Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Kebebasan Berpendapat Dalam Negara Hukum
24 Desember 2020 17:37 WIB
Tulisan dari Muhammad Zuhrifadli tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seperti yang kita ketahui bersama Negara Indonesia adalah negara hukum. Ada dua prinsip yang di kenal dalam Negara hukum. Pertama adalah konsep rule of law yang di kembangkan dalam Negara-negara anglo saxon dengan common law system. Kedua, konsep Negara rechtsstaat yang popular di Negara kontiental dengan civil law system. Dua prinsip ini secara garis besar sama, walaupun ada perbedaan-perbedaan. Tetapi secara prinsip ketika berbicara mengenai rule of law dan rechtssaat, kita paham bahwa dua prinsip ini ada elemen-elemen dasar yang harus di penuhi. Secara konseptual perbedaan antara rechtstaat dan rule of law adalah bahwa konsep rechtstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme sehingga berwatak revolusioner. Sedangkan rule of law lahir hampir Negara dari yurisprudensi dan perkembangannya bersifat evolusioner. Dalam konteks rechtstaat pakar hukum Julius Stahl mengatakan bahwa syarat untuk sebagai Negara hukum adalah Negara harus betul-betul melindungi Hak Asasi Manusia. Lahirnya Negara hukum adalah keinginan untuk perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia rakyat yang di upayakan melalui usaha untuk membatasi kekuasaan penguasa Negara agar tidak menyalahgunakan kekuasaan dan bertindak sewenang-wenang untuk menindas rakyatnya.
ADVERTISEMENT
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum
Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah Hak Asasi Manusia yang di jamin oleh Undang-undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia. Kemerdekaan setiap warga Negara untuk menyampaikan pendapat dimuka umum merupakan perwujudan demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk membangun Negara demokrasi yang menyelenggarakan keadilan sosial dan menjamin hak-hak asasi manusia di perlukan adanya suasana yang aman, tertib dan damai. Hak manyampaikan pendapat dimuka umum secara bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dasar hukum undang-undang ini adalah pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat (1), pasal 28 Undang – Undang Dasar 1945.
Undang – undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 23 ayat (2) setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa. Dari landasan normatif ini bahwa hukum hadir dalam Negara hukum yang demokratis untuk melindungi Hak Asasi Manusia warga Negara. Menurut Satjito Rahajo, perlindungan hukum adalah adanya upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu hak asasi manusia kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingan tersebut.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, seperti yang kita lihat di era sekarang kekuasaan seolah – olah di kendalikan oleh penguasa, yang dimana kekuasaan yang sebenarnya berada di tangan rakyat. Ketika rakyat berbicara mengemukakan pendapatnya baik langsung maupun tidak langsung yang seharusnya di dengarkan dan di pertimbangkan oleh para penguasa semua itu tidak di lakukan seolah-olah mereka tuli dalam hal ini. Bahkan ketika masyarakat berpendapat sering kali di jatuhkan pasal-pasal menjerat bagi mereka.
Pasal Yang Sering Menjerat Bagi Mereka Yang Mengeluarkan Pendapat
Pendapat yang berbentuk lisan maupun tulisan yang di buat oleh media cetak maupun online sering kali menuai permasalahan yang di benturkan dengan Undang-undang No 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU No 11 Tahun 2008 tentang ITE pasal 27 ayat 3 UU ITE menyebut melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan atau mentransmisikan atau membuat dapat di aksesenya informasi elektronik atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan/pencemaran nama baik. Pasal ini sering digunakan oleh penguasa bagi mereka yang mengeluarkan pendapat dari media online baik itu berbentuk lisan atau tulisan.
ADVERTISEMENT
Tindak pidana pencemaran nama baik dalam pasal 310 dan 311 KUHP, merupakan pasal yang mendasari pengaturan penghinaan pada BAB XVI Buku II KUHP. Berdasarkan kedua pasal tersebut, terdapat pengaturan mengenai penghinaan lainnya yang di tunjukan kepada objek yang lebih spesifik. Misalnya pada pasal 315 mengatur mengenai penghinaan ringan, pasal 316 KUHP mengatur mengenai penghinaan terhadap pegawai negeri, pasal 317 mengatur pengaduan fitnah. Ke semua pasal tersebut memuat elemen penghinaan yang di atur dalam pasal 310 dan pasal 311 KUHP. Menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Serta komentar-komentar penjelasan pasal 310 KUHP mengandung makna bahwa “menghina” adalah “menyerang kehormatan dan nama baik seseorang”, yang di serang ini merasa malu. Kehormatan yang diserang disini hanya mengenai kehormatan mengenai nama baik bukan kehormatan dalam lapanganan seksual, kehormatan yang dapat di cemarkan karena tersinggung anggota kemaluannya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin. Serangan terhadap kehormatan dalam ranah nama baik merupakan domain pasal 310 KUHP dan bukan serangan terhadap kehormatna lainnya.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian dari pernyataan di atas dapat di pahami bahwa apabila menyerang kehormatan dan nama baik penguasa dan di ketahui umum maka itu termasuk perbuatan melawan hukum. Kebebasan berpendapat merupakan Hak setiap Warga Negara yang di lindungi oleh Undang-undang yang tidak bisa di batasi oleh siapapun selama itu sesuai dengan aturan yang ada. Hukum hadir sebagai pelindung bagi menyuarakan pendapat secara benar, terlebih lagi dalam rangka memperjuangkan keadilan.