Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Penyelarasan UU 11 Tahun 2020 (Cipta Kerja) dalam Penerapan ICZM di Indonesia
20 November 2023 16:52 WIB
Tulisan dari Muhammad Farhan Rahmat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Saat ini lautan menjadi pusat perhatian dari seluruh negara dan perusahaan besar yang ingin mencari kekayaan dan kekuasaan. Potensi dari hasil kekayaan lautan yang hingga saat ini belum dieksploitasi atau dimanfaatkan dengan baik dapat menimbulkan berbagai masalah dari berbagai aspek, seperti hukum, politik, ekonomi, teknologi, dan lingkungan. Faktanya, ruang laut sangat berdampak sebagai konektivitas antar negara, serta digunakan untuk stabilitas global dan kemakmuran jangka panjang terutama bagi negara-negara yang memiliki potensi laut yang besar seperti Negara kepulauan.
ADVERTISEMENT
Indonesia merupakan salah satu bentuk Negara kepulauan terbesar yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia dengan panjang garis pantai 81.290 km [1]. Didukung dengan memiliki 17.499 pulau dengan luas total wilayahnya sekitar 7,81 juta km2. Dari total luas wilayah tersebut, 3,25 juta km2 adalah lautan dan sekitar 78% adalah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan hanya sekitar 2,01 juta km2 yang merupakan daratan. Luasnya wilayah laut yang ada ini, menjadikan Indonesia mempunyai potensi kelautan dan perikanan yang sangat besar [2].
Dilatar belakangi oleh potensi kekayaan alam yang sangat besar tersebut, tentunya perlu adanya suatu regulasi atau peraturan perundang-undangan yang dapat menjaga keutuhan dalam memanfaatkan sumber daya alam pesisir. Hingga kini pemerintah Indonesia telah berkontribusi dalam melahirkan peraturan maupun perundang-undangan yang bertujuan untuk mengelola dan menjaga kelestarian sumber daya alam pesisir. Diantaranya yaitu adanya UU 27 Tahun 2007 Juncto UU 1 Tahun 2014, yang dimana UU tersebut mengatur tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K). Dasar atau basis dari penerapan UU tersebut adalah penggunaan metode Integrated Coastal Zone Management (ICZM). Metode ini mempunyai konsep pengelolaan wilayah pesisir dengan melibatkan segala aspek seperti lingkungan, sosial, ekonomi, dan budaya dengan pendekatan yang terintegrasi [3].
ADVERTISEMENT
Adanya penerapan UU 27 Tahun 2007 Juncto UU 1 Tahun 2014 dapat menciptakan disentralisasi wewenang dalam pemerintahan, dimana pada penerapan UU tersebut Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki hak dan wewenangnya untuk mengatur, mengelola, dan menjaga keutuhan sumber daya pesisir di daerah mereka, dengan tetap adanya pengawasan dari Pemerintah Provinsi yang bertugas untuk mendapingi dan mengontrol pembangunan tersebut. Sehingga proses pengelolaan sumber daya pesisir di daerah menjadi lebih efisien dan terintegrasi. Jika diilustrasikan konsep ICZM dapat dilihat pada Gambar 1., yang dimana ciri khas dari penerapan UU 27 Tahun 2007 Juncto UU 1 Tahun 2014 ini memfokuskan keterlibatan segala sektor dalam pembangunan wilayah pesisir, seperti keterlibatan Perguruan Tinggi/Universitas, Lembaga Swadaya Masyarakat/Non-Governmental Organization, Sektor Swasta, Pemerintah Daerah, dan Direktur Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Ditjen KP3K). Keterlibatan segala sektor ini dikenal juga sebagai Program Mitra Bahari (PMB) melalui Konsorsium Mitra Bahari (KMB). Dengan dibentuknya KMB dari berbagai bidang kepakarannya, KMB diharapkan mampu memberikan rekomendasi kepada pemerintah dalam menghadapi berbagai isu strategis seperti dari segi penelitian, pendidikan, kebijakan, dan outreach [4].
Namun seiring berjalan waktu Pemerintah Indonesia mengesahkan UU terbaru yang dimana penerapan UU ini berpotensi bertolak belakang dengan penerapan UU 27 Tahun 2007 Juncto UU 1 Tahun 2014, yaitu munculnya UU 11 Tahun 2020 (Cipta Kerja). Dimana pada penerapan UU 11 Tahun 2020 ini mengenai perizinan pengelolaan wilayah pesisir dikembalikan kepada Pemerintah Pusat. Sehingga yang tujuan awalnya pada penerapan UU 27 Tahun 2007 Juncto UU 1 Tahun 2014 membuat desentralisasi wewenang kepemerintahan menjadi tidak efisien, dimana dengan adanya UU 11 Tahun 2020 ini menyebabkan tersentralisasinya wewenang kepemerintahan atau perizinan pengelolaan menjadi terpusat kembali. Adanya ketidakselarasan penerapan UU 27 Tahun 2007 Juncto UU 1 Tahun 2014 terhadap UU 11 Tahun 2020 menjadikan permasalahan yang cukup kompleks dalam menyelaraskannya. Harapan penulis dengan adanya artikel ini nantinya akan dapat membantu pihak yang berwenang dalam pengambilan keputusan agar menjadikan pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia kembali lagi bekerja sama secara komprehensif antara Pemerintah Kabupaten/Kota hingga Pemerintah Pusat.
ADVERTISEMENT
Hubungan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Juncto Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
Salah satu kunci keberhasilan pembangunan wilayah pesisir di suatu daerah adalah mengelola sumber daya yang tersedia agar dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya. Sekalipun sumber dayanya banyak, jika tidak dapat dikelola dengan baik maka pembangunan tersebut akan terhambat [6]. Dalam pembangunan wilayah pesisir di daerah, perlu adanya suatu perencanaan yang matang. Salah satunya dengan membuat dan mengesahkan Undang-Undang yang nantinya akan dapat membantu dalam pembangunan tersebut. Kemudian perlu diketahui dalam pelaksanaan pembangunan atau pengelolaan daerah khususnya wilayah pesisir, pastinya terdapat tantangan dalam prosesnya.
Pengelolaan wilayah pesisir dan laut jika ditinjau dari sudut peraturan perundang-undangan Indonesia sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Juncto Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, yang menjelaskan bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut dan mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber daya alam di bawah dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Saat pasca reformasi dan era otonomi, wewenang pengelolaan sumber daya kelautan telah dikembalikan oleh pemerintah Kabupaten/Kota dengan tujuan bahwa daerahlah yang mengetahui dan memahami karakteristik dan keunikan wilayah laut serta pesisir daerah mereka sendiri [7]. Maka dari hal tersebut untuk memenuhi kebutuhan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 yang berbicara tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) sebagai acuan dasar pemanfaatan sumber daya daerah pesisir dan pulau-pulau kecil.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan hal tersebut dengan kata lain UU No. 32 Tahun 2004 menjadi dasar keberlanjutannya UU No. 27 Tahun 2007 yang dimana dalam pengelolaan wilayah pesisir dengan cara terdesentralisasi. Kemudian berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 juga menjelaskan adanya penyerahan pengelolaan wilayah pesisir dengan pembagian antara Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota. Berdasarkan Pasal 18 Nomor 4 UU No. 32 Tahun 2004, Pemerintah Provinsi mempunyai kewenangan untuk mengelola wilayah pesisirnya selebar 12 mil laut dari garis pangkal, serta sepertiga dari wilayah pengelolaan pemerintah provinsi tersebut diserahkan pengelolaannya pada Pemerintah Kabupatan/Kota. Adapun ilustrasi konsep kewenangan wilayah pesisir atau lautan untuk pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota pada Gambar 2.
Selama berjalannya penerapan UU No. 32 Tahun 2014 tersebut, terdapat suatu akar konflik yang terjadi. Dimana akibat Pemerintah Kabupaten/Kota yang memiliki wewenang dalam pengelolaan sumberdaya, lahirlah Peraturan Daerah (Perda) yang telah disahkan oleh beberapa Pemerintahan Kabupaten/Kota yang terfokuskan kepada pendapatan daerah itu sendiri tanpa memperdulikan ekologi dan prinsip yang berkelanjutan [8]. Hal ini dikarenakan dalam UU No. 32 Tahun 2004 tersebut tidak dijelaskan tentang pendapatan daerah antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, sehingga konflik pada pengelolaan wilayah pesisir sering kali muncul.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu lahirlah UU No. 27 Tahun 2007 dengan maksud untuk meneruskan konsep desentralisasi dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dengan keterbaruan dimana dalam penerapannya konsep keberlanjutan dan memperdulikan ekologi menjadi hal yang utama. Konsep dasar dari UU No. 27 Tahun 2007 ini menggunakan metode Integrated Coastal Zone Management (ICZM) yaitu sebuah konsep pengelolaan atau management wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara terintegrasi dan menyeluruh. Keterlibatan seluruh sektor dan aspek dalam mengelola wilayah pesisir menjadi prioritas. Maka dari itu metode ICZM ini sangat sesuai dengan konsep desentralisasi yang diterapkan oleh pemerintah sebelumnya yaitu UU No. 32 Tahun 2004.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Juncto Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 juga mengatur pengelolaan wilayah pesisir dengan membagi wilayah pesisir ke dalam beberapa zona pengelolaan dengan kewenangan tertentu. Kemudian UU No. 27 Tahun 2007 Juncto UU No. 1 Tahun 2014 mewajibkan Pemerintah Provinsi serta Pemerintah. Kabupaten/Kota yang mempunyai WP3K (Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil) untuk membuat Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP3K), Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K), Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RAPWP3K), serta Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP3K). Dilansir dari Puspitawati [8], basis dari ICZM dalam UU No. 27 Tahun 2007 Juncto UU No. 1 Tahun 2014 ini merupakan hasil dari adopsi konsep Marine Cadastre yang telah diterapkan di negara-negara pantai seperti Australia. Penerapan konsep Marine Cadastre biasanya diterapkan di negara benua atau negara pantai dengan sistem kepemerintahan federal. Sedangkan di Indonesia memiliki sistem kepemerintahan negara kesatuan, tentunya akan ada hambatan atau rintangan dalam pelaksanaan konsep pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia juga telah memikirkan cara yang tepat untuk mengatasi hal tersebut, tentunya adopsi konsep tersebut perlu adanya penyesuaian dan perlakuan tambahan agar dapat diterapkan di Indonesia. Maka dari itu Pemerintah Indonesia membuat suatu program yang berfungsi sebagai jembatan dalam pengaplikasian UU 27 Tahun 2007 yaitu Program Mitra Bahari (PMB). Program Mitra Bahari (PMB) adalah sebuah program jejaring pemangku kepentingan di bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) dalam penguatan kapasitas sumber daya manusia, lembaga, pendidikan, penyuluhan, pendampingan, penelitian terapan, dan pengembangan rekomendasi kebijakan. Program Mitra Bahari dinaungi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (DJPRL) dan Program Mitra Bahari (PMB) ini dibentuk berdasarkan mandat dalam UU Nomor 27 tahun 2007 berkaitan dengan UU Nomor 1 tahun 2013 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil (Pasal 1 Ayat 43) dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.14/MEN/2009 tentang Mitra Bahari [4].
ADVERTISEMENT
Didalam PMB terdapat Konsorsium Mitra Bahari (KMB) yaitu kelompok elemen yang memiliki peran penting dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan yaitu diantaranya, Perguruan Tinggi/Universitas, Pemerintah Daerah, Direktur Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil (Ditjen KP3K), Sektor Swasta, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dengan dibentuknya KMB dari berbagai bidang kepakarannya, KMB diharapkan mampu memberikan rekomendasi kepada pemerintah dalam menghadapi berbagai isu strategis seperti dari segi penelitian, pendidikan, kebijakan, dan outreach. Melalui Program Mitra Bahari, 3 pilar kekuatan penggerak pembangunan di bidang kelautan dan perikanan, yaitu sektor publik, sektor pemerintah, dan sektor dunia usaha, dapat bersatu dan mulai bekerja sama sebagai pusat keunggulan (center of excellence). Adanya Program Mitra Bahari juga diharapkan dapat memberikan dukungan saran kebijakan dan pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas melalui 4 pilar Mitra Bahari, yaitu pendidikan dan nasihat, pelatihan dan nasihat, penelitian terapan, serta kebijakan untuk mendukung visi dan misi pembangunan kelautan dan perikanan [4]. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa dalam penerapan UU 27 Tahun 2007 dengan adanya konsep ICZM di dalamnya, pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di daerah dapat dilakukan dengan optimal dan tepat sasaran.
ADVERTISEMENT
Implikasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
Lahirnya UU No. 11 Tahun 2020 atau yang dikenal sebagai UU Cipta Kerja sangat berdampak dengan penerapan UU sebelumnya yaitu UU No. 27 Tahun 2007. Jika dilihat dari sejarah kebijakan Indonesia, yang dimana desentralisasi kewenangan sudah diatur bahkan di dalam UU 1945. Maka sulit untuk dipungkiri bahwa penerapan UU No. 11 Tahun 2020 terkesan mengarah ke prinsip sentralisasi kewenangan, terutama kewenangan penataan dan perizinan pemanfaatan ruang laut. Berdasarkan sektor penataan ruang, Undang-Undang Cipta Kerja merubah muatan pada Undang-Undang sebelumnya seperti, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Juncto Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014.
ADVERTISEMENT
Adapun beberapa konflik yang ditimbulkan oleh adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020, yaitu sebagai berikut:
1. Pemerintah Pusat dengan kewajiban pengelolaan dan perizinan di seluruh wilayah perairan Indonesia yang sangat luas ini, dikhawatirkan dalam pengelolaannya akan menjadi tidak efisien. Apalagi masih minimnya perangkat yang ada tentu memerlukan usaha yang lebih untuk menutupi kekurangan tersebut.
2. Pemerintah Provinsi dengan kewajiban untuk menyiapkan peraturan maupun perundangan tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, tentunya perlu mengalokasikan anggaran. Namun disisi lain, perizinan yang diharapkan dapat menjadi salah satu sumber pendapatan daerah dari sektor kelautan dan perikanan, kini tidak bisa lagi dilakukan mengingat kewenangan tersebut telah diambil alih oleh Pemerintah Pusat.
3. Peran pemerintah terhadap pemanfaatan ruang laut dan pesisir juga sampai pada pengawasan, pengendalian, dan evaluasi. Untuk melaksanakan itu semua tentunya dibutuhkannya peran provinsi dan kabupaten/kota sehingga perlu adanya solusi yang dapat diterima oleh semua pihak.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui juga adanya dampak dari Undang-Undang 11 Tahun 2020 terhadap pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yaitu sebagai berikut [9]:
1. UU Cipta Kerja membuka peluang sumber daya kelautan dan perikanan dieksploitasi oleh asing.
UU Cipta Kerja mempertahankan aturan penangkapan ikan oleh kapal asing yang diatur dalam UU Perikanan. Ini termasuk menghapus persyaratan 70% ABK Indonesia dalam kapal asing dan membuka akses penangkapan ikan di ZEEI. Namun, ini berpotensi memperburuk stok ikan yang sudah dieksploitasi berlebih di beberapa WPP NRI. Selain itu, hilangnya persyaratan ABK Indonesia juga mengancam kesempatan kerja mereka. Semua ini bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menekankan penggunaan sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Di sektor pulau-pulau kecil, sanksi administratif untuk penanaman modal asing tanpa izin dianggap tidak sebanding dengan potensi ancaman terhadap kedaulatan NKRI, terutama di pulau-pulau terluar.
ADVERTISEMENT
2. Fungsi dan hakikat perencanaan tata ruang dilemahkan, khususnya untuk kebijakan nasional yang bersifat strategis dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil oleh instansi pemerintah.
UU Cipta Kerja memungkinkan perizinan usaha untuk kebijakan nasional yang dianggap strategis tanpa harus menunggu rencana tata ruang. Selain itu, ketika instansi pemerintah memanfaatkan wilayah, mereka hanya perlu memastikan bahwa itu sesuai dengan tata ruang, tanpa harus mendapatkan izin usaha. Ini mengabaikan peran penting izin usaha dan rencana tata ruang dalam menjaga lingkungan dan ekosistem yang berkelanjutan. Tanpa izin usaha dan panduan rencana tata ruang, aktivitas semacam itu berpotensi merusak ekosistem, berdampak buruk pada masyarakat di wilayah tersebut.
3. UU Cipta Kerja mengurangi pelibatan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Perubahan dalam UU Cipta Kerja telah mengurangi peran serta masyarakat dalam proses AMDAL. Keterbatasan partisipasi masyarakat hanya terbatas pada mereka yang secara langsung terdampak, meskipun melibatkan berbagai pihak seperti organisasi lingkungan dan pemerhati lingkungan sangat penting. Ini diperlukan karena masyarakat yang terdampak secara langsung sering kali merupakan individu yang lebih rentan dan kurang mampu untuk menyuarakan aspirasi mereka karena keterbatasan pengetahuan dan pendidikan mereka. Komisi Penilai AMDAL, yang sebelumnya memfasilitasi partisipasi berbagai pihak, kini telah dihapuskan. Selain itu, aturan baru dapat mengabaikan aspirasi masyarakat lokal, terutama karena kebijakan nasional yang dapat mengesampingkan tata ruang, pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil oleh instansi pemerintah tanpa izin, dan lemahnya peran Pemerintah Daerah dalam perencanaan tata ruang yang mengurangi akses masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan.
ADVERTISEMENT
4. Penyederhanaan, penghapusan, dan peleburan izin ke dalam Perizinan Berusaha tidak diimbangi oleh UU Cipta Kerja dengan ketentuan yang mengintegrasikan nilai- nilai perlindungan daya dukung ekosistem dan memperkuat fungsi kontrol untuk memastikan kepatuhan pelaku usaha.
UU Cipta Kerja tidak menjelaskan bagaimana izin usaha dapat mempertahankan komponen izin yang sebelumnya ada, seperti izin lokasi, izin lingkungan, dan lainnya. Upaya penyederhanaan izin di sektor perikanan juga tidak diimbangi dengan penguatan pertimbangan terhadap keberlanjutan ekosistem. Misalnya, Komnas Kajiskan, yang bertugas menjaga integritas ilmiah dalam pengelolaan sumber daya ikan, dihapuskan. Beberapa izin diubah menjadi persetujuan, yang dapat mengurangi tingkat pertanggungjawaban dan konsekuensi hukum. UU Cipta Kerja juga tidak mengatur bahwa hasil penilaian dampak lingkungan (AMDAL) harus diintegrasikan ke dalam proses izin usaha, kewajiban pengawasan kepatuhan oleh kementerian teknis, atau tindak lanjut terhadap hasil pengawasan oleh pejabat penerbit izin. Sejumlah perubahan dan kelemahan dalam UU Cipta Kerja dapat menghasilkan sistem perizinan yang tidak memadai dalam memastikan kepatuhan pelaku usaha dan dapat berpotensi merugikan ekosistem.
ADVERTISEMENT
5. Pada UU Cipta Kerja, sentralisasi kewenangan ke Pemerintah Pusat sangat kuat dan melemahkan peran Menteri Teknis dan Pemerintah Daerah.
UU Cipta Kerja mengambil alih beberapa kewenangan yang sebelumnya dipegang oleh menteri dan pemerintah daerah, tetapi tidak secara jelas menetapkan bahwa kewenangan tersebut akan dialihkan kepada kementerian teknis yang relevan atau pihak berwenang. Ini mengabaikan kemampuan dan fasilitas yang dimiliki oleh kementerian teknis, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan, untuk mengelola dan melindungi sumber daya dan ekosistem yang mereka tangani. Selain itu, UU Cipta Kerja juga menggeser sejumlah kewenangan dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat, yang dapat berdampak pada otonomi daerah.
6. Beberapa pengaturan sanksi dirumuskan secara tidak sempurna, walaupun perlu diakui sudah terdapat banyak perbaikan/kemajuan pada UU Cipta Kerja dibanding RUU Cipta Kerja versi Februari 2020.
ADVERTISEMENT
Masih ada beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan dalam ketentuan sanksi UU Cipta Kerja. Beberapa perbuatan yang seharusnya dikenai sanksi pidana diatur dalam UU Cipta Kerja sebagai sanksi administratif. Ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi, terutama dalam perubahan pasal UU Perikanan, juga masih belum sempurna. Kekurangan dalam ketentuan sanksi tersebut dapat menghambat pencapaian tujuan dari penjatuhan sanksi, termasuk menciptakan efek jera.
Berdasarkan hal tersebut adapun solusi untuk mengatasi konflik Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Juncto Undang-Undang 1 Tahun 2014 terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 yaitu perlu adanya penyelarasan peraturan atau perundang-undangan dengan melibatkan seluruh sektor dalam menjalankannya. Adanya harmonisasi perundangan tentunya akan mengoptimalkan pengelolaan potensi sumberdaya kelautan di daerah tersebut. Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan seperti, merumuskan kebijakan- kebijakan yang bersifat tetap dan tidak tetap. Kemudian dapat diawali dengan melakukan penyelarasan dan penyerasian tujuan, strategi, dan pedoman dari masing-masing peraturan perundang-undangan melalui upaya penafsiran dan penalaran hukum, maupun dapat melalui cara membuat forum diskusi dengan melibatkan para ahli maupun stakeholder yang terkait. Kemudian hasil tersebut dapat disosialisasikan secara maksimal agar tidak ada misconception (kesalahpahaman).
ADVERTISEMENT
Cara lain yang dapat dilakukan dengan membuat mekanisme pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat sampai ke Pemerintah Kabupaten/Kota terkait isu-isu pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dengan pelaksanaannya tetap mengacu kepada pedoman yang telah dibuat oleh Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat juga dapat berperan sebagai pendamping atau pengawas kepada Pemerintah Daerah dalam mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sehingga dalam keseluruhan pengelolaannya terjadi secara menyeluruh, terintegrasi dan desentralisasi wewenang juga tetap berjalan. Karena dalam UU No. 27 Tahun 2007 Juncto UU No. 1 Tahun 2014 itu sendiri sudah sangat optimal dalam mengatur terkait mekanisme perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Keterlibatannya sudah mencakup seluruh sektor seperti masyarakat, Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah Provinsi, dan pihak swasta. Hal ini yang menjadikan dalam pengelolaan wilayah pesisir tersebut dapat lebih efektif, karena adanya diskusi yang berjalan sehingga menghasilkan suatu perencanaan yang matang. Namun tetap perlu diperhatikan pengawasan pihak Pemerintah Pusat tetap menjadi hal yang utama, agar Pemerintah Daerah dalam mengelola wilayahnya tidak hanya berorientasi kepada pendapatan daerah, akan tetapi juga perlu memikirkan keberlanjutan dan ekologi daerah tersebut.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya konsep dari Program Mitra Bahari (PMB) itu sendiri sudah menjadi kunci jawaban agar selarasnya seluruh sektor atau stakeholder yang terkait dalam melaksanakan pengelolaan sumber daya kelautan. Akan tetapi kini peran PMB tidak terlihat seperti dahulu, pemerintah seakan melupakan adanya program tersebut. Padahal dengan adanya PMB yang di dalamnya terdapat KMB, tentunya akan sangat membantu dalam memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk menghadapi berbagai isu strategis. Kontribusi Perguruan Tinggi, LSM, dan pihak swasta sangat berperan penting dalam pengelolaan wilayah pesisir yang terintegrasi. Adapun cara yang dapat ditempuh oleh pihak Perguruan Tinggi yaitu dapat berkontribusi dalam melakukan kajian atau penelitian dengan pendekatan akademis, kemudian dapat berperan sebagai jembatan bagi pihak Pemerintah Pusat, Provinsi, maupun Kabupaten/Kota, dan membuat suatu program yang melibatkan mahasiswa maupun tenaga pengajar untuk berkontribusi nyata di masyarakat khususnya daerah pesisir. Kemudian LSM juga dapat berperan terkait bidang sosial, ekologi/lingkungan, maupun teknis perencanaan hingga pengelolaan. Sedangkan pihak swasta dapat ikut serta sebagai penyokong dana atau penanam modal sehingga adanya sistem bagi hasil dari pengelolaan wilayah pesisir tersebut, dalam kasus ini umumnya berlaku di sektor marine ecotourism.
ADVERTISEMENT
Berikut adapun beberapa penerapan pengelolaan wilayah pesisir yang berintegrasi atau menerapkan konsep ICZM yang sesuai UU 27 No. Tahun 2007 Juncto UU No. 1 Tahun 2014 seperti pada penelitian Alamsyah, et al [10] yang membahas mengenai pemberdayaan masyarakat kampung nelayan pesisir dengan pendampingan dan pendekatan ICZM (Integrated Coastal Zone Management) di Desa Sungai Bakau Kecil, Kalimantan Barat. Pada penelitian tersebut peneliti telah meningkatkan teknologi pertanian dan ekonomi melalui program pelatihan pengolahan hasil alam di bidang perikanan, pertanian dan perkebunan. Untuk bidang perikanan telah dilakukan pembuatan teknologi budidaya perikanan darat yaitu aquaponik percontohan bersama kelompok perikanan. Untuk bidang kesehatan telah dilakukan pembentukan dan pembinaan kader unit kesehatan kerja melalui program lokakarya mini, promosi kesehatan, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), sosialisasi kesehatan reproduksi pada remaja, pembuatan teknologi penyaringan sarana air bersih sederhana, dan sanitasi lingkungan, serta pelatihan kader Jumantik (Juru Pemantau Jentik). Kemudian ada juga hasil penelitian Jannah et al. [11] yang membahas mengenai peran pihak swasta dalam perlindungan satwa langka di bidang konservasi. Pada penelitian tersebut menjelaskan bahwa pihak perusahaan swasta memiliki kontribusi dalam menangani isu lingkungan atau yang biasa dikenal sebagai Corporate Social Responsibility (CSR), adapun perusahaan yang sudah menerapkan hal tersebut seperti, PT. Pertamina Patra Niaga DPPU Babullah Ternate.
ADVERTISEMENT
Daftar Pustaka
[1] KESDM, “Kapal Survei Geomarin III Sebagai Sebuah Jawaban,” Indonesia. [Online]. Available: https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/kapal-survei-geomarin-iii-sebagai-sebuah-jawaban
[2] KKP, “Konservasi Perairan Sebagai Upaya menjaga Potensi Kelautan dan Perikanan Indonesia,” Indonesia. [Online]. Available: https://kkp.go.id/djprl/artikel/21045-konservasi-perairan-sebagai-upaya-menjaga-potensi-kelautan-dan-perikanan-indonesia
[3] M. Kristiyanti, “Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Pantai melalui Pendekatan ICZM,” ICZM (Integrated Coastal Zone Management), no. 180, pp. 752–760, 2016.
[4] KKP, “Perkuat Sektor Kelautan dan Perikanan, Program Mitra Bahari Bangkit Kembali,” Indonesia. [Online]. Available: https://kkp.go.id/djprl/artikel/27220-perkuat-sektor-kelautan-dan-perikanan-program-mitra-bahari-bangkit-kembali
[5] W. Pratikto, “Bahan Ajar Kuliah Integrated Coastal Zone Management,” ITS. Surabaya, 2023.
[6] R. T. Vinata, “Power of Sharing Sumber Daya Kelautan Republik Indonesia,” Jurnal Ilmiah Hukum LEGALITY, vol. 24, no. 2, p. 213, 2017, doi: 10.22219/jihl.v24i2.4272.
[7] M. M. Lestari, “Potensi dan tantangan pengelolaan sumberdaya kelautan dalam penciptaan masyarakat pesisir yang siap menjawab perkembangan zaman,” Jurnal Selat, vol. 1, no. 1, pp. 8-12, 2013.
ADVERTISEMENT
[8] D. Puspitawati, “Desentralisasi Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Lautan Dalam Kerangka Prinsip Negara Kepulauan,” Arena Hukum, vol. 7, no. 2, pp. 210–224, 2014, doi: 10.21776/ub.arenahukum.2014.00702.4.
[9] Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Analisis UU Cipta Kerja Sektor Kelautan dan Perikanan. 2020. [Online]. Available: https://oceanjusticeinitiative.org/wp-content/uploads/2020/10/IOJI-Analisis-UU-Cipta-Kerja-Sektor-Kelautan-dan- Perikanan.pdf
[10] D. Alamsyah et al., “Pemberdayaan Masyarakat Kampung Nelayan Pesisir Melalui Pendampingan dan Pendekatan ICZM (Integrated Coastal Zone Management) di Desa Sungai Bakau Kecil Kalimantan Barat,” 2019.
[11] R. Chika Fathiatul Jannah and F. Sidiq Fathoni, “Konservasi dan Pengelolaan Penyu: Peran Swasta dalam Perlindungan Satwa Langka,” 2022.