Konten dari Pengguna

Pers, Wartawan, dan Kebenaran

Muhammad Fathir Al Anfal
Catfather. Chocolate Lover. Movie Enthusiast. Arsenal Fans. Follow akun satunya yang udah verified juga ya! Namanya sama kok :)
9 Februari 2018 18:46 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Fathir Al Anfal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jurnalis. (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Jurnalis. (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Pada suatu hari di era Orde Baru, Seno Gumira Ajidarma pernah berkata, "Ketika pers dibungkam, sastra bicara." Ya, tempo dulu, kebebasan pers memang suatu hal yang langka. Pemberedelan bagi mereka yang lugas menyuarakan kebenaran dan tantangan bagi pemerintah adalah hal biasa.
ADVERTISEMENT
Kini, era berubah. Pers bisa bergerak lebih bebas. Dan lebih cepat, seiring perkembangan zaman. Bebas dalam mengangkat isu dan mengolahnya dalam tahapan-tahapan jurnalistik untuk mencapai kebenaran.
Tentu saja, tugas seorang wartawan adalah mencari dan menyajikan fakta/kebenaran. Sesuai dengan tahapan jurnalistik yang baik dan benar, baik dari turun langsung ke lapangan, riset, hingga wawancara narasumber terkait. Dengan memegang teguh prinsip dan kode etik jurnalistik, sudah seharusnya wartawan menjadi laskar pembawa kebenaran, bukan kepalsuan.
Berita palsu, yang sarat 'clickbait', hoaks, atau isu SARA acapkali bertebaran. Dikonsumsi secara luas dan kemudian melahirkan konsep pemikiran yang sesat bagi pembacanya. Ini yang berbahaya.
Kebenaran, memang kerap menjadi problematika tersendiri. Prasangka, sering mengaburkan kebenaran. Sebagai contoh, jika si A mengatakan bahwa dia tidak mempermasalahkan isu XYZ, sampaikanlah demikian, apa adanya. Itulah kebenaran.
ADVERTISEMENT
Bukan menyampaikan persepsi sendiri bahwa A adalah pro-XYZ atau seorang yang melakukan XYZ. Lantas menulis judul dengan nada yang 'wah' dan menyesatkan, demi traffic yang tinggi.
Memang, sulit rasanya luput dari subjektivitas, dan mengedepankan objektivitas. Bahkan, ada yang mengatakan: objektivitas hanyalah intersubjektivitas. Namun, tidak berarti bahwa wartawan hanya mengandalkan persepsi dan merasa paling benar.
Pada hakikatnya, seorang wartawan harus mengesampingkan subjektivitas, ego, dan rasa paling tahu akan sesuatu atau seseorang yang mungkin dilatari kebencian tersebut. Setia pada kebenaran adalah mutlak. Meski dituntut cepat, data dan fakta harus dijunjung tinggi.
Intinya, konsep dasar jurnalistik, 5W+1H, haruslah dipertahankan. Jangan mudah percaya, lalu langsung memuat berita. Konfirmasi dan klarifikasi semua pihak, dalam upaya menegakkan kebenaran, adalah yang utama.
ADVERTISEMENT
Terakhir, pers, sebagai penerang masyarakat, sepatutnya membawa suatu bentuk informasi yang tepercaya. Karena banyak sekali isu dalam masyarakat, yang bisa dikaji secara mendalam, tanpa harus menggiring pembaca.
Selamat Hari Pers Nasional 2018.