Ironi Konflik Agraria dan Keadilan yang Didambakan

Muhammad Fath Mashuri
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang
Konten dari Pengguna
14 September 2020 6:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Fath Mashuri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi buruh tani. Foto: ANTARA FOTO/Dedhez Anggara
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi buruh tani. Foto: ANTARA FOTO/Dedhez Anggara
ADVERTISEMENT
Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan bahwa sepanjang pemerintahan era Jokowi jilid 1 (2015-2019) terdapat 2.047 kasus konflik agraria, baik itu di sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, hingga daerah pesisir dan wilayah laut. Angka tersebut dinilai dua kali lipat lebih tinggi jika dibandingkan dengan dua periode masa pemerintahan presiden SBY.
ADVERTISEMENT
Data tersebut juga belum memasukkan kuantifikasi konflik agraria di tahun 2020 yang dewasa ini semakin muncul ke permukaan meski banyak pihak berupaya meredam, jumlah tokoh adat/masyarakat yang dikriminalisasi, hingga korban jiwa yang ditutup-tutupi.
Rasanya kurang etis jika membandingkan dua rezim tersebut. Barangkali kebutuhan ekonomi dan investasi lebih banyak menuntut di era Pemerintahan saat ini sehingga berbanding lurus dengan ekspansi lahan untuk investasi komoditas tertentu. Akibatnya, konflik agraria tidak mampu dielakkan di banyak tempat. Seperti prinsipnya, ekonomi pasar kapitalistik tidak akan pernah melekatkan ekonomi ke dalam hubungan-hubungan kesejahteraan sosial, melainkan sebaliknya.
Ada beberapa fenomena yang bisa kita lihat saat ini berkenaan dengan konflik agraria, seperti (1) pemberian izin/hak/konsesi oleh pejabat publik terhadap tanah/wilayah kelola/SDA kepunyaan sekelompok rakyat kepada untuk kepentingan investasi; (2) kekerasan dan bentuk-bentuk manipulasi dalam pengadaan tanah skala besar untuk proyek-proyek pembangunan dan investasi; (3) maraknya eksklusi sosial kelompok masyarakat pedesaan/adat dari tanah/wilayah kelola/SDA; (4) tumbuhnya gerakan-gerakan perlawanan langsung dari kelompok masyarakat; (5) berujung pada bentuk kriminalisasi kelompok masyarakat hingga jatuhnya korban jiwa. Kondisi ini diperparah menyusul rencana pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) di mana pemerintah berdalih mendorong investasi dan kemudahan berbisnis di Indonesia, di sisi lain mendapat gelombang kritik karena diprediksi memiliki dampak kerusakan lingkungan yang besar dan konflik agraria yang semakin masif.
ADVERTISEMENT
Noer Fauzi Rachman telah seringkali mengingatkan bahwa perubahan-perubahan agraria yang sangat drastis akan menghadirkan berbagai krisis di tengah masyarakat, meliputi krisis keadilan, krisis alam, dan krisis produktivitas.
Pertama, krisis keadilan yang menyangkut penguasaan berbagai kelompok sosial (baik itu berdasarkan kelas, etnisitas/suku) terhadap tanah beserta tumbuhan dan segala hal yang terkandung di bawahnya, serta kehidupan di atas tanah. Krisis ini ditandai dengan semakin banyaknya rakyat yang menjadi development refugees akibat hilangnya penguasaan mereka atas tanah dan kekayaan alam yang menyertainya di satu sisi.
Sementara pada sisi yang lain tanah dan sumber daya alam mereka diusahakan secara eksklusif oleh para investor dengan dalih pembangunan. Aksi para nelayan menolak aktivitas penambangan pasir untuk proyek reklamasi Makassar New Port di Sulawesi Selatan dengan maksud melindungi lingkungan dan mempertahankan wilayah tangkap mereka sebagai sumber penghidupan beberapa waktu lalu, menjadi contoh nyata terjadinya krisis keadilan. Akibat aksi tersebut beberapa kapal nelayan ditenggelamkan dan dirusak, hingga kriminalisasi salah seorang dari mereka dan aktivis mahasiswa. Atau menelaah pada apa yang terjadi terhadap masyarakat adat Laman Kinipan yang berjuang menghentikan pengrusakan dan penjarahan hutan adat mereka, justru dianggap menghalang-halangi kepentingan negara, dan malah dikriminalisasi karena dituduh mencuri chainshaw milik perusahaan.
ADVERTISEMENT
Contoh lain yang terjadi pada Masyarakat adat Besipae di NTT yang rumahnya dirusak dan digusur dari hutan adat Pubabu. Sampai pada cerita dari Marga Mahuze Besar, Suku Marin di Bagian Selatan Papua yang didokumentasikan oleh Jurnalis Dandhy Laksono dan Suparta Arz di Ekspedisi Indonesia Biru di mana mereka berusaha mempertahankan hutan adat dari ancaman perkebunan kelapa sawit dan pembukaan lahan persawahan. Mereka menolak karena pangan Papua bukan beras dan minyak, tetapi sagu yang mereka ambil dari hutan.
Selain itu, peradaban orang papua bukan bercocok tanam tetapi berburu dan mengambil secukupnya dari alam. Krisis keadilan selalu berjalan beriringan dengan merosotnya kesejahteraan rakyat dari tanah dan sumber daya alamnya. Sementara para pemilik modal dan elit hidup berkelimpahan dari pemanfaatan sumber daya alam tersebut. Apalagi, nampaknya pemerintah lebih memilih mengesahkan Omnibus Law RUU Cilaka untuk proses investasi ketimbang RUU Masyarakat Adat yang berfungsi melindungi hak-hak penduduk pribumi untuk sejahtera di tanah adat mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
Kedua, krisis alam berkenaan dengan kerusakan lingkungan akibat intervensi proyek-proyek pembangunan atau deforestasi besar-besaran atas nama ekspansi produk perkebunan yang berisiko pada keberlanjutan ekosistem kehidupan. Krisis ini ditandai oleh pengambilan manfaat sumber daya alam, dan diterimanya bencana kerusakan alam yang tidak mampu direhabilitasi oleh alam itu sendiri.
Bekas lubang-lubang galian tambang di Kalimantan yang dibiarkan begitu saja oleh perusahaan adalah contoh konkrit berkaitan dengan krisis alam. Padahal seyogyanya mereka bertangungjawab melakukan upaya restorasi lahan pasca tambang. Pada contoh lain, banjir dan longsor yang menerjang Kabupaten Luwu Utara bulan Juli lalu, salah satu penyebabnya adalah banyaknya lahan kritis di daerah hulu dikarenakan upaya deforestasi untuk lahan perkebunan sawit.
Saat Penulis berkunjung kesana, seorang kepala Dusun di Kecamatan Masamba yang paling terdampak banjir mengakui bahwa ekspansi besar-besaran lahan sawit di Luwu Utara ibarat buah simalakama. Di satu sisi membawa penghidupan, di sisi yang lain kebutuhan yang besar akan produk sawit mengharuskan hutan dikorbankan. Mereka menyadari bahwa deforestasi untuk lahan sawit yang tidak terkendali akan berdampak destruktif, tetapi politik komoditas sawit yang menggiurkan membuat mereka mengalami learned helplessness, atau belajar dari hal-hal yang tidak menyenangkan. Apalagi pemerintah sangat memfasilitasinya, mulai dari pemberian subsidi untuk planting dan replanting hingga penyediaan pabrik-pabrik pengolahan di berbagai daerah.
ADVERTISEMENT
Ketiga, krisis produktivitas rakyat yang menyangkut lumpuhnya kemampuan usaha rakyat mengubah tanah dan sumber daya alam menjadi sesuatu yang berguna bagi mereka. Sementara di pihak yang lain para investor memiliki daya mengubah tanah dan sumber daya alam menjadi keuntungan yang tidak familiar bagi masyarakat setempat.
Ketidakadilan nampak lebih nyata dalam serangkaian konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Wajar jika seruan keadilan menggema. Hal ini juga berarti penerapan keadilan sosial boleh jadi mampu meredam konflik dan menumbuhkan kesejahteraan. Dalam pengukuhan guru besarnya di bidang psikologi sosial, Faturochman dari Universitas Gadjah Mada pernah mengungkapkan “keadilan akan lebih mudah ditegakkan dalam sistem yang terdesentralisasi”. Hal ini berarti pemanfaatan dan penggunaan tanah serta sumber daya alam akan dirasa adil dan memiliki konsekuensi kesejahteraan bagi masyarakat jika disesuaikan prosedur dan distribusinya sesuai kebutuhan serta karakteristik sebuah daerah, bukan untuk mengakomodasi kebutuhan pasar dunia. Ada tiga terminologi keadilan dalam kajian psikologi yang dinilai mampu menghadirkan efek kepuasan antar-pihak, yaitu keadilan prosedural, keadilan distributif, dan keadilan interaksional.
ADVERTISEMENT
Keadilan prosedural senantiasa menuntut adanya mekanisme dan proses sosial yang spesifik sesuai dengan substansinya. Dalam praktiknya, konflik agraria bisa dihindari ketika (1) pemerintah memberlakukan prosedur terkait izin/hak/konsesi terhadap tanah/wilayah kelola/SDA secara konsisten, bukan sesuai kebutuhan dan permintaan pasar; (2) tidak ada bias pemihakan terhadap individu/kelompok. Jika Omnibus Law RUU Cilaka terus digodok pengesahannya, maka RUU Masyarakat Adat juga menjadi hal yang krusial untuk disegerakan. Kalau tidak, tentu akan menstimulasi kecurigaan dan distrust oleh publik; (3) ekspansi lahan untuk komoditas atau kepentingan proyek tertentu harus didasarkan pada informasi atau data yang akurat terkait urgensi kebutuhan dan kebermanfaatannya bagi masyarakat sekitar; (4) melibatkan seluruh elemen representatif, khususnya indigenous people dalam perumusan pelbagai kebijakan agraria di daerah; (5) berpegang pada standar etika dan moral.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, keadilan distributif yang tidak hanya berasosiasi dengan sebuah pemberian. Lebih dari itu, distribusi yang adil juga meliputi pembagian, penyaluran, penempatan, serta pertukaran terhadap suatu sumber daya, informasi, ganjaran/reward, atau keuntungan, hingga pada distribusi hukuman. Dalam konteks agraria, nampaknya pemerintah sudah terlihat adil mengekspansi lahan di luar Pulau Jawa untuk mendistribusikan komoditas tertentu, begitupun dengan keuntungan ekonomi yang dapat diterima bagi masyarakat dari komoditas tersebut. Namun sepertinya banyak pihak yang luput bahwa penempatan komoditas tertentu tidak selamanya menjadi distribusi yang dibutuhkan oleh masyarakat setempat. Apa yang terjadi di Merauke dengan proyeksi sawah ratusan ribu hektar menjadi distribusi yang sangat tidak adil. Alih-alih menyajikan ketahanan pangan bagi masyarakat Papua, mereka justru menganggapnya sebagai ancaman. Atau dalam konteks distribusi hukuman yang nampak tumpul pada proyek-proyek besar yang melanggar ketentuan restorasi lahan pasca-tambang, sementara kriminalisasi penolak reklamasi atau penjaga hutan adat sangat gampang.
ADVERTISEMENT
Terakhir, keadilan interaksional yang menuntut adanya penghargaan terhadap status kelompok masyarakat adat, netralitas dalam menjalankan prosedur dan melakukan distribusi, hingga pada proses saling percaya (baik itu dalam relasi vertikal maupun horizontal) bahwa setiap elemen akan menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab dan berpegang pada konsep-konsep yang menyejahterakan. September ini kita akan memperingati hari agraria Nasional, banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bersama. Banyak pula kelompok rakyat atau masyarakat adat yang mendambakan keadilan.