Konten dari Pengguna

Perdana Menteri Palestina Resmi Mengundurkan Diri

Sahashika Sudantha
Bachelor in International Relations, with a focus on the issues of Palestine, Rohingya, and Indonesia. Currently writing on several platforms.
28 Februari 2024 9:37 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sahashika Sudantha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Perdana Menteri Palestina Mohammed Shtayyeh pada tahun 2022, dilansir dari situs European Commision.
zoom-in-whitePerbesar
Foto Perdana Menteri Palestina Mohammed Shtayyeh pada tahun 2022, dilansir dari situs European Commision.
ADVERTISEMENT
Perdana Menteri (PM) Palestina, yaitu Mohammed Shtayyeh, tiba-tiba mengundurkan diri dari kabinet pada Senin (26/02). Alasan di balik kemunduran Shtayyeh diduga karena dorongan kuat dari Amerika Serikat (AS) pasca konflik Gaza yang tak kunjung usai dari 7 Oktober 2023 lalu.
ADVERTISEMENT
Banyak yang tidak mengetahui bahwa Palestina memiliki PM. Hal ini wajar mengingat bahwa Shtayyeh tidak banyak tampil di depan publik semenjak konflik bermula. Shtayyeh sendiri juga merupakan PM terpilih hanya untuk daerah kekuasaan Tepi Barat saja, yang mana pada saat ini dikuasai oleh Fatah dengan Mahmoud Abbas sebagai presidennya.
Peran PM di Palestina memang berbeda dengan sebagian besar negara parlementer lainnya. Palestina yang menganut sistem parlementer demokratis mempunyai presiden yang perannya sama seperti pusat pemerintahan di negara lain. Bahkan banyak yang berpendapat bahwa peran PM tak lain hanya sebagai "boneka" dari presiden saja.
Di sisi lain, Palestina juga mempunyai pemerintahan di Jalur Gaza yang pada saat ini dikuasai oleh Hamas dan mengakui bahwa PM sah dari Palestina adalah Ismail Haniyeh, yaitu pimpinan dari Hamas itu sendiri. Adanya dualitas pemerintahan di Gaza dan Tepi Barat sudah dimulai semenjak kemenangan Hamas pada Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif Palestina di tahun 2006 lalu, ketika pada saat itu Hamas memenangkan Pemilu dan menolak kekuasaan Fatah di Tepi Barat.
ADVERTISEMENT
Jika kita merujuk kepada konstitusi terkini Palestina, yaitu Undang-Undang Sementara di bagian kelima, maka peran PM di Palestina tak lain merupakan pemimpin tertinggi pada otoritas eksekutif di sana. Hal ini meliputi segala kementerian dan instumen administratif lainnya, seperti yang tertuang secara jelas di Artikel 63-nya.
Lebil lanjut, PM mempunyai kekuatan untuk mengatur dan memodifikasi komposisi di kementerian, mengatur segala pengeluaran, mengawasi kementerian, dan peranan-peranan eksekutif lainnya. PM sendiri nantinya ditunjuk oleh Presiden Palestina dengan rentang waktu kepempimpinan yang tidak menentu.
Dinamika Pemerintahan Palestina
Sebenarnya, kabinet terakhir dari Shtayyeh merupakan pemerintahan ke-18 Palestina semenjak tahun 1994, atau ketika Pemilu Palestina pertama kali diadakan dan menghasilkan Yasser Arafat sebagai presiden terpilih saat itu. Pada awalnya, Palestina hanya mempunyai Arafat sebagai pucuk kepempimpinan tanpa PM. Arafat sendiri merombak kabinetnya sebanyak 5 kali hingga April 2004 sebelum menunjuk Abbas sebagai PM pertamanya di tahun yang sama.
ADVERTISEMENT
Kabinet Abbas hanya berlangsung selama 17 bulan, hal ini dikarenakan dinamika Roadmap of Peace antara Israel-Palestina menimbulkan konflik di bawah kepempimpinan Abbas yang dinilai dapat menyulitkan proses perdamaian. Oleh karena itu, Abbas menunjuk Ahmed Qurei sebagai PM darurat dan diharapkan dapat lebih meredam suasana di sana.
Peran Qurei sendiri juga tidak terlalu signifikan, karena pemerintahannya memimpin di saat Palestina sedang mempersiapkan Pemilu Presiden keduanya pasca kematian Arafat di tahun 2004. Meskipun begitu, namanya telah tercatat dalam sejarah sebagai PM pertama dan pemimpin kabinet pemerintahan ketujuh hingga kesembilan Palestina.
Lantas Pemilu Presiden di tahun 2005 terjadi yang menyebabkan Abbas terpilih untuk menggantikan Arafat sebagai Presiden Palestina. Namun dari Pemilu ini hingga seterusnya, Palestina menghadapi dinamika pemerintahan yang cukup kompleks yang dampaknya bisa dirasakan hingga sekarang. Dinamika yang terjadi sejatinya mempengaruhi potensi perjanjian perdamaian bersama Israel seperti benalu; memperburuk ruang dialog di sana.
ADVERTISEMENT

Perjanjian Oslo

Jauh sebelum Pemilu terjadi, Perjanjian Oslo hadir sebagai upaya negosiasi yang dilakukan oleh Palestine Liberation Organization (PLO) sebagai perwakilan resmi Palestina, serta Israel sebagai pihak yang berkonflik, dengan upaya mediasi yang dilakukan oleh perwakilan Amerika Serikat melalui Bill Clinton sebagai presidennya saat itu.
Perjanjian Oslo sendiri merupakan upaya yang dilakukan untuk membentuk pemerintahan sementara Palestina yang berlangsung dalam periode lima tahun, dengan harapan selama periode tersebut akan terdapat sebuah perjanjian yang lebih mutlak nantinya. Sebagai hasil dari pemerintahan tersebut, pemerintahan Palestina mempunyai otoritas untuk mengadakan Pemilu dan kekuatan-kekuatan pemerintahan seperti negara pada umumnya.
Sebagian besar permasalahan yang hadir pada politik Palestina semenjak penandatanganan Perjanjian Oslo adalah bagaimana mereka dapat membangun dasar pemerintahan guna mendapatkan kedaulatan seutuhnya. Pasca perjanjian tersebut, masyarakat Palestina menanggap bahwa perpolitikan mereka sebenarnya tidak memiliki kekuasaan dalam mengambil keputusan yang dianggap perlu.
ADVERTISEMENT
Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, pada 1996 Palestina untuk pertama kalinya dapat mengadakan Pemilihan Umum mandiri. Pemilihan tersebut adalah bagian dari pesta demokrasi untuk memilih calon presiden dan perwakilan legislatif untuk negara tersebut kedepannya. Hasilnya, Yasser Arafat terpilih untuk menjadi presiden pertama dengan perolehan 89,82% dan partai yang dipimpin oleh Arafat, yaitu Fatah, memenangkan 50 dari 88 kursi yang tersedia saat itu.
Namun Hamas menolak hasil Pemilu tersebut. Penolakan yang Hamas lakukan bukan tak berdasar. Bagi mereka, apa yang dilakukan oleh Fatah selama ini justru membatasi ruang gerak dan kebebasan berpolitik Palestina. Hamas bahkan mencatat bahwa tujuan dari fatah seakan memberikan legitimasi yang diakui secara internasional atas identitas Zionis di atas tanah Palestina.
ADVERTISEMENT
Meskipun tidak secara langsung menyatakan bahwa Fatah adalah musuh mereka, namun sikap dan pernyataan yang Hamas keluarkan justru membuktikan hal tersebut secara tidak langsung. Hamas bahkan beranggapan bahwa "Siapapun yang tidak mendukung (Hamas) artinya tidak mewakili suara rakyat (Palestina)". Mereka terus saja mempertegas dalam berbagai kesempatan bahwa yang harus dilawan adalah para Zionis, lantas mengapa Fatah justru membuka kesempatan bernegosiasi dengan mereka.

Pemilu Presiden Palestina 2005

Pada 9 Januari 2005, lima tahun setelah kegagalan dari Perjanjian Oslo dan hampir sembilan tahun pasca Pemilu pertama di tahun 1996, Palestina kembali mengadakan pesta demokrasi guna memilih calon presiden mereka semenjak kematian Yasser Arafat pada 11 November 2004.
Kepergian Arafat cukup menggoyahkan kestabilitasan politik Palestina. Meskipun pada masa pemerintahan sementara, yaitu selama lebih dari sebulan semenjak kepergian Arafat, Rawhi Fattouh dari Fatah sempat memegang jabatan sementara Presiden, namun hal tersebut dianggap belum mampu menggantikan sosok Arafat yang sudah mengambil hati masyarakat Palestina. Sehingga Pemilu Presiden dianggap perlu dilakukan segera, dengan wacana pemilihan selanjutnya akan dilakukan dalam empat-tahun periode kepengurusan kabinet calon pemimpin yang baru.
ADVERTISEMENT
Tujuh kandidat mengikuti kontestasi Pemilu, namun Mahmoud Abbas-lah yang keluar sebagai pemenangnya dengan persentase suara sebesar 67,38% dari 1.092.856 pendaftar dan 802.077 pemilih. Abbas bukanlah orang baru dalam politik Palestina, pasalnya ia merupakan pengganti Arafat sebagai pemimpin dari PLO semenjak beberapa waktu sebelum kematian Arafat, yaitu sejak 20 Oktober 2004.
Abbas menjadi salah satu anggota penting Fatah karena berbagai upayanya dalam membantu partai dibawah naungan Arafat tersebut. Abbas juga yang mempunyai reputasi cukup pragmatis membuat banyak negara Barat dan Israel suka untuk bernegosiasi dengannya. Hal ini bisa dilihat ketika Israel secara terus menerus mengintervensi jalannya pesta demokrasi di Palestina tersebut dengan memberikan hak spesial kepada Abbas dibandingkan dengan kandidat-kandidat lainnya.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, hanya Abbas lah yang bisa berkampanye di seluruh wilayah Palestina. Sedangkan kandidat lain seperti Barghouti sempat ditangkap untuk sementara waktu karena ia berusaha memberikan pidato di wilayah Timur Jerusalem. Barghouti juga dilarang untuk memasuki Nablus dan Gaza. Oleh karena itu, banyak oposisi dari Abbas mengatakan bahwa mereka diperlakukan tidak adil oleh Israel selama masa kampanye, yang berujung kepada kemenangan Abbas di wilayah-wilayah tersebut.

Pemilu 2006

Setahun kemudian, yaitu pada Januari di tahun 2006, Hamas mengejutkan dunia dengan memenangkan Pemilu Legislatif Palestina. Pasalnya pada Pemilu Legislatif kedua ini, partai Islamisme Palestina itu memenangkan 74 kursi dari 132 kursi yang tersedia.
Jika kita pahami, kemenangan Hamas memang masuk akal karena pada sebelumnya entitas ini secara nyata turut membangun perkembangan sosial yang berada di Palestina dengan membangun beberapa fasilitas umum seperti klinik kesehatan, sekolah, klub olahraga, dan institusi pembantu lainnya. Matthew Lewitt dalam bukunya bahkan mengatakan:
ADVERTISEMENT
Lebih daripada itu, hadirnya gerakan kemasyarakatan yang dibangun oleh Hamas tak lain merupakan bentuk dari legitimasi diri. Dengan gerakan yang masih terbilang lebih baru daripada Fatah, Hamas membutuhkan pengakuan agar memiliki kekuatan politis yang lebih atas dominasi Fatah selama ini.
Dampak dari kemenangan Hamas bisa kita rasakan hingga sekarang. Hamas menunjuk Haniyeh, pemimpin mereka, sebagai PM untuk Palestina. Ditambah Fatah yang menolak untuk bergabung ke kabinet membuat Haniyeh memiliki kuasa untuk membentuk pemerintahannya sendiri, yang mana sepenuhnya diisi oleh kader-kader dari Hamas.
ADVERTISEMENT
Kabinet Haniyeh runtuh karena banyaknya penolakan atas legitimasi Hamas oleh negara-negara Barat, Israel, dan pemerintahan Abbas di Tepi Barat. Oleh karena itu Haniyeh membentuk pemerintahan keduanya, yang disebut sebagai Pemerintahan Persatuan Palestina. Singkat cerita, pemerintahan ini gagal karena banyak pihak yang tidak mau membuka ruang negosiasi dengan Hamas karena Hamas menolak pengakuan terhadap negara Israel.
Pasca pecahnya kabinet Haniyeh, konflik terjadi di tahun 2007 antara Hamas dan Fatah di Jalur Gaza. Hasilnya adalah kemenangan Hamas atas kekuasaan seutuhnya di Gaza dan membuat pemerintahan yang Abbas bentuk nantinya hanya meliputi wilayah di Tepi Barat saja.

Dualitas Pemerintahan di Palestina

Semenjak konflik internal Palestina, maka Abbas memutuskan untuk memilih PM-nya sendiri yaitu Salam Fayyad. Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, Fayyad hanya memimpin di wilayah Tepi Barat saja. Sedangkan di Gaza, Haniyeh membentuk pemerintahannya sendiri dengan komposisi Hamas seperti sedia kala.
ADVERTISEMENT
Di Tepi Barat, Fayyad memimpin dari Juni 2007 dan merombak kabinetnya selama tiga kali. Fayyad berasal dari partai Third Way, yaitu partai politik di Palestina yang berideologi tengah. Hal ini berbeda dengan Abbas dan Haniyeh yang berasal dari dua entitas terkuat di Palestina.
Komposisi kabinet Fayyad lebih beragam, yaitu meliputi beberapa partai politik dan sebagian besar menterinya berasal dari kekuatan independen. Meskipun tidak ada Hamas di dalamnya, akan tetapi beberapa menterinya seperti Mahmoud Habbash merupakan mantan anggota dari Hamas. Hingga kemundurannya pada 16 Mei 2012, Fayyad telah memimpin kabinet ke-12 hingga ke-14 pemerintahan Tepi Barat.
Fayyad digantikan oleh PM baru setahun kemudian. Ketika Abbas menunjuk Rami Hamdallah untuk memimpin dari tahun 2013 hingga seterusnya. Hamdallah sempat beberapa kali mengundurkan diri dari kabinet sebagai bentuk protes terhadap berbagai keputusan yang Abbas lakukan. Meskipun beberapa kali melakukan sumpah kembali, namun kabinetnya harus kandas pada April 2019 sebelum digantikan oleh Shtayyeh.
ADVERTISEMENT
Sedangkan di Jalur Gaza, Haniyeh kian mempersulit kestabilan politik di Palestina dengan terus membentuk kabinetnya sendiri. Tercatat Haniyeh beberapa kali melakukan perombakan kabinet, yaitu pada tahun 2007-2012, 2012-2014, 2014-2016, dan 2016 hingga sekarang. Selain menjadi penyanding kekuatan Fatah di Tepi Barat, keberadaan Hamas menghadirkan implementasi politiknya sendiri dibandigkan dengan Fatah.
Misalkan saja pada serangan yang mereka lakukan pada 7 Oktober lalu, konflik yang terjadi bukanlah atas nama "Palestina" melawan Israel tetapi Hamas vs. Israel. Militer yang terlibat pun bukan perangkat resmi dari Palestina, akan tetapi paramiliter yang Hamas punya bernama Brigadir al-Qassam.

Kesimpulan

Oleh sebab itu wajar jika masyarakat Indonesia pada umumnya tidak mengetahui perihal PM di Palestina karena memang hal tersebut sangat sukar untuk dipahami. Bahkan terjadi kebingungan untuk memahami apa yang dimaksud dengan pemerintahan "Palestina", apakah merujuk kepada pemerintahan Abbas atau Hamas di Jalur Gaza. Sehingga jika kita pahami kembali, kemunduran dari Shtayyeh sebenarnya tidak memberikan perubahan signifikan karena peranan PM di Tepi Barat akan selalu dinamis. Hal ini akan berbeda halnya jika PM yang mengundurkan diri adalah PM yang berasal dari Jalur Gaza, karena hal ini dapat menunjukkan adanya potensi kestabilitasan politik yang lebih baik di Palestina nantinya.
ADVERTISEMENT