Bebaskan Lingkungan dari Kekerasan Seksual!

Muhammad Fawwaz Farhan Farabi
An undergraduate law student from University of Indonesia. Fawwaz considers himself a passionate and full ambition in achieving any goal especially if it has significant impacts towards wide community.
Konten dari Pengguna
13 Desember 2022 19:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Fawwaz Farhan Farabi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Unsplash.
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Unsplash.
ADVERTISEMENT
Kekerasan seksual merupakan salah satu topik yang kontroversial dan tabu untuk dibicarakan di Indonesia. Padahal fakta di lapangan menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual di negeri ini mengalami lonjakan yang drastis. Total 4.500 aduan kekerasan seksual terhadap perempuan yang diterima Komisi Nasional (Komnas) Perempuan pada periode Januari-Oktober 2021 menandakan bahwa Indonesia adalah negara “darurat” kekerasan seksual. Hal ini diperparah dengan sulitnya korban dalam menerima penyelesaian yang baik akan kekerasan seksual yang dialaminya, menjadikan isu ini salah satu hal yang sangat krusial untuk dibahas.
ADVERTISEMENT

Pengertian Kekerasan Seksual dan Bentuk-Bentuknya

Kekerasan seksual adalah perbuatan yang dilakukan secara paksa dan bertentangan dengan kehendak seseorang dalam bentuk merendahkan, menghina, dan menyerang tubuh dan hasrat seksual atau fungsi reproduksi. Banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi tanpa melihat tempat, umur maupun gender sangat meresahkan masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menyatakan bahwa tindak pidana kekerasan seksual ialah segala perbuatan yang memenuhi tindak unsur pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut dan ketentuan perundang-undangan lainnya.
Adapun di dalam bab II pasal 4 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dijelaskan tentang bentuk-bentuk dari kekerasan seksual. Terdapat beberapa jenis kekerasan seksual yang disebutkan dalam undang-undang tersebut seperti pelecehan seksual fisik dan nonfisik, pemaksaan akan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, kekerasan seksual berbasis elektronik, eksploitasi seksual, perbudakan seksual hingga penyiksaan seksual. Lebih lanjut, dalam bab II pasal 4 angka 2 juga dijelaskan bahwa perkosaan, perbuatan cabul, persetubuhan terhadap anak, pornografi yang melibatkan anak, perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban, pemaksaan pelacuran, kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga hingga tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual juga merupakan jenis-jenis kekerasan seksual.
ADVERTISEMENT

Bagaimana Kepastian Hukum dari Tindakan Kekerasan Seksual?

Pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) ini merupakan suatu langkah progresif yang dilakukan pemerintah sebagai bentuk kepastian hukum terhadap korban kekerasan seksual yang sebelumnya masih bersifat parsial, tersegmentasi, dan tidak lengkap. Dibandingkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sebelumnya mengatur terkait hal ini, UU TPKS memiliki definisi, batasan, hingga tata laksana yang jauh lebih jelas. Sebelum ini, penanganan kekerasan seksual masih menjadi tindak pidana biasa dan kurang berperspektif gender serta korban.
Hubungan seksual dapat dikategorikan sebagai tindak pidana apabila di dalamnya tidak terdapat unsur persetujuan yang diberikan secara sadar (consent). Suatu tindakan dianggap memiliki consent yang sah apabila dalam pemberiannya memenuhi syarat-syarat freely given, reversible, informed, enthusiastic, dan specific. Syarat ini seringkali dirangkum dalam istilah “FRIES”. Freely given berarti tidak ada paksaan, tekanan, dan/atau ancaman dari pihak lain. Reversible berarti dalam setiap keputusan atau consent dapat ditarik kembali bila pemberi consent keberatan. Consent tidak berlaku secara terus-menerus dalam waktu yang berbeda. Adapun inform berarti informasi harus tersampaikan secara lengkap, tidak dapat melenceng dari informasi dan/atau perjanjian. Enthusiastic berari consent harus diberikan secara antusia dari kedua belah pihak. Dan syarat specific berarti harus terdapat perincian yang jelas mengenai parameter dan cakupan tindakan seksual yang akan dilakukan.
ADVERTISEMENT
Tak hanya karena ketiadaan persetujuan yang diberikan secara sadar (consent), tindak kekerasan seksual biasanya juga terjadi karena adanya penyalahgunaan terhadap relasi kuasa. Relasi kuasa merupakan paham yang menyatakan bahwa dalam hubungan antara satu pihak dengan pihak lainnya akan selalu ada perbedaan kekuasaan yang memengaruhi keseluruhan hubungan yang dijalani. Salah satu pihak memiliki atribusi serta power yang lebih tinggi dibandingkan yang lainnya. Perbedaan itu dapat berupa gender, umur, posisi, dan aspek lainnya. Hal tersebut kemudian dimanfaatkan oleh “si kuat” untuk menguasai dan memanfaatkan “si lemah” yang tidak berdaya dan seringkali takut untuk melakukan perlawanan.

Dampak Kekerasan Seksual

Penderitaan yang dialami korban kekerasan seksual tidak main-main. Kesengsaraan secara fisik dan psikis serta kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan politik akan dialami oleh para korban. Secara fisik, korban akan mengalami keluhan rasa sakit dan memiliki kemungkinan mengidap penyakit seksual menular (PMS). Secara psikis, umumnya mereka akan mengalami Post-traumatic Stress Disorder (PTSD). Selain itu, mereka akan mengalami depresi dan kecemasan berlebih yang apabila tidak bisa dikendalikan dengan baik bisa menyakiti diri sendiri (self harm) hingga kasus terburuknya, bunuh diri. Adapun secara sosial, akan muncul stigma buruk dari masyarakat terhadap korban yang akan menyebabkan mereka menarik diri dari lingkungan sosial, sulit membangun relasi, dan menimbulkan rasa tidak aman saat berada di tempat yang ramai. Tidak jarang, dalam beberapa kasus kekerasan seksual masyarakat justru berfokus untuk menyalahkan si korban (victim blaming).
ADVERTISEMENT
Victim blaming dapat tumbuh akibat dari cara berpikir masyarakat yang terbelenggu dengan nilai-nilai patriarki, adanya bias kelas, kurangnya sensitivitas sosial, tidak aware terhadap adanya relasi kuasa, tidak adanya kesetaraan gender dan standar yang ganda dalam kasus kekerasan seksual. Hal ini ternyata juga berjalan seiringan dengan fakta hukum yang tidak mampu memberikan kepastian penyelesaian hukum terhadap para korban. Di sini penerapan perspektif korban penting digunakan. Masyarakat juga harus mampu menjadi support community dengan menciptakan lingkungan yang inklusif, aman, dan damai bagi semua orang.

Penanganan Korban Kekerasan Seksual

Dalam Permendikbud-Ristek No. 30 tahun 2021, penanganan korban kekerasan seksual dilakukan dengan beberapa tahap, di antaranya pendampingan terhadap korban kekerasan seksual, baik pendampingan dalam konseling, layanan kesehatan, seperti terapi fisik dan psikologis, bantuan hukum, hingga advokasi dan/atau bimbingan sosial dan rohani. Setelah adanya pendampingan, bentuk penanganan yang dapat dilakukan ialah perlindungan terhadap korban kekerasan seksual dalam bentuk perlindungan dari ancaman fisik maupun non-fisik dari pelaku dan perlindungan kerahasiaan identitas.
ADVERTISEMENT
Diperlukan atensi khusus dan kerja sama aktif dari publik, institut pendidikan, negara—seluruh elemen masyarakat—untuk terus menggubris dan memperjuangkan lingkungan yang aman dan suportif tanpa ada lagi tindak kekerasan seksual negeri tercinta ini.