Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Sepuluh Tahun Pencapaian Infrastruktur (part 1)
22 September 2024 8:40 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Muhammad Fatkhurrozi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pembangunan yang jor-joran di era Jokowi mengandung segudang problema.
Presiden Jokowi hendak menutup periode keduanya pada Oktober nanti. Sepanjang 10 tahun pemerintahannya, berbagai infrastruktur telah dirampungkan. Jokowi, adalah figur yang akrab dengan helm proyek dan gunting pita.
ADVERTISEMENT
Pencapaian infrastruktur tersebut tentu mengesankan. Selama 2014 hingga 2022, panjang jalan tol digandakan empat kali lipat, dari 802 km menjadi 2.687 km. Jaringan jalan umum dikembangkan sebesar 6 persen. Kapasitas pembangkit listrik melonjak dari 53 gigawatt menjadi 81,2 gigawatt. Kapasitas bendungan juga meningkat, hingga 2,65 kali. Bandar udara bertambah 50 unit. Dan pelabuhan meningkat dua kali lipat. Bappenas menghitung bahwa kocek APBN sudah dirogoh mencapai Rp 2.779 triliun .
Namun euforia tersebut tidak sepenuhnya indah. Dibaliknya terkandung sederet problema. Ada soal keadilan, yakni minimnya keberpihakan pada infrastruktur ‘rakyat’. Data berbicara, pembangunan jalan umum di era Jokowi tidak sekencang era sebelumnya. Pada era Presiden SBY, total panjang jalan (nasional dan daerah) bertambah 144 ribuan km. Sedang pada era Jokowi, pertambahannya hanya 30 ribuan km. Di suatu kabupaten yang satu provinsi dengan ibukota negara, misalnya, masih belum tersedia akses darat yang layak . Kondisi demikian bertolakbelakang dengan janjinya “membangun dari pinggir”.
Sedangkan jalan tol yang beroperasi masih belum dapat memuluskan pergerakan logistik. Para pengusaha truk mengeluh soal tarif. Bagi mereka, penghematan waktu dibanding ongkos yang dikeluarkan tidak sebanding. Pengamat juga pernah membandingkan dengan tarif tol di negara tetangga. Ternyata tarif tol kita memang yang tertinggi di Asia Tenggara . Sebagian kendaraan barang masih mengandalkan jalan umum dengan kinerja rendah. Alhasil performa logistik kita tetap tertinggal. Dalam rilis Logistik Performance Index (LPI) 2023, Indonesia bertengger di peringkat 61 dengan skor 3,0. Negara tetangga seperti Malaysia ada di peringkat 32 (skor 3,43) dan Thailand di peringkat 45 (skor 3,26). Kondisnya menurun jika dibanding pada 2018 (skor 3,15) .
ADVERTISEMENT
Pembangunan jalan tol terkesan grusa-grusu. Kualitas konstruksi di beberapa ruas jalan tol terlihat abal-abal. Jalan Tol Pasuruan-Probolinggo dan Jalan Tol Bakauheni–Kayu Agung, misalnya, banyak permukaan yang bergelombang dan sering membahayakan pengguna jalan. Kondisi bawah-standar tersebut sudah menelan banyak korban dan sering dikeluhkan oleh masyarakat. Perbaikan struktur beton dikerjakan di banyak titik, yang mengorbankan kinerja ruas jalan.
Jalan Tol banyak digarap oleh BUMN. Data menunjukkan, dari 10 proyek Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) di bidang Jalan Tol, hanya satu proyek yang konsesinya dipegang oleh swasta. Badan usaha swasta tercatat hanya mengoperasikan 18,8 persen dari total . Di bidang lain, semisal bandara, bendungan, pembangkit listrik, dan air bersih, fenomenanya juga mirip-mirip. BUMN bertransformasi menjadi apa saja yang seringkali di luar core bisnis nya. Bermunculan developer jalan tol baru atau juga kontraktor.
ADVERTISEMENT
Kondisi yang serba-BUMN tersebut tentu tidak sehat. BUMN harus melipatgandakan sumber dayanya (manusia, alat, manejeman, dan modal) yang seringkali tidak bisa terburu-buru. Dan tak jarang mereka mendapat mandat dari pemerintah untuk mengerjakan proyek yang keekonomiannya rendah. Kondisi keuangan BUMN menjadi sorotan. Utang menumpuk. Mengengok data, pada tahun 2013, rasio utang terhadap ekuitas “BUMN karya” ada di rentang 0,8 hingga 2,6. Sedangkan pada 2023, rasio tersebut mencapai 1,1 hingga 4,5.
Lalu ada lagi megaproyek “Kereta Cepat” Jakarta-Bandung yang juga bermasalah. Konektivitas Bandung-Jakarta diklaim berhasil ditingkatkan, walau tidak signifikan. Ridership kereta cepat tercatat cukup tinggi, di sekitar 17 ribu penumpang per hari . Padahal sebenarnya masih jauh dari estimasi hasil kajian, yakni 60 ribu (LAPI ITB, 2021).
ADVERTISEMENT
Garapan Kereta Cepat dihinggapi segudang masalah hingga pembengkakan biaya. Untuk menolongnya, negara telah menyuntik modal hingga Rp 4,3 triliun. Melenceng dari komitmen awal Jokowi bahwa “tidak akan pakai APBN”. Kereta Cepat adalah beban baru yang berat, baik bagi pemerintah maupun BUMN.
Kritik pedas datang dari Faisal Basri, yang mencoba mensimulasikan keuntungan Proyek Kereta Cepat. Faisal menggunakan asumsi: nilai investasi Rp 114 triliun, kursi terisi 50 persen (300 kursi), jumlah trip 30 kali sehari, dan harga tiket Rp 250 ribu. Dari hitungannya, didapat bahwa kereta cepat baru balik modal pada tahun ke 139. Penulis juga telah mencoba menghitung pada asumsi tersebut dan didapat hasil yang sama.
Modal proyek Kereta Cepat terdiri dari 25% ekuitas dan 75% utang. Utang tersebut ditomboki oleh bank-bank China. Ekuitas disediakan oleh patungan empat BUMN Indonesia dan Perusahaan China. PT. Kereta Api Indonesia (KAI) ditunjuk sebagai ketua konsorsium. Beban finansial PT. KAI semakin abot. Pada kuartal I tahun ini, utangnya mencapai Rp 56,5 triliun. Sedangkan pendapatan tiket tidak mampu meng-cover operation dan maintenance. Kereta cepat berpotensi menjadi money sink, yang tentu mengorbankan kinerja pelayanan di daerah operasional lain.
ADVERTISEMENT
Yang tidak kalah heboh adalah proyek ibu kota baru “Nusantara” (IKN). Megaproyek ini sudah di-geber sejak 2021. Tahun 2024 ini, rencananya sebanyak Rp 42,5 triliun akan diguyur ke proyek ambisius tersebut . Dan IKN ini juga sudah ramai dikritik. Dari soal lingkungan, teknis bangunan, sosial, hingga keuangan negara.
Biaya membangun IKN memang fantastis, yakni Rp 466 triliun. Pemerintah mengklaim akan menggunakan beragam skema agar dipikul juga oleh swasta. Namun swasta masih wait and see. Iklim politik dapat berubah dengan spontan. Dari selentingan, anggaran IKN hanya Rp 143 miliar di 2025 . Banyak investor belum dapat diyakinkan. Artinya, IKN akan tetap ditumpu oleh APBN. Di beberapa kesempatan, BUMN didorong hadir ‘meringankan’ beban tersebut.
ADVERTISEMENT
Kondisi yang serba-BUMN tersebut tentu indikasi iklim berusaha yang kurang bagus. Ada kesan seolah-olah bahwa proyek besar hanya cocok jika dipegang oleh badan usaha yang punya semacam privilege. Buktinya, belasan tahun proyek Jalan Tol Trans Jawa, ketika dulu dipegang swasta hampir tak progres. Beragam hambatan mulai dari pengadaan tanah yang lelet hingga birokrasi menjadi alasan.
Dan di tengah sumringahnya seremoni gunting pita, ada ratusan subkon-subkon BUMN konstruksi yang harap-harap cemas. Beberapa dari mereka belum dibayar. Ada yang dibayar, meski telat. Yang paling fantastis misalnya di kasus Istaka Karya. Utangnya kepada 160 subkon selama 10 tahun belum dibayar. Beberapa dari mereka bahkan menjual rumah untuk dapat bertahan . Kasus lain, Waskita Beton Precast misalnya, utangnya mencapai Rp 2,1 triliun . Kasus-kasus serupa juga berderet.
ADVERTISEMENT
Jika kondisi ini terus berlangsung, kita bisa khawatir soal masa depan bangsa ini. ‘Bonanza’ infrastruktur tersebut tidak mampu menghadirkan pembangunan yang sehat. Jalan tol, kereta cepat, IKN dan sebagainya digenjot, namun kelayakannya tidak betul-betul distudi. Guru besar ITB, Prof. Harun Al Rasyid Lubis, menyebut telah terjadi gejala “brutalisme infrastruktur”. Sedangkan menurut Rizal Ramli alm., pembangunan hari ini cenderung hanya ‘dawuh pandito ratu’, alias manut saja pada selera ‘raja’ . Media asing, Nikkei Asia, dalam kolomnya tentang pembangunan di era Jokowi, pernah menyebut: there was no proper analysis of which infrastructure projects would boost growth and productivity the most. Wallahua’lam.
(akan berlanjut ke bagian 2)