Konten dari Pengguna

Keganasan Ilmu dan Pengetahuan Paul Feyerabend

Muhammad Fariz Akbar
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Jakarta Angkatan 2022
20 September 2023 10:39 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Fariz Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Pixabay
ADVERTISEMENT
Menganggap Friedrich Nietzsche sebagai filsuf dengan pemikiran yang paling ganas tidaklah keliru. Sebab, dalam bukunya yang berjudul “Beyond Good and Evil” dengan keras ia mengkritisi budaya moral Barat, moral Kristen, dan moral yang berkembang dari tradisi Kristen.
ADVERTISEMENT
Moralitas aristokrat yang menghargai kekuatan, keberanian, dan dominasi diubah dengan mengagung-agungkan sifat kerendahan hati, penyayang, dan penderitaan sebagai kebajikan oleh moral Kristen.
Moralitas seperti ini dianggap sebagai moral Budak oleh Nietzsche karena menghambat kreativitas, kepribadian, dan inovasi. Dengan kontras ia membedakan antara “moralitas tuan” dan “moralitas budak” dan menyebutnya sebagai “Genealogi Moral”.
Seperti selayaknya seorang tuan dan budak, ada sesuatu yang selalu terpendam dari dalam diri seorang budak karena ia berada di bawah kekuasaan tuannya. Nietzsche menganggap moralitas yang hadir pada saat itu memperbudak masyarakat. Ia mempromosikan konsep “kehendak untuk berkuasa” (will to power) sebagai motivasi dasar manusia untuk menciptakan makna dan berkreasi dalam mengafirmasi kehidupan.
Lebih lanjut, ia menyatakan dalam bukunya "Thus Spoke Zarathustra" bahwa “Tuhan telah Mati” yang artinya ia menyetarakan posisi dan hakikat Tuhan sebagai tuan yang memperbudak masyarakat dengan segala perintah dan ajarannya.
ADVERTISEMENT
Hal ini ditegaskan oleh filsuf Eksistensialis Jean-Paul Sartre yang beranggapan bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk yang bebas dan oleh karena kebebasannya itu, Tuhan tidak ada.
Berkat kontroversi dan keganasan pemikirannya, Nietzsche membimbing gerakan seni, arsitektur, dan kritik kepada yang disebut dengan postmodernism atau pascamodernisme. Suatu gerakan yang menekanan relativitas nilai-nilai dan penolakan terhadap narasi tunggal dalam budaya masyarakat.

Cara Pandang Ilmu Pengetahuan

Friedrich Nietzsche. Salah satu tokoh penting pascamodernisme. Sumber: Pixabay.
Dalam diskursus Filsafat Ilmu, ungkapan-ungkapan seperti empirisme, rasionalisme, objektif, verifikatif menjadi satu hal yang mutlak dan tidak dapat diperdebatkan. Oleh karena itu, lahirlah “Metodologi Penelitian” yang menuntun seseorang untuk merujuk pada suatu kerangka kerja ilmiah.
Didasari dengan sebuah masalah, yang kemudian diikuti dengan spekulasi, observasi, perumusan teori, pengajuan dan pengujian hipotesis, hingga berakhir pada penarikan kesimpulan.
ADVERTISEMENT
Cara pandang ini sangatlah hegemonik dan memiliki klaim kebenaran yang universal dan membawa kita kepada perkembangan ilmu pengetahuan yang berasal dari gabungan beberapa ilmu pengetahuan yang telah ada atau bersifat kumulatif.
Namun di sisi lain, penelitian empiris dan ilmu pengetahuan menutup kemungkinan untuk memasukkan disiplin ilmu atau pengetahuan yang berkaitan dengan agama dan spiritualitas dalam budaya-budaya lain.
Mencakup mitologi, pengetahuan tradisional, ritus keagamaan, dan pemahaman tentang hubungan spiritual antara manusia dan alam semesta. Sehingga, terkadang dinamika ilmu pengetahuan lupa mengingatkan kepada kita bahwa sains juga merupakan usaha perkembangan manusia.
Hal ini dikritisi oleh Thomas Kuhn dalam bukunya “The Structure of Scientific Revolution” yang berpendapat bahwa ilmu pengetahuan hanya dapat berkembang melalui revolusi ilmiah, sedangkan revolusi ilmiah terjadi melalui perubahan paradigma.
ADVERTISEMENT
Kritik tajam juga disampaikan oleh Paul Feyerabend yang berpendapat bahwa saat ini ilmu pengetahuan sudah menjadi sebuah ideologi dan bersifat dogmatis, melalui bukunya “Against Method" dan pendekatannya yaitu “Anarkisme Epistemologis”.

Paul Feyerabend

Friedrich Nietzsche. Salah satu tokoh penting pascamodernisme. Sumber: Pixabay.
Kita dapat mengatakan karakter ide Feyerabend sama dengan Nietzsche karena mereka berdua sering melontarkan hal-hal yang belum sepenuhnya diyakini hanya untuk melihat reaksi pembaca atau pendegar. Seperti ketika Feyerabend mengeluarkan prinsip “Anything Goes” (Apa Saja Boleh) sebagai tesis perlawanan untuk mengatakan bahwa tidak ada metode ilmiah dan sains bukan cara yang paling baik untuk mendapatkan pengetahuan.
Pemikiran Paul Feyerabend dipengaruhi oleh pertemuannya dengan Imre Lakatos. Sahabat akrab yang berencana mengembangkan sebuah volume debat yang akan diberi judul “For and Against Method”.
ADVERTISEMENT
Lakatos menempatkan dirinya sebagai rasionalis dengan menggunakan kaidah metode ilmiah yang membuat seluruh ilmu pengetahuan menjadi komprehensif sedangkan Feyerabend akan melawannya.
Sayangnya, Lakatos wafat sebelum bagian yang oleh kaum rasionalis mesti diisi sehingga karya mereka bersama belum menjadi lengkap dan hal ini rupanya membuat Feyerabend shock secara mendalam. Buku “For and Against Method” pun batal dipublikasikan. Sebagai ganti dan dedikasinya terdahap Lakatos, Feyerabend menerbitkan dan melengkapi buku “Against Method” yang melahirkan bibit-bibit anarkisme di dalam pemikirannya.
Secara umum, argumentasinya adalah setiap perangkat apapun yang pernah disepakati dalam sejarah pasti pernah melahirkan penemuan penting dan bermakna. Studi kasus yang ia berikan adalah pandangannya terhadap penelitian penting astronomi yang dilakukan Galileo Galilei.
ADVERTISEMENT
Penemuan Galileo, seperti pengamatan bintang-bintang pada malam hari dan pengamatan bulan-bulan Jupiter mendukung pandangan heliosentris Copernicus bahwa bumi mengelilingi matahari. Pada saat itu, pandangan geosentris yang dipegang oleh pandangan Aristotelian dominan menganggap bumi sebagai pusat alam semesta. Pandangan Aristotelian ini diakui sebagai dogma resmi oleh pemerintah Gereja Katolik Roma yang pada akhirnya ditentang oleh Galileo.
Feyerabend mengeklaim bahwa kasus Galileo menunjukkan ketatnya aturan ilmiah justru dapat menghambat perkembangannya. Feyerabend juga berpendapat bahwa Galileo menggunakan berbagai metode yang bertentangan pada zamannya seperti argumen retoris, analogi, dan ketidakpastian tetapi penelitiannya malah menghasilkan pemahaman yang lebih mendalam terhadap alam semesta.
Galileo Galilei. Sumber: Pixabay
Istilah filsuf begitu mengerikan sehingga Feyerabend menyebut dirinya sebagai “entertainer” dan tidak suka disebut sebagai “filsuf”. Mungkin baginya lebih baik menjadi penghibur yang bermuatan filosofi daripada menjadi filsuf yang menghibur atau lucu dalam konotasi memalukan dan layak ditertawakan.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa ilmu itu bagaikan seni yang menjadi salah satu bentuk kreativitas manusia dan harus dibebaskan tanpa terlalu diikat atau dibatasi. Namun, bukan berarti ilmu menghilangkan sifat objektivitasnya, hanya saja ia ingin menegaskan bahwa sains lebih memerlukan subjektivitas.
Analoginya terhadap ilmuwan dan seniman adalah ilmuwan besar, yang ia sejajarkan dengan seniman besar—dengan menyebut The Beatles, karyanya akan selalu diikuti oleh ilmuwan dan seniman yang biasa-biasa saja.
The Beatles. Dianggap oleh banyak penggemar musik sebagai peletak batu pertama musik pop modern dan tidak dapat dipungkiri sebagian besar musisi modern memiliki nuansa The Beatles di dalam karyanya. Sumber: Pixabay
Kritik tajamnya ini bukanlah penentangannya terhadap sains, namun hanya kritik terhadap arogansi ilmuwan yang mendewakan metode ilmiah yang bersifat dogmatis. Bahkan, Feyerabend menganggap sains pada hari ini telah menjadi agama baru yang menindas apa pun yang berlawanan dengannya.
ADVERTISEMENT
Sifat sains yang sangat tidak toleran sebagaimana agama dari para ilmuwan ini, mengancam kebebasan berpikir bagi manusia. Sehingga Feyerabend mengembangkan pandangannya bahwa ilmu pengetahuan haruslah bersifat plural dan fleksibel dalam metodenya, karena setiap pemikiran ditentukan oleh teori atau memiliki kacamatanya masing-masing.
Ini yang disebut oleh Feyerabend sebagai “theory determined”. Oleh karena itu, lahirlah “Anarkisme Epistemologis” yang berarti tidak ada aturan atau metode ilmiah yang tetap dan ilmu pengetahuan tidak seharusnya terikat pada batasan-batasan tertentu dalam penelitian.
Selain itu, pluralitas dalam sains atau “Scientific Pluralism” melahirkan keindahan atau estetika dan ini yang menjadi pendekatan Feyerabend terhadap sains. Sebagaimana Einstein yakin bahwa teori relativitasnya benar karena “it was so beautiful” dan karena keindahan ilmu inilah seharusnya para ilmuwan cukup kreatif untuk memproduksi teori baru tanpa harus sibuk dengan rasionalisme. Anything Goes. Don’t take yourselves so seriously.
ADVERTISEMENT