Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Sukartono dan Pergulatan Batin: Ketika Id, Ego, dan Superego Berebut Kendali
10 April 2025 13:29 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muhammad Fajar Mulia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di antara sekian banyak tokoh penting dalam sastra Indonesia modern, nama Armijn Pane tak bisa diabaikan. Ia bukan hanya penulis, tapi juga pemikir dan pelopor dalam dunia sastra yang mencoba keluar dari pakem-pakem lama. Lahir pada 18 Agustus 1908, Armijn Pane dikenal sebagai salah satu pendiri majalah Poedjangga Baroe, media yang menjadi rumah bagi ide-ide baru, semangat pembaruan, dan pergolakan batin para sastrawan angkatan 1930-an.
ADVERTISEMENT
Karya Armijn Pane yang paling dikenal dan sering dibicarakan hingga hari ini adalah novel Belenggu. Terbit pertama kali tahun 1940, novel ini langsung menimbulkan kontroversi karena isinya dianggap “tidak bermoral” pada zamannya. Namun justru karena itulah Belenggu dikenang sebagai karya yang berani, berani membicarakan hal yang tabu, berani menggambarkan manusia dengan segala kompleksitasnya, dan berani meninggalkan formula sastra yang datar dan klise.
Novel Belenggu karya Armijn Pane mengisahkan kehidupan seorang dokter bernama Sukartono yang hidup dalam pernikahan yang tidak bahagia bersama istrinya, Tini. Tini digambarkan sebagai perempuan modern, aktif dalam kegiatan sosial, dan memiliki pemikiran yang rasional, tetapi hubungan emosional mereka terasa renggang. Sukartono, meskipun dihormati sebagai dokter, merasa kesepian dan tidak dipahami oleh istrinya.
ADVERTISEMENT
Di tengah kehampaan rumah tangga itu, Sukartono kembali bertemu dengan Yah, perempuan dari masa lalunya yang kini hidup sendiri dan membawa luka batin yang dalam. Berbeda dari Tini, Yah memberikan perhatian dan kelembutan yang membuat Sukartono merasa dihargai dan dicintai. Pertemuan ini membangkitkan kembali perasaan lama, dan hubungan mereka pun kembali terjalin diam-diam.
Seiring waktu, Sukartono mulai menjalani kehidupan ganda. Ia terus bergumul dengan perasaannya terhadap Yah, namun di sisi lain juga terikat pada Tini dan norma-norma sosial yang membatasi tindakannya. Tini mulai curiga dan menyadari adanya perubahan dalam sikap suaminya. Namun, alih-alih menghadapi secara terbuka, hubungan mereka justru semakin dingin dan penuh kesalahpahaman.
Konflik batin Sukartono semakin rumit ketika Yah berharap lebih pada hubungan mereka, tetapi Sukartono tidak memiliki keberanian untuk memilih. Ia tidak mampu melepaskan Tini, tetapi juga tidak sanggup meninggalkan Yah. Ia terombang-ambing di antara dua dunia, antara kenyamanan emosional dan tuntutan moral, antara hasrat pribadi dan norma sosial.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, cerita ditutup dengan sikap Sukartono yang tidak mengambil keputusan. Ia tetap terdiam dalam kebimbangannya, tenggelam dalam pikiran-pikiran yang terus membebani tanpa jawaban yang pasti.
Yang membuat Belenggu begitu istimewa adalah cara Armijn Pane menyajikan kisahnya. Ia tidak menjadikan konflik ini sebagai sekadar drama cinta biasa. Ia mengupas perasaan-perasaan terdalam tokohnya, membawa pembaca menyusuri jalan pikiran, keraguan, bahkan bisikan hati yang paling samar. Pembaca seperti diajak masuk ke dalam kepala Sukartono, menyaksikan pergolakan batin yang halus tapi menyakitkan. Inilah yang membuat Belenggu lebih dari sekadar kisah cinta, ia adalah potret jiwa manusia.
Pergulatan batin Sukartono yang digambarkan begitu nyata dan rumit membuat novel ini sangat cocok dianalisis menggunakan pendekatan psikologi sastra, terutama dari perspektif Sigmund Freud. Freud, seorang psikoanalis asal Austria, adalah tokoh penting dalam pengembangan teori tentang alam bawah sadar manusia. Ia percaya bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh kekuatan psikis yang tidak selalu disadari.
ADVERTISEMENT
Salah satu teori Freud yang paling dikenal adalah tentang struktur kepribadian manusia yang terdiri dari id, ego, dan superego. Dalam diri setiap manusia, ketiga elemen ini terus-menerus saling tarik menarik.
Id adalah pusat hasrat dan dorongan naluriah, dalam diri Sukartono, id muncul ketika ia merasa tenteram bersama Yah, perempuan dari masa lalu yang kini hadir kembali dengan kelembutan dan perhatian yang tak ia dapatkan dari istrinya, Tini. Bersama Yah, Sukartono merasa “dimengerti” dan diterima sepenuhnya, sesuatu yang membuatnya nyaman dan “hidup”. Id mendorongnya untuk terus datang ke rumah Yah, meskipun ia sadar hubungannya dengan Yah melanggar nilai moral.
Superego adalah penjaga moral dan nilai sosial, Sukartono adalah dokter yang dihormati, suami dari perempuan modern berpendidikan. Ia tahu bahwa berhubungan dengan Yah adalah hal yang salah, apalagi jika itu membuatnya mengabaikan Tini. Dalam berbagai bagian novel, kita bisa merasakan bagaimana superego membuat Sukartono dilanda rasa bersalah, ragu, dan cemas. Ia tidak bisa sepenuhnya menyerahkan diri pada Yah, tapi juga tidak bisa memperbaiki hubungan dengan Tini.
ADVERTISEMENT
Ego adalah penengah yang mencoba menyelaraskan keduanya dengan kenyataan. Sayangnya, ego Sukartono lemah. Ia tidak mampu memilih. Ia menjadi tokoh yang pasif, menggantung, dan akhirnya tidak memberikan kepastian pada siapapun, baik pada Tini maupun Yah. Sukartono lebih banyak tenggelam dalam pikirannya sendiri, membiarkan konflik internal terus berkecamuk tanpa solusi.
Yang menarik, Armijn Pane tidak menyajikan solusi hitam-putih. Ia membiarkan pembaca menyaksikan kebingungan Sukartono tanpa menyalahkan atau menghakimi. Inilah kekuatan Belenggu, ia jujur dan manusiawi. Sukartono bukan tokoh yang jahat, bukan pula pahlawan. Ia hanya manusia biasa, dengan pikiran yang rumit dan hati yang rapuh.
Melalui teknik monolog batin dan gaya penceritaan yang reflektif, Armijn Pane menciptakan pengalaman membaca yang nyaris seperti terapi: sunyi, dalam, dan menyentuh titik-titik gelap dalam diri pembaca. Tak heran jika Belenggu menjadi rujukan utama ketika kita ingin membicarakan sastra Indonesia yang menyelami psikologi tokoh secara serius.
ADVERTISEMENT