Konten dari Pengguna

Ingin Sejahtera Tapi Tertahan di Bawah

Faris Ayus
Pegiat Surga Institute, Mahasiswa Magister Ilmu Pemerintahan Unversitas Muhammadiyah Yogyakarta.
23 Juni 2025 15:47 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Ingin Sejahtera Tapi Tertahan di Bawah
Esai ini mengangkat persoalan ketimpangan ekonomi yang masih membelit Indonesia, dengan menyoroti bagaimana sistem ekonomi yang diterapkan belum sepenuhnya berpijak pada realitas sosial bangsa sendiri
Faris Ayus
Tulisan dari Faris Ayus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Filosofi Ekonomi Sendiri

ADVERTISEMENT
Baru-baru ini, Presiden Republik Indonesia menghadiri forum internasional bergengsi, yaitu The St. Petersburg International Economic Forum (SPIEF) yang diselenggarakan di Rusia. Kehadiran Presiden dalam forum tersebut mencerminkan komitmen Indonesia untuk terus memperkuat kerja sama ekonomi global dan memperluas peran diplomasi dalam isu-isu strategis internasional. Yang menarik adalah Prabowo Subianto mengatakan dalam sambutannya bahwa “setiap negara membutuhkan kebijakan ekonominya sendiri dan filosofi ekonomi sendiri” dan selanjutnya Prabowo memberikan penekan bahwa kesalahan setiap negara khususnya di wilayah asia Tenggara cendrung mengikuti ekonomi yang kuat dan besar di dunia. Kemudian dikaatakan bahwa “ kita melihat dominasi kapitalisme neoliberal, filosofi pasar bebas klasik. Yang malah mengakibatkan ketidakteraturan dan Indonesia juga para elitnya mengikuti paham tersebut.
ADVERTISEMENT
Presiden Prabowo juga kemudian mengatakan bahwa konsekuensi hal tersebut adalah Indonesia sendiri juga belum berhasil menciptaakan agar tidak adanya kesenjangan bagi rakyat Indonesia. Lantas apakah benar Indonesia tidak memiliki system ekonomi sendiri dan apakah benar kesenjangan ekonomi diindonesia masih tinggi?. Pertanyaan tersebut patut diajukan, apalagi melihat kenyataan bahwa kesenjangan sosial-ekonomi di Indonesia masih tinggi. Meskipun wacana ini bukan hal baru, ia tetap relevan dalam konteks arah ekonomi nasional yang belum sepenuhnya mandiri dan adil.
Sebelum kita melihat dan menelusuri sejauh mana kesenjangan Indonesia saya rasa kita harus menyamakan fondasi definitif dari kesenjangan itu sendiri. Menurut Todaro dan Smith (2011), Kesenjangan ekonomi, menurut Todaro dan Smith (2013), adalah perbedaan distribusi pendapatan dan kekayaan di antara individu atau kelompok Masyarakat (Todaro & Smith, 2013). Sementara UNDP (2020) memperluas pemahaman ini sebagai ketimpangan dalam akses terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan layak, dan partisipasi sosial. Jadi, kesenjangan bukan hanya tentang “siapa punya uang lebih banyak”, tetapi juga soal “siapa punya kesempatan untuk berkembang (UNDP, 2020).
ADVERTISEMENT

Bagaimana Kesenjangan Ekonomi Dan Pengaruh Sistem Ekonomi

ilustrasi ketimpangan ekonomi. Sumber: sdgcenter.unpad.ac.id
Data Oxfam Indonesia (2024) menunjukkan bahwa 1% orang terkaya di Indonesia menguasai lebih dari separuh kekayaan nasional, sementara lebih dari 25 juta orang masih hidup di bawah garis kemiskinan dengan pengeluaran kurang dari Rp475.000 per bulan. Fakta ini menunjukkan ironi besar: di negara yang kaya akan sumber daya alam, ketimpangan sosial justru semakin dalam (Oxfam, 2024). Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: mengapa kekayaan alam yang melimpah tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat secara merata?.
Kesenjangan ekonomi Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor struktural yang saling berkaitan. Pertama, ketimpangan akses terhadap pendidikan menjadi penyebab utama yang memperlebar jurang sosial. Penerapan prinsip-prinsip neoliberal telah menggeser pendidikan dari hak publik menjadi komoditas ekonomi, dengan ciri-ciri seperti marketisasi, tes terstandarisasi, pilihan sekolah, pengurangan pendanaan negara, fokus pada pendidikan kejuruan dan STEM, komodifikasi pengetahuan, deregulasi, privatisasi, serta peningkatan utang siswa (Ferdino & Sirozi, 2025). Masyarakat di daerah tertinggal atau pedesaan masih sulit mengakses pendidikan berkualitas, sehingga berpengaruh langsung pada kesempatan kerja dan pendapatan. Kedua, ketimpangan kepemilikan aset seperti tanah, lahan, dan modal usaha menjadi penghalang besar dalam mobilitas ekonomi masyarakat miskin sahingga hal inilah yang membatasi mobilitas ekonomi masyarakat miskin di Indonesia (Hasudungan, 2021; Moeis et al., 2020). Ketiga, dominasi ekonomi perkotaan, khususnya Pulau Jawa, dalam struktur ekonomi nasional menyebabkan pembangunan menjadi sangat terpusat. Akibatnya, wilayah luar Jawa mengalami ketertinggalan infrastruktur, layanan publik, dan investasi. Keempat, kebijakan fiskal yang belum progresif, seperti sistem perpajakan yang belum maksimal menjangkau kelompok kaya, membuat negara gagal menjalankan peran redistributifnya. Terakhir, ketimpangan infrastruktur dasar seperti jalan, listrik, air bersih, dan internet turut memperlebar kesenjangan antarwilayah dan antar kelas sosial.
ADVERTISEMENT
Semua faktor tersebut tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kuat neoliberalisme dalam kebijakan ekonomi Indonesia selama beberapa dekade terakhir. Ketika negara terlalu percaya pada mekanisme pasar bebas dan liberalisasi ekonomi, maka intervensi negara untuk melindungi kelompok rentan menjadi semakin lemah. Privatisasi sektor publik dan deregulasi investasi justru memperkuat dominasi kelompok elite terhadap sumber daya nasional. Negara tidak cukup hadir untuk menyeimbangkan relasi antara kekuatan pasar dan keadilan sosial. Di sinilah letak kegagalan kita: tidak mampu menciptakan sistem ekonomi yang berpijak pada falsafah bangsa sendiri yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, seperti tertuang dalam sila kelima Pancasila.
Ke depan, Indonesia perlu membangun sistem ekonomi yang berakar pada realitas sosialnya sendiri, bukan meniru mentah-mentah model barat. Sistem tersebut harus menempatkan negara sebagai aktor utama dalam menjamin pemerataan akses terhadap sumber daya, memperkuat UMKM, memperluas jaminan sosial, dan menerapkan reformasi pajak progresif. Prinsip ekonomi gotong royong, solidaritas sosial, dan keberpihakan terhadap yang lemah harus menjadi fondasi filosofi ekonomi nasional yang baru. Kita tidak bisa terus berharap keadilan lahir dari pasar; keadilan harus diciptakan lewat kebijakan yang berpihak dan keberanian politik untuk mengubah struktur yang timpang.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, ketimpangan ekonomi di Indonesia bukan sekadar akibat dari kondisi eksternal, melainkan refleksi dari kegagalan internal dalam merumuskan jalan ekonomi yang sesuai dengan identitas dan kebutuhan bangsanya sendiri, neoliberaladalah momok yang tidak kita sadari karena kita asik berimajinasi didalamnya. Jika Indonesia ingin menjadi negara yang benar-benar berdaulat dan adil, maka ia harus mulai membangun sistem ekonomi yang tidak hanya mengejar pertumbuhan, tetapi juga menjamin pemerataan dan keberlanjutan. Sudah saatnya Indonesia berhenti menjadi penonton dalam narasi besar ekonomi global dan mulai menulis ceritanya sendiri.
Menjawab tantangan ketimpangan ekonomi berarti menantang keberanian kita untuk keluar dari pola lama dan menegosiasikan kembali arah ekonomi bangsa. Indonesia tidak kekurangan sumber daya, tetapi kerap kekurangan kehendak politik dan keberanian moral untuk berpihak pada yang lemah. Saatnya kita berhenti tunduk pada logika pasar bebas yang menjadikan manusia sekadar angka dalam statistik pertumbuhan. Seperti yang pernah diingatkan Bung Hatta bahwa Kekayaan alam Indonesia adalah milik bersama, bukan milik segelintir orang (Hatta, 1963). Kutipan ini menjadi pengingat bahwa cita-cita kemerdekaan tidak akan bermakna jika rakyat masih terjerat ketimpangan yang sistemik. Maka, tugas generasi hari ini adalah membangun sistem ekonomi yang berkeadilan, berpijak pada nilai-nilai Pancasila, dan menyusun ulang relasi kuasa ekonomi agar tak lagi menindas, melainkan membebaskan.
ADVERTISEMENT

Daftar Pustaka

Ferdino, M. F., & Sirozi, M. (2025). Dampak Ekonomi Neoliberal Terhadap Sistem Dan Tata Kelola Pendidikan Di Indonesia. Jurnal Inovasi Pendidikan Dan Sains, 6(1), 80–88.
Hasudungan, A. (2021). Oil Palm and Livelihood Disparities in Kapuas Hulu Regency, West Kalimantan Province, Indonesia. Journal of Global South Studies, 38(2), 261–290. https://doi.org/10.1353/gss.2021.0029
Hatta, M. (1963). Persoalan ekonomi sosialis Indonesia.
Moeis, F. R., Dartanto, T., Moeis, J. P., & Ikhsan, M. (2020). A longitudinal study of agriculture households in Indonesia: The effect of land and labor mobility on welfare and poverty dynamics. World Development Perspectives, 20, 100261. https://doi.org/10.1016/j.wdp.2020.100261
Oxfam. (2024). takers not makers.
Todaro, M. P., & Smith, S. C. (2013). Economic Development. Economic Development (Elevent). Pearson education.
ADVERTISEMENT
UNDP. (2020). Human Development Report 2020: The Next Frontier-Human Development and the Anthropocene. UN.