Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
Konten dari Pengguna
Kenapa Generasi Z Tidak Berminat Menjadi Seorang Guru?
10 Desember 2024 17:12 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Muhammad hakim Satria tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Generasi Z, atau yang sering disebut sebagai Gen Z, adalah individu yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Sebagian besar dari mereka kini mulai memasuki dunia kerja dan sering kali menuai kontroversi terkait cara berpikir serta perilaku mereka. Gen Z menghadapi berbagai masalah, baik internal maupun eksternal, yang memunculkan pro dan kontra. Permasalahan tersebut mencakup isu kesehatan mental, peran sebagai generasi sandwich, dan lainnya.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, Gen Z memerlukan perhatian lebih dalam proses tumbuh kembangnya. Terlebih lagi, pemerintah memiliki rencana Indonesia Emas 2045, yang nantinya akan didominasi oleh generasi ini, yang saat ini masih dalam tahap perkembangan.
Guru di mata generasi Z dinilai kurang menarik karena dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang akan dijelaskan nanti ini berpengaruh besar terhadap jumlah guru di masa depan. Ketika jumlah guru di Indonesia semakin sedikit, maka tidak akan ada lagi sosok yang membimbing siswa-siswa di masa depan.
Mendidik bagi seorang guru bukan hanya sekadar menyampaikan materi, tetapi juga merupakan proses penyaluran emosi dan pemikiran yang tidak dapat digantikan oleh robot. Indonesia, yang masih memiliki berbagai "PR" dalam negeri, dihadapkan pada tantangan-tantangan global yang setiap hari semakin maju. Dengan adanya kemajuan tersebut, tidak dapat dipungkiri muncul pula kekhawatiran terkait dampaknya.
ADVERTISEMENT
Terlebih lagi, dalam konteks kemajuan teknologi yang terus berkembang pesat, ada aspek-aspek yang sulit untuk digantikan oleh robot, terutama peran manusia dalam menyalurkan emosi dan membangun hubungan yang tidak dimiliki oleh mesin. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya keberadaan guru dalam setiap perkembangan, baik dalam pendidikan maupun pembangunan bangsa.
Gen Z, yang dibebankan menjadi agen perubahan, mau tidak mau harus memikul tanggung jawab besar bagi negeri, termasuk dalam sektor pendidikan. Saat memasuki jenjang karier dan mulai memilih minat dalam pekerjaan, kebanyakan dari mereka tidak tertarik untuk menjadi guru, terutama guru agama Islam. Banyak dari mereka berpikir bahwa profesi guru bukanlah profesi yang keren. Selain itu, pekerjaan ini dianggap serius namun hanya dihargai dengan upah yang tidak sebanding.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, penulis akan membahas topik “Kenapa Gen Z tidak berminat menjadi seorang Guru?” dengan terlebih dahulu melihat latar belakang Gen Z yang memiliki pola pikir berbeda dari generasi-generasi sebelumnya.
Persepsi Bahwa “Guru Tidak Keren!”
Guru adalah sebuah profesi yang, bagi sebagian orang, dianggap “tidak keren.” Pemikiran ini muncul dari sistem belajar kita yang sering kali menganggap bahwa “mengajar itu mudah.” Padahal, jika kita mendalami arti mengajar itu sendiri, akan ditemukan bahwa mengajar adalah sebuah teknik pertukaran informasi dan emosi.
Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan “tidak sekadar tentang penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan semata. Lebih dari itu, pendidikan bertujuan untuk membentuk manusia yang utuh dan berbudaya, yaitu manusia yang memiliki akal, hati, dan rasa kemanusiaan yang tinggi.”
ADVERTISEMENT
Guru juga menjadi agent of change dalam pembangunan suatu bangsa. Sebagai contoh, ketika Kaisar Hirohito mengalami kekalahan dalam Perang Dunia II, dan mendengar kabar tentang luluh lantaknya kota Nagasaki dan Hiroshima, ia mengucapkan kata-kata, “Berapa jumlah guru yang tersisa?” Kaisar Hirohito kemudian menambahkan bahwa Jepang tidak akan bisa mengejar Amerika jika tidak belajar.
Karenanya, ia kemudian mengimbau para jenderalnya untuk mengumpulkan seluruh guru yang tersisa di seluruh pelosok Jepang. Sebab, kepada para gurulah seluruh rakyat Jepang kini harus bertumpu, bukan pada kekuatan pasukan. Dari kisah ini, kita dapat mengambil pelajaran bahwa guru adalah pondasi utama dalam setiap perkembangan bangsa, dan hal yang terpenting dalam pembangunan bangsa adalah keberadaan seorang guru.
ADVERTISEMENT
Gaji yang Kecil
Gaji yang kecil menjadi masalah utama dalam profesi guru. Ketika membicarakan profesi "guru," banyak orang beranggapan bahwa menjadi seorang guru itu mudah, sehingga profesi ini sering dipandang sebagai pekerjaan yang sederhana. Akibatnya, guru sering kali dibayar dengan imbalan yang sangat minim, bahkan terkadang hanya dengan ucapan "Terima kasih." Dari sudut pandang orang lain, mungkin tidak apa-apa jika seorang guru dibayar dengan kata "Terima kasih," karena dianggap mengajar hanyalah kegiatan yang mudah.
Namun, jika dilihat dari sudut pandang seorang guru honorer, yang profesi utamanya hanya mengajar, mereka akan merasa kebingungan. Dengan hanya menerima ucapan "Terima kasih" sebagai imbalan, bagaimana mereka bisa memenuhi kebutuhan hidup, jika pekerjaan satu-satunya yang mereka lakukan tidak menghasilkan uang yang berarti.
ADVERTISEMENT
Pemerintah seharusnya mengambil inisiatif dalam mengatasi permasalahan dan persoalan gaji guru ini dengan meninjau ulang kesejahteraan guru. Guru adalah pondasi utama dalam suatu negeri, namun ketika guru tersebut hanya berharap bisa memenuhi kebutuhan hidup dari profesi yang dianggap mampu mencerdaskan anak bangsa Indonesia, profesi ini malah dianggap remeh dan dipandang sebelah mata. Akibatnya, guru tidak diberikan upah yang layak, seperti halnya pekerjaan lainnya.
Tantangan dalam Sistem Pendidikan
Generasi Z melihat banyak kelemahan dan kekurangan dalam sistem pendidikan kita. Mereka memandang sistem pendidikan yang ada terlalu kaku, kurangnya inovasi dalam pembelajaran, serta tekanan yang tinggi terhadap hasil akademik. Hal-hal inilah yang menjadi faktor ketika Gen Z mempertimbangkan untuk menjadi seorang guru. Namun, sistem pendidikan yang telah dibuat oleh pemerintah justru membuat mereka kehilangan minat untuk terjun ke dunia pendidikan.
ADVERTISEMENT
Kurikulum juga menjadi salah satu faktor dalam tantangan sistem pendidikan. Pergantian kurikulum yang terus-menerus menjadi penyebab sulitnya anak-anak bangsa untuk memahami pelajaran. Ketika kita baru saja memahami dan menerapkan kurikulum yang sebelumnya, sudah ada kurikulum baru yang dibawa oleh menteri yang baru, akibat pergantian menteri yang cepat. Anak-anak bangsa menginginkan adanya kurikulum dari pemerintah yang tetap, jelas, dan efektif, agar pembelajaran yang diperoleh dapat diterapkan dan dipahami lebih mendalam.
Sistem pendidikan inilah yang membuat Gen Z tidak berminat untuk menjadi seorang guru. Profesi guru tidak lagi masuk dalam daftar profesi yang mereka inginkan karena masalah dalam sistem pendidikan ini. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat Gen Z tidak tertarik untuk masuk ke dunia pendidikan akibat sistem pendidikan yang belum juga diperbarui dan ditinjau kembali oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
Minimnya Apresiasi
Guru sering kali kurang mendapatkan apresiasi dari masyarakat. Gen Z, yang tumbuh dan berkembang, menyadari pentingnya pengakuan dan penghargaan, sehingga mereka menjadi kurang berminat untuk menjadi seorang guru. Masyarakat yang kurang menghargai profesi guru juga menjadi alasan terbentuknya stereotype bahwa “Guru adalah profesi yang sepele.”
Generasi Z yang tumbuh dan berkembang menjadi individu yang membutuhkan pengakuan dan penghargaan, merasa hal ini tidak relevan ketika menjadi seorang guru yang hanya mendapatkan sedikit apresiasi. Pemerintah haruslah menjadi solusi dalam permasalahan ini, dengan berperan sebagai mediator antara masyarakat dan guru, untuk memberikan pemahaman mengenai seberapa pentingnya profesi guru di masyarakat.
Apresiasi terhadap guru terkadang hanya dinilai sebagai tindakan untuk tidak menghina profesinya yang bergaji kecil. Padahal, masyarakat dalam mengapresiasi guru hendaknya selalu menghormati mereka dalam setiap kesempatan. Sebagai contoh, ketika bertemu di jalan, hanya dengan bertegur sapa dengan cara yang sopan dan ramah, guru akan merasa dihargai oleh masyarakat, dan profesinya pun akan dihormati dan dianggap sangat mulia.
ADVERTISEMENT
Prioritas terhadap Work-Life Balance
Gen Z sangat menghargai keseimbangan kehidupan kerja. Profesi guru, yang sering kali membutuhkan komitmen waktu yang besar di luar jam kerja resmi, mungkin dianggap kurang sesuai dengan prioritas ini. Ketika mereka dalam jam kerja, mungkin mereka akan sepenuhnya totalitas dalam pekerjaan. Namun, di luar jam kerja, akan sulit untuk melakukannya karena adanya keinginan untuk mencapai "work-life balance" (dalam artikel What Gen Z Wants from Work (2022)), yaitu agar antara pekerjaan dan kebutuhan pribadi dapat seimbang, tanpa ada yang terlalu berlebihan, baik dalam bekerja maupun dalam bersantai.
Konsep “work-life balance” inilah yang membuat kehidupan para generasi Z tetap terjaga, tidak terlalu stres, namun juga tidak terlalu bersantai dalam kehidupan. Generasi Z yang sudah menerapkan “work-life balance” memiliki sifat yang profesional dalam bekerja, namun mereka memiliki kekurangan, yaitu ketika di luar jam kerja, mereka tidak akan mau melakukannya. Hal ini akan bertentangan dengan jam kerja seorang guru yang, meskipun di luar jam kerja, tetap mengajar dan mendidik. Hal ini disebabkan karena di kalangan masyarakat, guru dianggap sebagai sosok yang seharusnya mengabdi kepada masyarakat dengan memberikan pengajaran ilmu yang dibutuhkan, meskipun itu di luar jam kerja yang telah ditentukan. Meskipun demikian, seorang guru tetap memiliki tanggung jawab moral dalam mengayomi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Dari berbagai faktor yang telah dijelaskan di atas, hal ini menyebabkan minat generasi Z, yang kini mulai beranjak dewasa, semakin berkurang terhadap dunia pendidikan, terutama dalam memilih profesi sebagai guru pendidikan agama Islam. Penulis sendiri, seorang mahasiswa semester 1, sedang menghadapi kenyataan bahwa banyak mahasiswa/i yang tidak berminat melanjutkan profesi sesuai dengan program studi yang mereka jalani, salah satunya di program studi pendidikan agama Islam. Salah seorang mahasiswa program studi pendidikan agama Islam semester 1, bernama Muhammad Ali, mengaku tidak akan melanjutkan untuk menjadi guru agama Islam di sekolah. "Pendapat gue, Kim, gue nggak mau jadi guru, kenapa? Karena bisa dilihat di zaman sekarang, kesejahteraan finansial guru itu kecil, Kim. Walaupun udah dinaikin sama Pak Prabowo, gue pengen jadi pengusaha ekonomi kayak bokap, karena sampai kapan pun itu nggak bakal mati tuh bisnis. Guru juga sih nggak bakal nggak ada, tapi guru tuh selalu dianggap remeh, Kim," tutur Muhammad Ali (7/12) Jakarta.
ADVERTISEMENT
Harapannya, dengan adanya pemerintahan yang baru ini, akan menjadi sebuah tonggak perubahan signifikan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Salah satu aspek yang perlu mendapatkan perhatian lebih adalah kesejahteraan para guru, yang selama ini seringkali terabaikan. Dengan kebijakan yang lebih berpihak pada peningkatan kualitas hidup guru, diharapkan akan ada perbaikan dalam hal gaji, tunjangan, fasilitas, dan pengakuan atas jasa mereka dalam mencerdaskan bangsa. Kesejahteraan yang lebih baik akan memotivasi para guru untuk memberikan yang terbaik dalam mendidik dan membimbing generasi penerus bangsa.
Selain itu, perubahan ini diharapkan dapat mendorong generasi-generasi selanjutnya untuk kembali tertarik dan berminat untuk menjadi seorang guru. Profesi guru, khususnya guru agama Islam, perlu mendapatkan tempat yang lebih dihargai di masyarakat. Dengan demikian, akan semakin banyak individu yang memilih profesi mulia ini, karena mereka melihat adanya penghargaan yang sesuai dengan peran besar yang mereka mainkan dalam mencetak generasi masa depan.
ADVERTISEMENT
Muhammad Hakim Satria, Mahasiswa Semester 1 Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.