Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Menyoal Lagi Jualan Jalan Tol Trans Sumatera
7 April 2024 0:49 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Muhammad Fatkhurrozi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Diluncurkan pada 2021 lalu, SWF (sovereign wealth fund) atau INA (Indonesia Investment Authority) diharapkan dapat menjadi agen de-bottlenecking investasi di Indonesia. INA ditugaskan untuk menghimpun dana dari segala sumber, termasuk lembaga investasi luar negeri, untuk dapat diputar kembali sehingga menjadi pemasukan (return) buat negara. Sebagai modal awal, INA disuntik dana sebesar Rp 75 triliun oleh negara.
ADVERTISEMENT
Nafasnya INA memang dalam rangka mengongkosi pembangunan infrastruktur. Soal ini sudah sejak pagi sekali diwanti-wanti oleh Menteri BUMN, Erick Tohir. Isyarat tersebut dapat dibaca saat rapat kerja dengan DPR pada Mei 2021. Apalagi, beliau sudah sebut merek. Ada BUMN konstruksi yang kebelet ‘disuntik’ dana segar.
Terjadi jurang pembiayaan (funding gap) untuk menyelesaikan semua kebutuhan infrastruktur. Dana yang berhasil dihimpun tidak sepadan dengan kebutuhan yang mesti ditambal. Beberapa jenis infrastruktur seperti jalan tol membutuhkan biaya yang jumbo.
Di beberapa ruas, keekonomiannya tidak seberapa, akibat potensi traffic yang rendah. Risikonya juga besar, akibat pengadaan lahan yang jelimet dan terkadang konstruksinya butuh perbaikan tanah yang mahal. Akhirnya jalan tol banyak dibangun melalui ‘kaki-tangan’ negara, alias BUMN. Swasta belum tentu kuat.
ADVERTISEMENT
Buktinya, belasan tahun proyek Jalan Tol Trans Jawa mangkrak. Diperlukan ‘kesaktian’ ekstra untuk bisa melalui berbagai macam rintangan. Di situlah BUMN hadir. Di jalan tol Trans Sumatera, BUMN turun tangan dalam rangka penugasan.
Kekuatan BUMN tidak bisa tidak terbatas. Usaha jalan tol, seperti pembiayaan perusahaan pada umumnya, dibiayai dengan utang yang ditemani seporsi ekuitas. Jika yang dikerjakan sudah sangat banyak, tentu utang menumpuk.
Jika kita tengok, pada tahun 2013, rasio utang terhadap ekuitas BUMN konstruksi ada di rentang 0,8 hingga 2,6. Sedangkan pada 2023, rasio tersebut mencapai 1,1 hingga 4,5. Bagi pengamat, ini sudah ‘lampu merah’. Brutalisme utang tersebut mesti di-rem. Di satu sisi, BUMN diharapkan mencari alternatif selain Penyertaan Modal Negara (PMN).
ADVERTISEMENT
Maka divestasi bisa menjadi solusi. Divestasi berarti menjual porsi kepemilikan jalan tol atau saham kepada pihak lain. Kisah sukses jualan ini pernah terjadi di akhir 2019. Waktu itu, kepemilikian Waskita di ruas jalan tol Solo-Ngawi (JSN) dan Ngawi-Kertosono (JNK) diborong oleh investor asal Hongkong, Kings Key Ltd.. Saham Waskita di kedua ruas tersebut laku Rp 2,5 T.
Lalu setelahnya ada beberapa ruas lain yang sekian porsi kepemilikannya juga laku, seperti Jalan Tol ruas Medan-Kualanamu, Cimanggis – Cibitung, dan Surabaya-Mojokerto. Sedangkan INA membeli jalan tol ruas Kanci-Pejagan, Pejagan-Pemalang, yang menjadi bagian Jalan Tol Trans Jawa, dan ruas Bakauheni-Terbanggi Besar (JTBT) dan Medan-Binjai yang menjadi bagian Jalan Tol Trans Sumatera.
Jalan Tol Bakauheni-Terbanggi Besar membentang sepanjang 140 km yang menghubungkan Pelabuhan Penyeberangan Bakauheni dengan Terbanggi Besar, Lampung. Nilai investasi JTBT adalah Rp 16,7 triliun, di mana porsi ekuitas dibanding utang adalah 50 banding 50. Ekuitas tersebut dibantu oleh negara lewat suntikan PMN. JTBT beroperasi sejak 2019 dan dikelola oleh PT Bakauheni Terbanggi Besar Toll Road yang bekerja sama dengan PT Hakaaston selaku penyedia jasa layanan operasional.
ADVERTISEMENT
Pembelian JTBT dirampungkan pada pertengahan Juni tahun lalu yang laku senilai Rp 12,45 triliun. Sekretaris Perusahaan Hutama Karya berujar bahwa divestasi tersebut bertujuan untuk memperkuat kondisi keuangan agar “lebih sustainable”. Hutama Karya sedang dibebani sederet penugasan. Yang paling jelas adalah Jalan Tol Trans Sumatera untuk ruas-ruas lain.
Ada lagi tugas yang baru, yakni ‘membopong’ Waskita Karya yang sedang dilanda problem keuangan pelik. Perusahaan pelat merah tersebut akan dilebur dengan Hutama Karya dengan harapan dapat menjadi jalan keluar untuk masalah utang yang menggunung. Divestasi Hutama Karya di JTTS adalah dalam rangka mendukung kedua tugas tersebut.
Bagaimana melihat banderol 12 triliunan rupiah tersebut adalah persoalannya. Harus dibuat dulu analisis finansial sehingga diketahui harga yang pantas untuk nilai buku jalan tol tersebut. Kemudian dihitung nilai Price to book value (PBV), yaitu metrik yang sering dipakai untuk menilai harga saham. Sedangkan memprediksi keuntungan JTBT memang cukup kompleks.
ADVERTISEMENT
Pertama, kondisi Pulau Sumatera yang masih menyediakan ruang berkembang yang sangat luas. Yang kedua, kondisi jalan yang sering berlubang yang dapat menggerogoti profitabilitas jalan tol tersebut. Soal yang kedua adalah problem teknis yang cukup pelik dan sudah beberapa kali lubang di jalan tol tersebut memakan korban.
Ekuitas Hutama Karya di JTBT pada awal operasi jalan tol adalah sebesar Rp 8,39 triliun. Dengan harga saham Rp 12,45 triliun dan asumsi ekuitas tidak bertambah banyak, PBV-nya adalah 1,48 kali. Pada skenario ekuitas yang lebih besar, tentu nilai PBV akan lebih kecil.
Di sinilah persoalannya. PBV tersebut tergolong rendah. Jika meninjau harga saham jalan tol Jasa Marga yang pernah laku, PBV nya mencapai 2,13 kali. Ada lagi saham Jalan Tol Surabaya-Mojokerto milik WIKA yang laku dengan PBV 2 kali.
ADVERTISEMENT
Nilai tersebut sebenarnya mirip-mirip dengan PBV Jalan Tol Solo-Ngawi yang terjual di 2019 lalu (1,5 kali), yang dianggap masih kurang oleh analis dari Danareksa Sekuritas. Rendahnya nilai jual tersebut dapat ditengarai akibat keinginan agar laku lebih cepat. Ada penugasan yang menuntut asset recycling segera dituntaskan. Di kasus JTBT, kualitas jalan tol yang rawan berlubang tersebut juga menjadi faktor berkurangnya nilai jual.
Kelayakan finansial JTBT sebenarnya memang rendah. Dalam sebuah webinar pada 2021, Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Kementerian PUPR telah memaparkan bahwa ruas jalan tol di Lampung tersebut memiliki realisasi internal rate of return (IRR) sebesar 4%. Angka tersebut meleset dari hasil studi yang sebesar 12%. Lalu di sebuah workshop pada 2022, KemenPUPR mengekspos bahwa lalu-lintas harian rata-rata (LHR) di JTBT hanya 15 ribu kendaraan. Padahal di dalam perjanjian jalan tol, LHR JTBT ditargetkan sebesar 21 ribu kendaraan.
ADVERTISEMENT
Sedangkan pembelian oleh INA dapat juga dapat disorot. INA adalah investment arm yang mengejar profit. Semestinya INA memprioritaskan membeli aset-aset dengan tingkat pengembalian yang menguntungkan. JTBT tentu tidak semestinya masuk dalam ‘keranjang belanja’ INA. Ada semacam perasaan bahwa INA hadir untuk melarisi jalan tol yang tidak laku, yang jauh dari kesan profesionalitas lembaga investasi.
Pada bahasan yang lebih luas, pembangunan beberapa infrastruktur nampaknya tidak direncanakan dengan matang. Jalan tol banyak dibangun, namun kelayakannya tidak betul-betul distudi. Di kasus JTBT, kualitas konstruksi jalannya juga menjadi soal. Guru besar ITB, Prof. Harun Al Rasyid Lubis, menyebut telah terjadi gejala “brutalisme infrastruktur”.
Jalan tol dibangun dengan jor-joran. Beberapa di antaranya dijual agar bisa bangun lagi di tempat lain. Namun pasar tidak menyambut. Investor juga paham, bahwa keekonomian beberapa ruas memang tidak begitu menarik. Media asing, Nikkei Asia, dalam kolomnya tentang pembangunan di era Jokowi, pernah menyebut: there was no proper analysis of which infrastructure projects would boost growth and productivity the most. Wallahua’lam.
ADVERTISEMENT