. Kejadian pertama dan satu-satunya adalah di Gunung Slamet. Hal itu juga dilakukan dengan keadaan terpaksa.
Alasan utama saya selalu menahan berak di gunung karena sangat merepotkan. Belum lagi saat itu saya hanya membawa sedikit tissue basah. Ini menjadi masalah bila sampai stok habis. Bagaimana ceboknya nanti terlebih tidak ada air hujan.
Karena memang panggilan alam dan sudah di ujung tanduk, untuk kali kedua saya kembali berak di gunung.
-------
Selesai urusan berak, saya kembali ke tenda. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 16.00 WITA. Niat untuk mendokumentasikan suasana di Pelawangan masih tidak memungkinkan karena masih tertutup kabut. Akhirnya saya hanya diam menunggu Ronni datang sebelum tidur.
ADVERTISEMENT
Pukul 18.00 WITA, saya terbangun. Pemandangan di Pelawangan masih cukup terang dan kabut mulai menghilang. Samar-samar Danau Segara Anak terlihat. Begitu juga Desa Sembalun dari kejauhan. Memang memanjakan mata. Tidak ada pemandangan gedung-gedung tinggi dan polusi udara. Inilah arti kedamaian yang sesungguhnya.
Semakin malam, cuaca di Pelawangan Sembalun semakin cerah. Bintang-bintang di langit nampak jelas. Selain itu setelah sekian lama tak melihat Milky Way, akhirnya untuk kali kedua saya kembali melihatnya.
ADVERTISEMENT
Tentu tidak saya mau melewatkan kesempatan emas dan langka ini dan mencoba mengabadikannya dari ponsel ini. Terakhir dan kali pertama saya melihat Milky Way yakni di Ranu Kumbolo, Semeru. Nahas saat itu saya tidak bisa mendokumentasikannya karena tidak ada SLR dan ponsel masih jadul.
Tapi, kali ini semua sudah berbeda. Sebelumnya ini bukan niat promosi apalagi endorse, ponsel saya Samsung S10. Kamera ponsel pintar ini harusnya, harusnya ya, sudah bisa mengambil gambar Milky Way dengan baik. Rasanya, aneh saja sih kalau kamera S10 tidak mampu melakukannya.
Pertama, saya coba dengan mode standar, hasilnya, bisa ditebak. Hanya gambar hitam dan tidak menarik dipandang. Kemudian saya coba menggunakan mode manual.
Butuh perjuangan panjang buat mencari settingan pas. Setelah 30 menit, baru didapat settingan yang sesuai. Meski tidak sempurna, setidaknya pemandangan Milky Way bisa diabadikan dalam kamera.
ADVERTISEMENT
Berikut beberapa foto Milky Way dari Pelawangan Sembalun:
Setelah puas mengambil gambar, saya kembali masuk ke tenda dan beristirahat mengingat jam 02.00 nanti sudah harus bangun dan melakukan summit ke puncak.
Summit Attack, Jurang dan Detak Jantung Tak Karuan
Saya kembali melihat jam dan waktu menunjukkan pukul 00.00 WITA. Mati... saya tidak bisa tidur saat itu. Pikiran ini terus membayangkan bagaimana jalur menuju puncak. Apakah sama seperti di Semeru? Dengan siapa nanti saya muncak mengingat Ronni jaga tenda.
Saya terus berusaha memejamkan mata hingga mencoba cara menghitung domba dalam pikiran. Tetap saja tidak berhasil. Belum lagi suara angin malam di gunung semakin membuat sulit untuk tidur. Hingga akhirnya tidak terasa jam sudah menunjukkan pukul 02.00 WITA.
ADVERTISEMENT
Dengan keadaan setengah sadar dan mata perih karena belum tidur dengan benar, saya kembali memeriksa barang bawaan. Samar-samar dari luar mulai terdengar langkah kaki. Nampaknya itu pendaki summit. Rasa cemas ini berkurang karena akhirnya ada rombongan yang summit.
Sebelumnya, tidak banyak yang saya persiapkan jelang summit. Selain doa, saya hanya sedikit sarapan menggunakan mi goreng dicampur kornet dan secangkir kopi panas agar tidak mengantuk. Saya memang sengaja tidak makan yang berat seperti nasi. Khawatir sakit perut nantinya.
Setelah persiapan matang dan yakin tidak ada barang tertinggal, saya keluar tenda dan bersiap jalan. Tapi, rasa pede yang sempat muncul menjadi ciut karena melihat suasana dini hari begitu gelap. Cahaya dari headlamp tidak cukup bagus untuk penerangan jalan.
ADVERTISEMENT
Saya terdiam sekitar 10 menit hingga akhirnya ada rombongan berjumlah 9 orang melakukan summit. Tanpa basa basi, saya minta izin untuk ikut rombongan mereka.
Summit ini terasa begitu membosankan. Bagaimana tidak, saya ada di barisan paling akhir alias menjadi sweeper. Parahnya, rombongan itu mulanya tidak banyak berbicara dengan saya. Sejak jalan pukul 02.30 WITA hingga pukul 04.00 WITA, tidak ada satu pun percakapan di antara kita.
Rombongan itu nampak asyik sendiri. Ya mau bagaimana lagi, toh saya bukan dari rombongan mereka dan naik seorang diri. Jadi saya memaklumi masalah ini.
Sepanjang jalur dari Pelawangan Sembalun menuju puncak begitu curam dan ekstrem. Terus menanjak hanya ada sedikit bonus. Rinciannya, dari Pelawangan Sembalun-Punggungan-Leter L-Puncak.
ADVERTISEMENT
Nah dari tiga tahapan itu, perjalanan menuju Punggungan sudah sangat berat karena terus menanjak dan mulai didominasi oleh pasir dan batuan. Kiri kanan jalan JURANG! Apa yang selama ini saya cemaskan menjadi kenyataan. Sepanjang perjalanan di Punggungan kiri dan kanan jurang. Bila terpeleset, wassallam. Beberapa kali otak ini memikirkan hal yang tidak-tidak seperti terpeleset hingga jatuh ke jurang.
Tapi semua pikiran negatif itu saya coba hilangkan dengan mencoba berpikiran positif.
Misalnya, ingat saya masih bujang, belum menikah, saya masih ingin menikmati hidup dan menimang anak serta cucu. Jadi, saya belum boleh mati di sini. Hal itu yang akhirnya terus saya camkan dalam hati dan pikiran ini.
Setelah melewati Punggungan, sekitar pukul 05.00 WITA saya dan rombongan mulai memasuki tanjakan Leter L. Saya juga memutuskan men-takeover 5 orang yang ada di depan sehingga saya tidak lagi menjadi sweeper.
ADVERTISEMENT
Bukan tanpa alasan mengapa saya memutuskan takeover, sebab saya dikejar target sebelum jam 07.00 sudah harus tiba di puncak sehingga pukul 08.00, saya sudah bisa turun dan pukul 10.00 sudah tiba di tenda dan melanjutkan perjalanan ke Danau Segara Anak.
Dalam perjalanan menuju Leter L, suasana saya dan rombongan ini mulai mencair. Dari sebelumnya tidak ada tegur sapa, kini mulai saling mengobrol dan berkenalan. Sebelumnya mohon maaf, saya lupa nama-nama dari rombongan itu. Tapi mereka adalah rombongan dari Balai TNGR dan Kementerian Lingkungan Hidup. Rinciannya, 3 orang dari TNGR, 3 orang dari KLHK pusat dan 3 orang porter kalau tidak salah.
Pendakian mereka dalam rangka survei. Meliputi memeriksa kebersihan gunung hingga memastikan keamanan dan fasilitas di Gunung Rinjani. Saya juga diberi tahu jika 3 orang dari KLHK merupakan auditor. Sungguh luar biasa dan kebetulan yang tidak disangka.
ADVERTISEMENT
Singkat kata, perlahan tapi pasti saya men-takeover lagi beberapa orang di depan. Akhirnya saya di posisi paling depan rombongan. Waktu sunrise diperkirakan sekitar 06.09 WITA. Artinya, masih ada beberapa jam lagi. Sedangkan jam menunjukkan masih pukul 05.30 WITA.
Saya pikir pendakian dari Leter L menuju puncak akan membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Tapi dugaan itu salah. Seiring berjalannya waktu, cuaca cerah mulai menerangi perjalanan ini. Lampu headlamp dimatikan dan terlihat betapa luar biasanya pemandangan dari atas sini.
Berikut sedikit pemandangan dari Leter L:
Meski senang disuguhkan pemandangan indah, jangan dikira jantung ini baik-baik saja. Semakin terang jalan, semakin terlihat jelas kerusakan akibat gempa 2018. Jalur menuju puncak hancur parah dan semakin menipis. Belum lagi kiri kanan jurang. Bila terperosok, kecil kemungkinan selamat. Sebab jurang begitu dalam, curam dan dipenuhi batu.
ADVERTISEMENT
"Bismillah, bismillah," hanya itu yang saya ucapkan dalam hati selama perjalanan di Leter L. Masalah jurang ini benar-benar enggak ada obatnya. Bagi kalian yang takut ketinggian atau mempunyai masalah lain dalam stamina atau mental memang tidak direkomendasikan maksa ke puncak. Jalurnya banyak yang rusak.
Sempat sedikit terbesit dalam pikiran ini apakah cukup sampai di sini saja pendakian? Saya melihat altimeter. Terlihat ketinggian sudah 3.200-an mdpl. Artinya, masih ada sekitar 500 mdpl sebelum sampai puncak.
Mental down karena melihat kiri kanan jurang. Sungguh saat itu saya khawatir salah ambil langkah. Beruntung, dalam keputusasaan itu, seorang rombongan dari TNGR maju ke depan saya. Akhirnya saya membuntuti dari belakang hingga menuju puncak.
Impian yang Menjadi Kenyataan, Rasa Lelah Terbayar Lunas
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Tidak terasa jam menunjukkan pukul 07.00 WITA. Semakin melihat ke atas, akhir dari summit attack terlihat jelas. Detak jantung jadi tak karuan, kali ini bukan karena takut terperosok ke jurang tapi penasaran seperti apa rasanya pemandangan di puncak tertinggi NTB ini. Alhamdulillah, pagi ini cuaca cerah, belum ada kabut apalagi tanda-tanda akan turun hujan.
Pemandangan sepanjang Leter L saja sudah begitu 'wah' apalagi di atas nanti. Dengan sisa tenaga yang ada saya terus melanjutkan pendakian. Sesekali berhenti hanya untuk minum dan mengunyah dua potong cokelat untuk menambah stamina.
Sebelum sampai puncak, jarak antara rombongan ini ternyata semakin jauh. Mulanya mereka kompak berjalan beriringan kini sudah terbagi menjadi beberapa grup. Saya dan seorang petugas TNGR di barisan depan alias navigator sedangkan tiga orang di barisan tengah dan sisanya di belakang.
ADVERTISEMENT
Di sini, saya bukan bermaksud ingin meninggalkan rombongan, tetapi memang karena dari awal saya bukan termasuk rombongan dan saya juga mempunyai target waktu yang harus dikejar. Atas pertimbangan itu, saya memutuskan sedikit ngebut jalannya di akhir-akhir.
Banyak orang bertanya termasuk Ronni seperti apa jalur Leter L jika dibandingkan dengan summit di Semeru?
Kalau saya pribadi, secara garis besar tidak ada bedanya dengan jalur di Semeru. Dari segi bahaya sama saja. Bedanya, kalau di Semeru kita harus hati-hati saat mengambil pijakan karena banyak batuan besar yang rapuh selama summit. Bila salah ambil pijakan, otomatis batu akan jatuh dan membahayakan pendaki yang ada di bawah.
Sedangkan di Rinjani, batuan besar cukup kokoh sehingga aman untuk dijadikan pijakan atau tempat beristirahat. Tapi jalur di Leter L, sejak gempa semakin menipis dan tidak lagi luas. Hal ini diperparah karena kiri dan kanan jurang. Jika hilang konsentrasi, sudah barang pasti akan jatuh dan berakibat fatal.
ADVERTISEMENT
Intinya, baik jalur menuju puncak di Semeru dan Rinjani sama-sama berbahaya. Tapi kalau pribadi disuruh memilih, saya lebih khawatir dengan jalur di Rinjani ini. Karena jalur di Semeru masih lebih luas.
Singkat kata setelah 30 menit terus mendaki, sekitar pukul 07.30 WITA, akhirnya puncak tertinggi di NTB ini berhasil saya capai. Langsung disambut oleh lautan awan sepanjang mata memandang.
Danau Segara Anak semakin terlihat jelas termasuk kawah yang sudah tidak aktif. Dari kejauhan, puncak gunung tertinggi di Bali, Gunung Agung juga terlihat jelas. Sayang, hanya Gunung Tambora saja yang tidak terlihat karena sudah tertutup lautan awan. Andai saya tiba pukul 06.00 WITA, mungkin saja Gunung Tambora bisa terlihat dengan jelas.
ADVERTISEMENT
Tapi tidak masalah, pemandangan dan suasana di puncak sudah membayar tuntas seluruh rasa lelah ini dan ongkos yang menguras dompet secara kontan.
Tidak ada penyesalan. Hanya ada rasa syukur kepada Tuhan dan kebanggaan karena akhirnya kaki ini berhasil 'menaklukkan' puncak tertinggi di NTB.
Seperti biasa, selama di puncak saya habiskan untuk berswafoto dan membuat beberapa video. Lalu karena ingin memastikan apakah benar tinggi Rinjani 3.729 mdpl, saya memeriksanya melalui altimeter. Hasilnya ketinggian Rinjani saat ini adalah 3.517 mdpl.
Lah kok bisa begitu? Apakah jam saya ngaco?
Usut punya usut, petugas TNGR yang kebetulan ada di puncak bersamaku memberikan penjelasan. Menurutnya, puncak tertinggi Rinjani sebelumnya masih ada di depan. Namun karena 2018 terjadi gempa besar, puncak tersebut runtuh dan hancur. Jadi, gempa 2018 benar-benar merusak parah. Bayangkan, 200 meter hancur akibat gempa.
ADVERTISEMENT
Sungguh tidak bisa dibayangkan bagaimana kelak kalau kembali terjadi gempa serupa, apakah masih bisa melakukan pendakian hingga puncak? Entahlah, dan jangan sampai terjadi lagi. Sudah cukup gempa 2018 menjadi pengingat dan pelajaran bagi kita semua.
Musibah memang tidak ada yang tahu, tapi ada sedikit pernyataan dari petugas itu yang terus teringat dalam pikiran ini.
Saya tidak berspekulasi terkait maksud dari kata-kata itu. Tapi setidaknya, dari medan pendakian yang telah saya lewati, saya mengerti maksud pernyataan itu.
Di puncak ternyata memang masih ada sinyal meski tidak begitu stabil. Bahkan salah satu dari rombongan TNGR dan KLHK ada yang mencoba melakukan video call dengan keluarga dan kerabat. Tidak disangka ternyata dia bisa video call meski tidak stabil. Baru pertama kali saya melihat kejadian ini. Ada ya di puncak masih bisa update dan video call.
ADVERTISEMENT
Satu jam berlalu, setelah puas mengambil foto dan video jam menunjukkan pukul 08.30 WITA. Cuaca di puncak semakin panas. Tapi di satu sisi, kabut akhirnya mulai muncul. Sesuai prediksi, sebelum jam 10.00 WITA jika ingin mendapat pemandangan kita sudah harus sampai di puncak.
Kalau tidak, puncak keburu ditutupi oleh kabut dan kita tidak akan bisa melihat dan menikmati pemandangan di atas. Selain itu, jalan saat turun nanti akan semakin berbahaya karena tertutup kabut pekat.
Tepat pukul 09.00 WITA, seluruh rombongan itu akhirnya berhasil sampai di puncak. Tadinya saya niat turun sendiri sekitar pukul 08.30 WITA. Namun karena merasa tidak enak, saya putuskan menunggu sampai semua rombongan ini sampai puncak.
Ketika bersiap turun, hal yang tidak terduga terjadi. Untuk kali kedua perut mendadak mules tak tertahankan. Kali ini, bukan karena nasi kotak tapi karena susu.
ADVERTISEMENT
Jadi ceritanya sebelum summit, saya mengganti bekal minuman panas yang biasanya berisi kopi menggunakan susu. Kebetulan saya juga sedang ada target ingin menambah berat badan. Jadi saya membuat susu panas dan dimasukkan dalam termos kecil.
Selama summit, beberapa kali saya menegak susu itu. Hingga setibanya di puncak, saya minum sampai setengah botol. Lalu selang 30 menit, rasa mulas ini mulai muncul.
Awalnya, saya mencoba mencari apa ada tempat sepi di puncak, sialnya tidak ada tempat sepi. Belum lagi ada 3 orang pendaki wanita di atas. Ya Tuhan, bisa gawat kalau sampai ketahuan berak di atas sini.
Saya teringat sebuah mitos rasa sakit perut bisa diredam dengan menggenggam batu dengan kuat di tangan. Saya juga menggunakan minyak kayu putih. Sialnya dua hal itu tidak berhasil, rasa mules malah semakin menjadi dan tidak tertahankan.
ADVERTISEMENT
Karena semakin tidak kondusif, saya memutuskan meninggalkan rombongan itu dan langsung turun seorang diri.
Hattrick dan Dibegal Monyet
Sebenarnya agak kurang etis menceritakan pengalaman buang hajat di gunung. Namun karena hal ini jarang menimpa diriku sekaligus ini merupakan momen unik dan lucu, tidak ada salahnya saya putuskan menceritakan di sini.
Hitung-hitung bisa menjadi pengalaman dan pelajaran bagi pendaki lain terutama bagi kalian yang belum pernah buang hajat di gunung dan bagaimana mengatasinya.
Selama perjalanan turun di Leter L, hanya satu hal yang saya pikirkan. Mencari tempat kosong dan jarang dilintasi oleh pendaki.
Tanpa disadari, seorang petugas TNGR yang tadi ikut muncak bersama saya diawal tadi ikut menemani turun. Tanpa basa basi saya mengatakan perut ini mules. Dengan santai dia mengatakan "Tahan dulu, nanti di Punggungan bisa ada tempat di sana,"
ADVERTISEMENT
Muke gile, jarak dari Leter L ke Punggungan lumayan agak jauh. Sepanjang perjalan rasa mules terus berontak tak karuan, keringat dingin bercucuran bukan keringat karena panas atau lelah.
Doaku hanya satu ketika itu
Akhirnya saya putuskan lari saat perjalanan turun. Tak peduli kiri kanan jurang, selama pandangan fokus lurus ke depan insyallah aman.
Pendakian dari Leter L menuju puncak yang membutuhkan waktu hampir 2 jam. Kini berbanding terbalik saat turun. Hanya dalam 30 menit, saya sudah mau sampai di Punggungan.
Selama 5 menit, saya istirahat membersihkan kaki karena banyak batuan masuk ke dalam sepatu. Saya juga terus mencari-cari apakah ada lokasi kosong yang tidak dijamah oleh pendaki. Tapi masih nihil.
ADVERTISEMENT
Rasa mula tak tertahankan akhirnya berimbas terhadap perjalanan turun. Dari sebelumnya bisa lari, kini hanya jalan terbata-bata. Sialnya, di depan ada 2 orang pendaki wanita dan seorang pendaki pria yang juga turun gunung. Sebelumnya kami berpapasan dengan mereka di puncak. Mereka merupakan rombongan dari Bali.
Si pendaki pria berada di paling belakang. Sedangkan 2 pendaki wanita jauh di depan. Tapi masih cukup jelas terlihat karena kabut belum mencapai puncak.
Saya memberanikan diri menceritakan kondisi saya kepada pendaki pria itu, sudah bisa ditebak, dia tertawa dan memaklumi apa yang saya rasakan. Tapi bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah ada 2 pendaki wanita di depan dan 1 pendaki wanita di belakang. Takutnya ketika buang hajat, salah satu di antara mereka tidak sengaja melihat.
ADVERTISEMENT
Tapi pendaki pria itu meyakinkanku untuk mencari tempat sepi di depan. Dia juga memastikan aman karena tidak ada lagi pendaki yang sedang melakukan summit hari ini.
Saya kemudian memeriksa sisa-sisa barang yang ada di dalam daypack, air sisa kurang lebih 250 ml dan tissue basah masih cukup banyak. Karena perut semakin tidak menentu, saya melanjutkan perjalanan turun sembari terus menjaga jarak dengan 3 pendaki wanita itu.
Jelang sampai di Punggungan, saya melihat ada 2 percabangan jalan yang dipisah oleh retakan dan batuan besar. Sepertinya percabangan itu tercipta karena gempa 2018. Ketika itu, 2 rombongan pendaki wanita di depan saya mengambil jalur kanan karena lebih luas dan sedikit jauh dari jurang. Sedangkan jalur kiri, agak sedikit sempit dan sepertinya jarang dilintasi pendaki karena dekat dengan jurang yang berhadapan langsung dengan Danau Segara Anak.
ADVERTISEMENT
Sementara posisi seorang pendaki wanita yang ada di belakang saya sepertinya tertinggal cukup jauh karena dia tidak lari saat turun.
Karena sudah tidak tertahankan, saya putuskan mengambil jalur kiri dan buang hajat di sana. Tentu saja, tidak semata-mata langsung berak. Pertama saya menggali lubang cukup dalam agar nantinya bisa ditutup oleh pasir dan batuan di sekitar sana. Tidak lupa, juga membaca doa dan memohon izin buang hajat. Sulit dipercaya, 2 kali buang hajat di gunung. Belum pernah terjadi sebelumnya.
Setelah selesai membersihkan diri dan membereskan semuanya, saya kembali melanjutkan perjalanan turun. Kondisi perut ini mulai membaik.
Perjalanan dari Punggungan menuju Pelawangan rasanya sangat berbeda jika dibandingkan saat summit. Ketika summit, saya tidak terlalu merasakan jalur yang terus menanjak dan terjal. Bisa jadi mungkin karena saat itu suasana gelap.
ADVERTISEMENT
Tapi saat cerah, semua nampak jelas. Jalan curam, ada banyak percabangan dan masih didominasi pasir. Padahal saat summit, rasanya jalurnya di Punggungan seperti melintasi tanah biasa.
Saya kembali melihat jam, tidak terasa sudah pukul 11.00 WITA. Jarak ke Pelawangan masih agak jauh karena baru melintasi setengah jalur Punggungan. Saya memutuskan kembali lari karena target jam 15.00 WITA sudah harus sampai di Danau Segara Anak dan mendirikan tenda.
Kebetulan saat itu saya memang ingin cepat sampai karena ingin mencoba berendam di mata air panas. Konon katanya, air panas di sana mempunyai banyak khasiat terutama untuk kulit. Katanya.
Dalam perjalanan turun ke Pelawangan, saya akhirnya berpapasan dengan 2 pendaki wanita asal Bali yang sebelumnya ada di depan. Saya tidak sempat berkenalan dan basa-basi karena dikejar target.
ADVERTISEMENT
Ronni bilang, perjalanan dari Pelawangan Sembalun ke Danau Segara Anak memakan waktu kurang lebih 3 sampai 4 jam. Artinya, kalau jalan dari Pelawangan pukul 12.00 WITA, diperkirakan akan sampai pukul 15.00 WITA atau 16.00 WITA.
Karena pikiran ini terus membayangkan berendam air panas, langkah kaki terus dipercepat hingga akhirnya saya tiba di Pelawagan sekitar pukul 12.15 WITA.
Setibanya di Pelawangan, cuaca mulai dingin karena sudah ditutupi kabut. Terus berpacu dengan waktu, saya dan Ronni langsung bersiap turun ke danau. Sialnya, rasa mules kembali datang.
Dalam hati saya emosi dan frustasi.
Saya coba tahan dan beristirahat selama 10 menit. Tapi percuma, rasa mules ini tak kunjung hilang. Karena cuaca ditutupi kabut, belum ada gerombolan monyet dan 3 pendaki wanita yang ada di belakang masih jauh, saya langsung mencari tempat sepi untuk kembali berak.
ADVERTISEMENT
Ronni bilang, tidak perlu mencari tempat yang jauh dari tenda karena sepi. Akhirnya saya putuskan turun sekitar 6 meter ke bawah dari tenda. Saya lihat persediaan tissue basah mulai menipis. Semoga saja ini yang terakhir dan tidak ada lagi acara berak di gunung.
Hal yang selama ini saya takutkan kejadian juga di sini. Tidak disangka-sangka, dalam jarak 6 meter ternyata masih terlihat dengan jelas dari atas tenda. Saat itu, 2 pendaki wanita yang ada di belakang saya melintas dan tidak sengaja melihat kejadian memalukan ini.
Ya Tuhan, rasanya mati rasa saat itu. Tidak ada kata-kata terucap, saya hanya terdiam seperti patung. Belum sampai di situ, dari arah Danau Segara Anak, ada satu rombongan sekitar 3 orang yang sepertinya ingin berkemah di Pelawangan. Mereka juga tidak sengaja melihat pemandangan tidak biasa ini. Setelah 2 kali kepergok, mental ini hancur. Terlebih salah satu di antaranya wanita.
ADVERTISEMENT
Usai membersihkan diri dan semuanya, dengan muka lesu dan tidak berdaya saya langsung menuju tenda. Shock pasti, malu jelas. Karena berhubung rombongan dari Bali itu juga akan menginap di Danau Segara Anak, saya tidak ingin berlama-lama istirahat dan langsung turun ke Danau Segara Anak.
Setelah memastikan semua barang di-packing rapi, saya dan Ronni sekitar pukul 13.00 WITA turun ke Danau Segara Anak. Bertepatan dengan itu, rombongan monyet mulai berdatangan ke Pelawangan. Sepertinya rombongan monyet ini sudah tahu persis kapan harus tiba di Pelawangan.
ADVERTISEMENT
Jam 13.00 WITA mereka datang lalu sekitar pukul 16.00 WITA mereka pulang ke tempat asal mereka.
Beberapa menit sebelum jalan, ada salah satu monyet yang ukurannya lumayan besar. Monyet itu ternyata cukup cerdik dan terlatih, ketika saya dan Ronni lengah, dia langsung mengambil satu botol air minum berukuran 1 liter.
Dalam sekejap, botol air yang tertutup rapat itu bisa dibukanya menggunakan gigi. Parahnya, seluruh air di dalam botol diminum habis oleh seekor monyet itu. Tidak habis pikir melihat kejadian itu. Ternyata kelakuan monyet di Pelawangan sudah tidak ada bedanya seperti begal.
Pusing Mikirin PCR, Mimpi Buruk, Danau Segara Anak dan Air Panas
Medan dari Pelawangan Sembalun ke Danau Segara Anak cukup membuat frustrasi. Jalanan terus turun dan didominasi bebatuan. Jelas hal ini membuat lutut dan jempol kaki sakit karena menahan beban. Belum lagi kalau sampai salah posisi, sudah pasti bisa cidera.
ADVERTISEMENT
Perlahan rasa pegal mulai terasa di sekujur tubuh. Terutama punggung, pinggang, paha, dan lutut. Untung saja jempol kaki masih aman meski terluka.
Beberapa kali saya berhenti untuk mengoleskan balsem pereda nyeri. Pikiran saat itu juga tidak menentu. Ada dua pemicunya, pertama, saya belum yakin apakah nanti akan turun dari Senaru dan kedua masalah tes PCR.
Sehari sebelumnya saat pendakian di pos 4, saya bertemu dengan 2 pendaki asal Surabaya. Mereka terlihat cukup panik dan tergesa-gesa. Ternyata mereka dikejar waktu karena ingin melakukan tes PCR. Saya sempat heran karena perjalanan dari Jakarta ke Lombok tidak memerlukan PCR dan cukup antigen. Tapi 2 pendaki itu memberikan penjelasan tes antigen tidak berlaku untuk perjalanan dari luar Pulau Jawa. Seluruh perjalanan dari luar Pulau Jawa ke Jawa dan Bali wajib melampirkan tes PCR paling lambat 1x24 jam.
ADVERTISEMENT
Karena penasaran, malam harinya sebelum summit saya coba memastikan hal ini ke customer service Citilink. Sebelumnya, saya terbang dari Jakarta ke Lombok menggunakan Citilink. Begitu juga dengan perjalanan pulang nanti. Saya sudah memesan tiket perjalanan pulang pada 7 Oktober atau hari Kamis siang pukul 14.00 WITA.
Ternyata benar saja, syarat penerbangan dari Lombok ke Jakarta harus PCR. Dari hitung-hitungan waktu, jelas tidak mungkin terkejar jika harus PCR dulu. Hitungannya, saya baru turun gunung besok pada 6 Oktober.
Jika turun dari Senaru, perkiraan saya baru sampai bawah sore hari sekitar pukul 17.00 WITA. Sedangkan jika turun dari Sembalun lagi, mungkin saja saya bisa sampai bawah pukul 14.00 WITA atau bisa lebih.
ADVERTISEMENT
Saya juga langsung mencari informasi berapa lama tes PCR di Lombok. Sebelumnya, saya pernah mencoba tes kilat PCR di Bandung dan tak sampai 3 jam hasilnya keluar. Tapi saya tidak yakin di Lombok bisa seperti itu.
Maka dari itu, untuk berjaga-jaga saya mencoba reschedule penerbangan menjadi tanggal 8 Oktober agar ada jeda 1 hari untuk PCR. Sialnya, sinyal di atas tidak stabil dan akhirnya pembicaraan saya dengan customer service Citilink terputus.
Masalah PCR ini terus menjadi beban pikiran dalam perjalanan menuju Danau Segara Anak. What The Fuck, kok bisa dari Jakarta ke Lombok cukup dengan antigen tapi kalau sebaliknya harus pakai PCR. Padahal kasus aktif di Lombok tidak terlalu banyak saat ini.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, saya memutuskan tidak dulu memikirkan masalah PCR ini. Setidaknya masih ada waktu 1 hari sebelum keberangkatan dan semoga bisa reschedule. Selain itu saya juga tidak ingin masa-masa cuti indah di Rinjani ini rusak hanya karena masalah PCR.
Lanjut ke perjalanan menuju Danau Segara Anak, jam sudah menunjukkan pukul 15.00 WITA. Saya bertanya kepada Ronni apakah masih jauh jarak menuju danau, dia bilang lumayan.
Karena seluruh badan dan kaki sudah pegal, ditambah pikiran sempat mumet akibat PCR saya memutuskan untuk istirahat sejenak dan memejamkan mata. Tidak disangka, saya tertidur lelap hingga memimpikan hal yang menjengkelkan hati.
Karena mimpi buruk, saya terbangun, melihat jam ternyata sudah pukul 15.30 WITA. Lumayan lama mata terpejam. Di satu sisi Ronni sepertinya menikmati istirahatnya. Setelah cukup istirahat, rasa jenuh di otak dan pegal di badan serta kaki sedikit membaik. Kami kembali melanjutkan perjalanan ke Danau Segara Anak.
Tepat sekitar pukul 16.00 WITA kami sampai di Danau Segara Anak. Berhubung masih ada kabut, pemandangan di sini tidak terlihat jelas. Tapi satu hal yang tidak bisa dibantah meski lokasinya luas, sedikit terlihat padat. Mungkin karena banyak pendaki berkemah di sini.
ADVERTISEMENT
Kalau tidak salah ingat, sepertinya ada lebih dari 10 tenda, jumlah yang cukup banyak mengingat situasi saat ini masih dilanda pandemi.
Karena sudah tidak sabar, kami langsung, menggelar tenda. Saya sempat sedikit berkeliling mengamati dengan saksama Danau Segara Anak ini. Nampak ada beberapa pendaki dan porter sedang asyik memancing ada juga yang asyik bersantai. Awalnya, saya pikir air di Danau Segara Anak bisa langsung diminum. Tapi ternyata sumber mata air yang biasa dipakai minum dan air panas ada di lokasi berbeda. Jaraknya sekitar 10 menit dari danau.
Bau di air Danau Segara Anak seperti bau di kolam-kolam ikan. Mendadak sirna rasa penasaran untuk mencicipi air ini. Sehingga saya putuskan untuk mencuci muka dan minum dari air sumber mata air sesuai yang tertera di tanda jalan.
ADVERTISEMENT
Meski sudah sore menjelang Magrib, cuaca di Dana Segara Anak masih cerah. Kabut pekat mulai menghilang dan puncak Rinjani terlihat dengan jelas di sini. Ketinggian di Danau Segara Anak sekitar 2.500 mdpl kalau tidak salah.
Lanjut ke bagian inti, rasanya belum sempurna mendaki Rinjani kalau belum merasakan berendam di mata air panas. Kebetulan juga sudah lama saya tidak berendam air panas. Terkahir sekitar 2014 itu pun berendam di Sari Ater ramai-ramai dengan Dosen terbaik saya di kampus Mas Widyonughanto atau biasa disapa Mas Anto dan senior-senior kampus.
Jalur dari Danau Segara Anak ke sumber mata air dan pemandian air panas tidak terlalu berat meski menanjak. Selain itu, di dekat sana ada pemancar sinyal dan otomatis sempat saya manfaatkan untuk update status.
ADVERTISEMENT
Pukul 16.30 WITA akhirnya saya tiba di sumber air panas. Beruntung suasana di sana masih sepi tidak banyak orang. Dan begitu menceburkan kaki ke dalam rasanya bener-bener panas sesuai dengan namanya. Hasil pengukuran dari barometer ternyata suhu di pemandian air panas ini sekitar 33 derajat celsius.
First impression nyempulng di sumber air panas ini, ada empat kata.
Rasanya seluruh rasa pegal di badan hilang sekejap selama berendam di sini. Pengin rasanya berlama-lama berendam dan tiduran tapi karena waktu tidak memungkinkan dan hari semakin gelap, saya hanya berendam selama 15 menit.
Setelah selesai berendam, tiba-tiba suasana yang sebelumnya tenang dan sunyi mendadak ramai. Sepertinya banyak pendaki baru sampai di Danau Segara Anak sore hari dan langsung ingin berendam seperti saya.
ADVERTISEMENT
Karena pikiran mulai kembali jernih dan dingin, saya akhirnya membuat keputusan mengenai jalur turun nanti. Dari berbagai pertimbangan saya putuskan untuk turun di Senaru. Tadinya sempat ingin turun di Sembalun lagi atau Torean tapi saya baru teringat dalam perjalan turun dari puncak tadi salah satu petugas TNGR mengatakan turun dari Senaru jauh lebih cepat dibanding dari Torean. Karena yang berbicara adalah petugas, ucapannya tidak perlu diragukan lagi.
Sekitar pukul 17.20 WITA saya kembali di tenda. Tanpa basa-basi dengan Ronni saya minta izin untuk langsung tidur karena mata ini sudah cukup lelah.
Entah mungkin karena tidak ada beban pikiran untuk persiapan ke puncak, hari kedua akhirnya saya bisa tidur dengan lelap. Mata baru terbangun ketika pukul 06.00 WITA. Oleh sebab itu, tidak banyak momen yang diabadikan di Danau Segara Anak. Padahal, banyak yang ingin dilakukan seperti membuat tulisan ala-ala hingga menghangatkan diri di depan api unggun.
Jalur Extreme di Senaru, Mistis di Pos 2 dan Sampai Jumpa Lagi Rinjani!
Ini adalah hari terkahir di Gunung Rinjani atau hari ketiga. Setelah selesai membereskan tenda dan merapikan barang bawaan, saya dan Ronni langsung tancap gas menuju Senaru. Kami mulai jalan sekitar pukul 06.40 WITA.
ADVERTISEMENT
Tidak banyak yang ingin saya sampaikan mengenai perjalanan dari Danau Segara Anak menuju Pelawangan Senaru. Jalurnya rusak parah akibat gempa 2018.
Bisa dikatakan, jalur ini yang paling terdampak parah karena kerusakannya cukup berat. Meski sempat dilakukan perbaikan, tetap saja hal ini masih kurang membantu. Rincian menuju Pelawangan Senaru yakni Danau Segara Anak-Batu Ceper-Pelawangan Senaru.
Nah jalur menuju Pelawangan Senaru ini sulit dijelaskan oleh hanya dengan kata-kata jika kalian tidak melihatnya secara langsung. Jalur setapak kecil dengan medan bebatuan. Artinya, harus konsentrasi dan fokus selama perjalanan. Terutama dari Batu Ceper menuju Pelawangan Senaru. Sepertinya, ini merupakan jalur paling ekstrem yang pernah saya lalui selama mendaki gunung. Jalur ini juga yang membuat saya berpikir dua kali untuk mendaki dari Desa Senaru.
ADVERTISEMENT
Tepat di sebelah kiri, adalah jurang curam dengan bebatuan besar. Sedangkan di sisi kanan, terbentang tebing tinggi dengan bebatuan besar. Satu hal yang terus mengganggu dan menjadi kekhawatiran selama perjalanan pulang adalah bagaimana jika terjadi gempa. Sudah dipastikan batuan di atas akan jatuh dan menimpa saya. Bahkan, Ronni yang sudah malang melintang di Rinjani masih merasakan ketakutan selama berjalan dari Batu Ceper ke Pelawangan Senaru.
Selain batuan dan tebing curam, medan di sini naik turun. Sehingga harus dipersiapkan dengan matang sebelum kita jalan dari Danau Segara Anak terutama persediaan air minum.
Beruntungnya, cuaca selama perjalanan dari Danau Segara Anak ke Pelawangan Senaru ini cerah dan panas. Sebab jika hujan atau turun kabut akan sangat berbahaya dan berisiko tinggi.
ADVERTISEMENT
Jadi saran saya adalah bagi kalian yang ingin mencoba turun dari Danau Segara Anak ke Pelawangan Senaru atau sebaliknya, diusahakan jalan pada pagi hari saat cuaca cerah. Tidak direkomendasikan berjalan pada sore menjelang malam atau saat cuaca hujan dan berkabut.
Berikut sedikit cuplikan perjalanan dari Danau Segara Anak ke Pelawangan Senaru:
Usai perjalanan melelahkan naik turun lewati lembah seperti Ninja Hattori, kami akhirnya sampai di Pelawangan Senaru sekitar pukul 10.30 WITA. Sungguh perjalanan berat dan menguras banyak tenaga. Beruntung selama perjalanan diberikan kelancaran dan keselamatan.
Sama seperti di Pelawangan Sembalun, di Pelawangan Senaru juga ada pemancar sinyal. Meski begitu, sinyal di sini tidak sebagus di Sembalun, entah karena dampak gempa atau ada masalah lain.
ADVERTISEMENT
Seperti biasa, saya memanfaatkan sinyal di sini untuk mengubungi Rozak dan Om Jak untuk mengurus penjemputan begitu nanti sampai di Basecamp Senaru. Setelahnya, saya lanjut beristirahat dan sembari menghisap sebatang rokok.
Pelawangan Senaru ini cukup menarik dibanding Pelawangan Sembalun karena jarang ada monyet di sini. Tapi entah karena memang belum waktunya atau bagaimana yang jelas saya tidak melihat adanya gerombolan monyet di sini.
Meski begitu, tidak bisa dipungkiri suasana di Pelawangan Senaru sedikit berbeda alias mencekam. Di sini sepi, tidak ada tanda-tanda pendaki berkeliaran. Saya juga belum melihat ada pendaki yang turun dari Senaru atau sebaliknya.
Hari ini, hanya saya dan Ronni yang turun dari Senaru. Sebab sebagian besar pendaki yang saya temui selama 3 hari ini turun di Torean atau Sembalun. Wow dan wow. Cuma berdua aja nih bos yang turun dari Senaru.
ADVERTISEMENT
Setelah puas beristirahat dan mengembalikan tenaga, kami melanjutkan perjalanan turun dari Pelawangan Senaru menuju basecamp. Perjalanan dimulai sekitar pukul 11.30 WITA.
Secara garis besar, jalur dari pos 4 sampai dengan basecamp Senaru tidak berbeda seperti jalur di hutan pada umumnya. Namun saya sempat mengalami beberapa kejadian menarik mulai dari pos 3 hingga memasuki pos 2.
Jadi di pos 3 ini ada dua saung yang cukup besar yang bisa dijadikan tempat istirahat sementara. Tapi lokasi saung pertama dan kedua sedikit jauh. Saung kedua ada di atas sekitar 50-100 meter dari saung pertama.
Ketika saya dan Ronni tiba di saung kedua untuk istirahat sebentar kami masih belum melihat adanya tanda-tanda kehidupan atau istilahnya pendaki yang naik atau turun.
ADVERTISEMENT
Kami dikejutkan begitu jalan dan saung kedua menuju saung pertama. Di sana, kami bertemu dengan banyak pendaki sedang asyik istirahat jumlahnya sekitar 6 orang. Kehadiran pendaki itu membuat Ronni terkejut karena sebelumnya dari atas saat kami istirahat sedang tidak melihat ada orang di saung pertama. Interval waktu kami bergerak dari saung kedua ke saung pertama juga tidak terlalu lama hanya selang 5 menit.
Hadirnya 6 orang pendaki itu membuat saya dan Ronni bertanya-tanya. Jangan-jangan pendaki siluman lagi. Cuplikan ini bisa kalian lihat dalam video perjalanan 3 hari 2 malam di Rinjani yang sudah saya sisipkan di bagian atas tadi.
Singkat kata, sepertinya 6 orang ini merupakan pendaki lokal karena berbicara menggunakan bahasa Sasak. Mereka sempat menawari kami istirahat bareng dan makan kupat bersama. Tapi dengan berat hati kami menolak ajakan itu. Karena sedikit mencurigakan, saya juga dikejar waktu untuk mengurus masalah PCR.
ADVERTISEMENT
Seperti de javu, masalah pendaki misterius ini kembali terulang di Gunung Rinjani. Terkait saya bertemu pendaki misterius ya di Gunung Lawu. Kali ini tanpa disangka dan diduga kembali bertemu mereka. Apa ini sebuah kebetulan semata?
ADVERTISEMENT
Dengan sisa stamina tersisa, saya terus berjalan turun dan tidak terasa sampai juga di pos 2 yang katanya angker itu. Kalau tidak salah, saya sampai sekitar pukul 13.20 WITA. Jarak dari pos 3 ke pos 2 ternyata cukup jauh. Tapi ada banyak bonus di sini sehingga masalah nyeri lutut masih bisa diatasi.
Jujur saja, saya bukan orang yang bisa melihat hal-hal tak kasat mata. Tapi memang suasana di pos 2 ini sedikit berbeda terasa pekat. Pos 2 ini boleh dibilang adalah tengah hutan di Gunung Rinjani. Di sini ada banyak flora dan fauna lokal.
ADVERTISEMENT
Ronni sedikit bercerita, beruntung kita sampai di pos 2 karena cuaca masih cerah. Kalau kita sampai malam hari, menurutnya kemungkinan besar kita akan ditemani oleh sosok tak kasat mata. Aku penasaran seperti apa sosok itu.
Ronni tidak menjelaskan secara detail, namun katanya sosok itu bertubuh besar memiliki mata merah dan memiliki taring. "Apa itu macan?" tanya ku.
Ronni mengatakan, sosok itu bukan macan tetapi seperti mahluk jadi-jadian. Ia mengaku pernah melihat sosok itu. Selain sosok mata merah itu, masih ada sosok misterius lain di pos 2 ini. Saya yang penasaran dengan urban legend ini sempat ingin mencoba turun dari pos 2 malam hari. Tapi karena masalah PCR, saya harus kembali melanjutkan perjalanan turun.
ADVERTISEMENT
Sepanjang jalur dari pos 3 menuju 2 hingga basecamp didominasi oleh jalur setapak kecil. Tidak banyak percabangan sehingga kecil kemungkinan kita akan tersesat. Tanda jalan dan larangan juga sudah terpasang di beberapa lokasi rawan. Sayangnya, jalur setapak ini mulai tertutup oleh semak-semak dan sulit terlihat kalau malam hari. Karena sudah jarang orang turun dan naik dari Senaru.
Kemudian masalah sinyal di sini tidak seperti di Sembalun. Jika di Sembalun hingga puncak kita masih bisa mendapat sinyal, jangan harap di sini. Sinyal baru ada begitu kita sampai di pos 1. Pasalnya, di Pelawangan Senaru yang ada sinyal saja masih putus-putus. Jadi boleh di kata, kita baru benar-benar mendaki gunung jika melalui jalur Senaru.
ADVERTISEMENT
Setelah perjuangan panjang dan melelahkan, kami tiba di basecamp Senaru pukul 17.00 WITA. Sedikit ngaret dari target awal pukul 15.00 WITA, tapi enggak masalah yang penting kami berhasil turun dengan selamat.
Usai mengurus check out di basecamp dan membersihkan sampah, kami langsung bergegas turun menuju desa. Saya sempat bertanya dengan petugas jaga di sana untuk memastikan apakah ada pendaki yang naik dari Senaru hari ini atau tidak. Menurutnya ada tetapi ia lupa berapa jumlahnya karena tidak melihat catatan.
Ah, ternyata 6 pendaki yang tadi kita temui di pos 3 bukan siluman. Tapi tetap saja, kehadiran mereka sempat membuat Ronni cemas dan keheranan.
Karena sinyal sudah mulai stabil saya kembali menghubungi customer service Citilink untuk menyelesaikan masalah penerbangan besok. Singkat kata, saya menjelaskan situasi dan kondisi yang baru saja turun dari Gunung Rinjani.
ADVERTISEMENT
Saya meminta untuk reschedule jadwal dari Kamis menjadi Jumat (8/10). Beruntung saya masih bisa untuk reschedule jadwal dan masalah PCR ini bisa diselesaikan. Terima kasih untuk pelayanan terbaiknya Citilink!
Akhir kata, sebagai penutup saya ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang sudah banyak membantu dalam perjalanan ini. Mulai dari Novianto Nur Prabowo alias Pian yang sudah mau direpotkan selama saya berada di Lombok, Ronni, Rozak yang banyak memberikan wejangan dan masukan selama pendakian dan Om Jack yang sudah nganter dari Mataram hingga Sembalun PP. Semoga kita bisa bertemu lagi di lain kesempatan. Tetap sehat semua stay safe selama pandemi belum berakhir.