Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Mengukur Keadilan, Bisakah?
20 November 2017 11:11 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
Tulisan dari Muhammad Fathir Al Anfal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setya Novanto baru saja menjadi tahanan KPK atas dugaan kasus korupsi e-KTP, Minggu malam (19/11). Memang, korupsi bukan hal baru di Indonesia. Namun, seperti yang kita tahu, hukuman terhadap tersangka kasus korupsi di Indonesia dianggap tak setimpal. Beserta denda yang ringan pula.
ADVERTISEMENT
Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW), 262 kasus dari 315 kasus korupsi di semester satu, masih terbilang ringan. Denda yang dikenakan juga tidak bisa menutup kerugian yang ditimbulkan. Makna "ringan" sendiri memang subjektif. Kategori ringan yang dimaksud adalah di antara satu hingga empat tahun.
Sudah adilkah?
Memaknai Keadilan
Ya, keadilan memang sulit diukur. Tidak ada alat yang bisa memastikan konsep abstrak ini sudah ditegakkan atau belum. Jangankan untuk hal-hal besar sekelas korupsi. Saya saja masih suka protes kepada wasit yang merugikan tim favorit saya. Namun sebaliknya, saya memaklumi kesalahan wasit yang menguntungkan tim favorit saya.
Begitu juga untuk keputusan hakim. Mungkin kita, sebagai orang awam, merasa hakim tidak berlaku adil ketika memenangkan Setya Novanto pada praperadilan akhir September lalu. Padahal, biar bagaimanapun, hakim adalah otoritas kuat yang seharusnya kita percaya. Di sisi lain, hakim juga manusia. Manusia rentan dengan kesalahan. Kesalahan, dalam konteks ini adalah putusan, bisa mengakibatkan ketidakadilan.
ADVERTISEMENT
Jadi bagaimana solusinya?
Sejatinya, saya tidak tahu. Tapi memang sudah seharusnya kita mematuhi hukum dan keputusan hakim. Seandainya nanti Setya Novanto bebas lagi, ya sudah. Mungkin KPK memang harus mencari bukti lebih kuat. Atau jika Setya Novanto dihukum ringan, ya itulah keputusannya, kita mesti legawa. Sesederhana itu saja.
Namun, seperti kata Jean-Paul Sartre, hukuman kita yang sesungguhnya adalah kebebasan. "We are condemned to be free", katanya begitu. Tapi, harus bertanggung jawab.
Mungkin korupsi adalah salah satu wujud kebebasan yang juga dimaksud Sartre. Tapi, tentu saja, kita harus bertanggung jawab atas apa yang kita lakukan. Sederhananya, begitulah cara keadilan bekerja.