Meraih Kemerdekaan Berbahasa dengan Berpuisi ala Sapardi

Muhammad Fariz Akbar
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Jakarta Angkatan 2022
Konten dari Pengguna
2 Agustus 2023 11:34 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Fariz Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi menulis surat. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi menulis surat. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sapardi Djoko Damono adalah seorang pujangga berkebangsaan Indonesia terkemuka. Salah satu buktinya adalah puisi-puisi Sapardi telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa daerah. Selain maestro dalam bidang sastra, ia juga merupakan pengajar sekaligus guru besar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia periode 1995-1999.
ADVERTISEMENT
Sapardi Djoko Damono memegang prinsip dalam menulis puisi. Baginya, “Kata-kata adalah segalanya dalam puisi. Kata-kata tidak sekadar berperan sebagai alat yang menghubungkan pembaca dengan ide penyair, seperti peran kata-kata dalam bahasa sehari-hari dan prosa umumnya, tetapi juga sebagai pendukung imaji dan penghubung pembaca dengan dunia intuisi penyair.”
Dalam proses kreatif karya-karyanya ia mengatakan, “Bagi saya, proses penulisan sebuah sajak baru berakhir apabila dalam kata-kata yang saya permainkan tersusun peristiwa yang rasanya pernah saya alami, yang kini ternyata mengandung makna. Makna itu sendiri sering sangat sulit saya sampaikan, atau saya capai, dengan cara lain. Oleh sebab itu, peristiwa dalam dunia kata itu sangat penting, setidaknya sama penting dengan makna yang dikandungnya.”
ADVERTISEMENT

Bahasa Indonesia dan Kaidahnya

Ilustrasi puisi karya Sapardi - Sumber: https://pixabay.com/id/photos/puisi-album-puisi-tua-menulis-720610/
Sebagai penutur jati (native) bahasa Indonesia, saya tahu kita bertutur menggunakan kata-kata. Sebagai mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, saya berkecimpung dalam dunia akademis bahasa.
Saya tahu bahasa bersifat arbitrer (kesepakatan) yang kemudian dijadikan konvensi, hingga dijadikan kaidah oleh para ahli dan peneliti bahasa. Kaidah-kaidah tersebut lah yang kita pahami sebagai penutur dan pada akhirnya kita gunakan sebagai pedoman.
Namun kenyataannya dalam berpuisi, seperti yang diungkapkan oleh Sapardi bahwa ia hanya memain-mainkan kata. Kaidah-kaidah tersebut seolah-olah diabaikan dan kata-kata itu tidak sejajar dengan makna bahkan mendahuluinya.
Lain halnya ketika kita hanya ingin bertutur. Kita sudah memiliki makna di dalam benak kita, yang kemudian diungkapkan melalui kata-kata.
ADVERTISEMENT
Contohnya dalam kalimat “Tolong buatkan omelette!”. Sebagai penuturnya, kita sudah memiliki makna yang sudah kita ketahui jauh sebelum itu dituturkan bahwa kita sedang dalam kondisi lapar, meminta tolong untuk dibuatkan omelette atau telur dadar yang artinya telur tersebut perlu dikocok sebelum digoreng. Bahkan, kalimat tersebut juga memiliki makna pragmatis terutama bagi orang Indonesia, yang artinya satu piring nasi berlaukkan omelette atau telur dadar.

Bilang Begini Maksudnya Begitu

Membaca buku dapat memperbanyak perbendaharaan atau referensi kita terhadap kata-kata - Sumber: https://pixabay.com/photos/glasses-book-education-eyeglasses-1052010/
Di dalam tataran linguistik, ilmu yang membicarakan makna adalah semantik. Ada kata-kata yang dikelompokkan berdasarkan ciri semantiknya. Misalnya, kata-kata kuning, merah, hijau, berada dalam satu kelompok yaitu kelompok warna.
Setiap kata juga dapat dianalisis melalui unsur maknanya untuk mengetahui perbedaan makna antara kata yang satu dengan yang lainnya yang berada dalam satu kelompok.
ADVERTISEMENT
Misalnya, mayat dan bangkai berada dalam satu kelompok yang sama yaitu makhluk hidup yang sudah mati. Perbedaannya adalah kata mayat memiliki konotasi manusia sedangkan bangkai memiliki konotasi bukan manusia. Kata-kata yang berada dalam satu kelompok lazim dinamai kata-kata yang berada dalam satu medan makna.
Berdasarkan sifat hubungan semantisnya dapat dibedakan atas kelompok medan kolokasi dan medan set. Kolokasi menunjuk pada hubungan sintagmatik sedangkan kelompok set menunjuk pada hubungan paradigmatik. Pada kesempatan kali ini, kita lebih spesifik membicarakan kolokasi yang bersifat linear dan tidak dapat disubtitusikan.
Contohnya pada kalimat, “Tiang layar perahu nelayan itu patah dihantam badai, lalu perahu itu digulung ombak dan tenggelam beserta segala isinya.”
Kata-kata layar, perahu, nelayan, badai, ombak, dan tenggelam merupakan kata-kata dalam satu kolokasi, satu tempat atau lingkungan yang sama. Dalam hal ini lingkungan kelautan. Tentunya mereka tidak dapat disubtitusikan antara satu sama lain.
ADVERTISEMENT
Kembali kepada puisi, bermain dengan kata-kata dan “melanggar kaidah”. Kita ambil contoh puisi Sapardi yang berjudul "Tuan".
Ilustrasi proses pembacaan puisi - Sumber: https://pixabay.com/photos/blonde-girl-book-reading-sit-1866951/
Bolehlah puisi tersebut kita anggap indah karena permainan kata-katanya sehingga memiliki rima. Tetapi, apakah kita dapat menjelaskan hubungan semantis medan kolokasi antara si aku-lirik dan tuan yang dianggap Tuhan? Tentu saja bisa.
Puisi singkat tersebut yang terlihat hanya seperti sebatas kalimat yang memiliki medan kolokasi yaitu antara tuan rumah (aku-lirik) dan tamu (tuan yang dianggap Tuhan).
Tentu tidak masuk akal karena Tuhan mana yang bertamu ke rumah hamba-Nya? Terlebih jika kita membayangkan Tuhan itu mengetuk pintu ataupun memanggil si aku-lirik melalui telepon karena ia meminta ditunggu karena sedang keluar. Bahkan, si aku-lirik meragukan apakah yang datang itu Tuhan atau bukan.
ADVERTISEMENT
Mungkin ini yang dimaksud Sapardi sebagai makna yang sulit diungkapkan. Secara tersurat, puisi ini menggambarkan kedatangan Tuhan ke rumah si aku-lirik yang tentunya tidak masuk akal.
Namun secara tersirat, puisi ini menggambarkan bahwa pertemuan manusia dan Tuhan bisa terjadi kapan saja. Sedangkan pada bagian “saya sedang keluar” merupakan usaha penundaan dari manusia dengan membohongi Tuhan yang tentunya mustahil.
Hal ini sesungguhnya semakin menekankan bahwa bahasa dan sastra tidak mungkin terpisahkan layaknya dua sisi mata uang. Kemampuan bersastra merupakan penerapan atau aplikasi berbagai kemampuan berbahasa. Sementara itu, sastra menggunakan media bahasa dan pada saat yang bersamaan bersastra menjadi sarana untuk melatih keterampilan berbahasa.
Tidak heran jika Sapardi menganggap puisi adalah mahkota bahasa. Karena mahkota biasa dikenakan kepada seorang raja, ratu, ataupun seseorang yang mempunyai kekuasaan tertinggi.
ADVERTISEMENT
Untuk memiliki kekuasaan, seseorang terlebih dahulu harus meraih kemerdekaan. Itulah yang terjadi dengan puisi. Puisi tetaplah puisi. Bukan ide yang menentukan. Tidak ada kaidah yang harus dijadikan rumusan maupun pedoman. Ia hanya permainan kata dan makna.
Bilang begini maksudnya begitu.