Belajar dari Banjir Jakarta: Mengapa Kita Selalu Mencari Kambing Hitam?

Muhammad Farhan Atmawinanda
Latar belakang pendidikan Ekonomi Pembangunan.
Konten dari Pengguna
5 Maret 2021 6:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Farhan Atmawinanda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi dari udara yang menunjukkan sekelompok orang sedang menelusuri jalanan yang tergenang banjir menggunakan perahu karet di Jakarta 20-2-2021. Foto AFP
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dari udara yang menunjukkan sekelompok orang sedang menelusuri jalanan yang tergenang banjir menggunakan perahu karet di Jakarta 20-2-2021. Foto AFP
ADVERTISEMENT
Jakarta kembali dilanda banjir pada musim hujan tahun ini. Peristiwa yang sudah menjadi rutinitas beberapa warga Jakarta pada setiap tahun tersebut diketahui mulai menggenangi beberapa titik setalah intensitas hujan yang tinggi mengguyur ibu kota sejak pertengahan hingga akhir Februari.
ADVERTISEMENT
Banjir tercatat menggenangi berbagai macam area di Jakarta, di antaranya: pemukiman elite (seperti di Kelapa Gading dan Pondok Indah), pemukiman padat penduduk (seperti di Kalideres, Kampung Melayu, Pondok Bambu, dan Pondok Karya Mampang), dan kawasan sentra bisnis seperti di Kemang dan Kelapa Gading. Ketinggian air pun beragam, ada yang sekitar 50 cm hingga ada yang mencapai dua meter.
Banjir ini kemudian menyulut opini masyarakat yang tersegmentasi. Ada yang menyalahkan Gubernur Anies Baswedan yang lagi-lagi dianggap masih belum mampu mengatasi permasalahan klasik Jakarta, ada yang menyalahkan pemerintah level pusat; seperti Presiden Jokowi dan Kementerian PUPR; yang dianggap masih belum bisa melakukan koordinasi yang baik dengan Gubernur Jakarta terkait pengelolaan fasilitas dan infrastruktur penanganan banjir, ada yang menyalahkan masyarakat yang terus membuang sampah dan limbah ke kali serta membangun pemukiman dan konstruksi permanen di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS), dan ada pula yang menyalahkan faktor alam seperti cuaca dan curah hujan yang terus menerus turun.
ADVERTISEMENT
Pemerintah DKI Jakarta melalui Gubernur Anies Baswedan di sisi lain pun setiap tahun selalu mengeluarkan jawaban yang kurang lebih sama. Faktor cuaca, iklim, ataupun banjir kiriman dari Bogor kerap menjadi alasan andalan. Narasi yang seolah-olah mengkategorikan banjir ini merupakan bencana alam yang sulit untuk dihindari pun dilontarkan. Mereka juga terkesan lebih berfokus untuk penanganan pasca-banjir seperti persiapan tempat pengungsian atau pemberian bantuan kepada masyarakat terdampak tanpa mempunyai solusi konkret pencegahan banjir setiap tahun.
Lantas sebenarnya apa sih penyebab banjir ini? Mengapa selama ini kita terfokus untuk mencari siapa yang benar dan siapa yang salah? Apakah banjir ini murni hanya bencana alam dan kita tidak bisa berbuat apa-apa? Sebuah pembahasan dan proses pencarian jawaban yang saya yakin tidak akan berujung karena setiap tahun sebenarnya kita tanpa lelah berdiskusi dan menggulirkan pertanyaan yang sama tanpa menemukan jawaban yang pasti. Daripada terus bertanya, membela diri, ataupun menyalahkan suatu pihak tertentu, saya lebih menyarankan agar kita sama-sama langsung beraksi atau melakukan aktivitas secara nyata untuk mengurangi potensi banjir kembali terjadi setiap tahun di masa yang akan datang. Kita sesuai kapasitas masing-masing sebenarnya bisa ikut berkontribusi.
ADVERTISEMENT
Pemerintah DKI Jakarta misalnya, mereka punya kewenangan yang besar guna mencegah banjir Jakarta ini terjadi lagi. Segala macam peraturan dan izin pembangunan suatu daerah pemerintah dipegang oleh pemerintah. Perizinan pembangunan mal, jalan, perumahan, drainase, dsb wewenangnya juga dimiliki pemerintah. Penindakan tegas pengembang yang nakal pemerintah juga yang punya kuasa untuk menghukum.
Sejumlah kendaraan terjebak kemacetan saat banjir menggenangi Tol Jakarta Cikampek Km 19 Tambun. Foto: ANTARA FOTO/ Fm/Arisanto
Seperti yang kita ketahui dan memang dapat dilihat realitanya, tata letak dan perencanaan kota Jakarta sudah terlanjur ruwet dan berantakan. Keadaan dan komposisi perumahan, kawasan bisnis, drainase kota, ruang terbuka hijau, dan jalur pembuangan air kota ini memang jauh dari kata terstruktur rapih. Setiap tahunnya berbagai proyek bangunan didirikan sana-sini tanpa memikirkan dampak lanjutan terhadap lingkungan, baik secara ekologis maupun sosial. Bukti nyatanya Jakarta merupakan salah satu kota dengan jumlah mal terbanyak di dunia. Jakarta juga menjadi salah satu kota dengan komposisi perumahan penduduk terpadat di dunia bahkan Euromonitor International melaporkan bahwa Jakarta bisa menjadi kota terpadat di Dunia pada 2030 mengalahkan Tokyo jika komposisi dan perpindahan penduduk tidak segera dibenahi. Di sisi lain, ruang terbuka hijau, taman, dan penampung air yang benar-benar dapat diandalkan sebagai drainase kota jumlahnya belum memadai.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, masyarakat juga sebenarnya dapat berkontribusi secara nyata. Daripada terus menyalahkan pemerintah, sebaiknya kita saling mengingatkan antar sesama dan lebih mawas terhadap lingkungan sekitar. Tidak bisa dipungkiri juga banyak warga Jakarta yang malah menjadikan sungai, kali, got, atau aliran air lainnya sebagai tempat pembuangan sampah dan limbah sehari-hari. Miris memang, tapi harus kita akui bahwa masih banyak warga Jakarta yang memiliki pendidikan yang memadai, mereka tidak teredukasi dengan baik dan tidak mengerti mengenai ekologi lingkungan. Intinya, jika mau banjir tidak terjadi lagi, kebiasaan buruk membuang sampah dan limbah ke kali harus segera dihilangkan. Sebuah hal yang sebenarnya sangat sederhana, namun sulit dilakukan tanpa adanya kesadaran dan komitmen untuk bergerak secara bersama-sama.
ADVERTISEMENT
Dalam membangun perumahan, warga Jakarta juga kerap mengorbankan kepentingan lingkungan. DAS sering menjadi salah satu target area pembangunan. Sekarang, mari kita pikirkan baik-baik, apakah kita pernah melihat daerah pinggiran sungai, kali, waduk, penampungan air, atau aliran air lainnya di Jakarta yang di tutupi tanah, taman, tumbuhan, atau dikonsep sebagai daerah resapan air? Pasti jarang, area-area yang harusnya menjadi area resapan air itu begitu memprihatinkan kondisinya, ada yang ditutupi jalan dan beton, ada yang malah dibangun pemukiman padat dan kumuh, atau bahkan ada yang dijadikan tempat penampungan sampah sementara.
Pada akhirnya, penanganan masalah banjir ini memang memerlukan kolaborasi yang bagus dari masyarakat dan pemerintah. Harus tercipta sinergi yang baik di antara kedua sisi agar banjir ini tidak kembali lagi menjadi masalah tahunan. Kita semua tanpa terkecuali sebenarnya bisa ikut berkontribusi secara nyata sesuai kemampuan dan kewenangan masing-masing tanpa mencari-cari kesalahan suatu pihak. Menjaga lingkungan harus menjadi prioritas dan komitmen kita bersama tanpa kecuali.
ADVERTISEMENT
Jika saja pemerintah memiliki mindset “mencegah lebih baik dari memperbaiki” dan menggunakan wewenangnya dengan maksimal dengan mengutamakan kepentingan pengembangan sosial dan lingkungan daripada kepentingan pengembangan bisnis semata, jika saja saya masyarakat bisa pintar dan sadar bahwa penjagaan kelestarian lingkungan merupakan hal yang sangat penting dan fundamental, jika saja kita semua lebih mau untuk berbuat daripada sekadar berkata dan melempar kesalahan, saya yakin banjir bisa teratasi.