Konten dari Pengguna

Pemikiran Liberalisme Namik Kemal: Antara Sekuler dan Kemajuan Sains

Muhammad Harkim Novridho
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Aqidah dan Filsafat Islam
7 Februari 2024 7:41 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Harkim Novridho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Islam dan Sains (Sumber: https://www.pexels.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Islam dan Sains (Sumber: https://www.pexels.com)
ADVERTISEMENT
"Islam neither destroyed knowledge nor was it destroyed with knowledge."
ADVERTISEMENT
Sejak tahun 1800, Islam telah memasuki fase transisi dari zaman pertengahan ke zaman modern. Munculnya zaman modern ini dipengaruhi oleh keadaan peradaban Islam yang pada saat itu tertekan oleh Eropa karena keterbelakangannya di berbagai aspek. Upaya untuk mengatasi tekanan tersebut dilakukan melalui reformasi atau perubahan pandangan terhadap Islam, yang awalnya lebih tradisionalis, menuju pandangan yang lebih modern. Pembaru Islam pada waktu itu mulai mengubah struktur sosial, politik, pendidikan atau Ilmu pengetahuan, dan ekonomi, membentuk dasar-dasar yang dikenal saat ini. Salah satu tokoh reformis tersebut adalah Namik Kemal.
Namik Kemal lahir pada tahun 1840 dari keluarga kelas atas di Turki dan meninggal pada tahun 1888. Sejak masa kecil, dia telah menerima pendidikan khusus di rumahnya, mempelajari berbagai bahasa seperti Arab, Persia, dan Perancis. Pada usia 17 tahun, dia telah bekerja sebagai penerjemah di Tercüme Odasi. Kemudian, dia pindah menjadi pegawai di istana sultan. Dalam perkembangannya, Namik Kemal menunjukkan kedewasaan dalam pemikiran dan tindakan, yang banyak dipengaruhi oleh Ibrahim Sinasi, seorang tokoh gerakan Islam di Turki. Pada tahun 1864, Sinasi menugaskan Namik Kemal untuk memimpin surat kabar Tasyir-i Efkar. Tak lama setelah itu, Sinasi melarikan diri ke Paris karena dikejar-kejar lantarantulisan dan propaganda yang dilakukannya. Melalui surat kabar tersebut, Namik Kemal semakin termotivasi untuk menyebarkan tulisan-tulisan propaganda yang dapat menciptakan ketegangan sosial dan politik di Turki. Pendekatan reformis yang diterapkan oleh Namik Kemal lebih fokus pada perubahan sosial dan politik.
ADVERTISEMENT
Namik Kemal mengartikan Islam bukan hanya sebagai agama semata, tetapi sebagai solusi untuk mengatasi masalah dalam kehidupan. Baginya, Islam mengajarkan konsep maslahah alammah atau kebaikan umum bagi masyarakat. Namik Kemal aktif menulis artikel, syair, dan naskah drama dengan tujuan menggugah kesadaran umat Islam agar keluar dari kestagnan dalam tatanan sosial, politik, hingga ilmu pengetahuan yang bersifat sekuler pada saat itu. Pada masa itu, Turki sedang mengalami periode kepemimpinan Tanzimat yang secara keseluruhan mengadopsi ideologi barat. Namik menganggap bahwa hal ini dapat mengancam eksistensi Islam itu sendiri. Namik Kemal mengadvokasi untuk menciptakan suatu tatanan Islam baru yang tidak hanya melibatkan unsur Barat namun tetap mempertahankan nilai-nilai Islam.
Meskipun dalam pemikiran pembaharuannya, sebagai seorang reformis Namik Kemal menyebarkan dua ide dasar, antara lain perihal tanah air dan kebebasan (yang mana ini sejatinya ia ambil dari konsep Eropa). Sebagai salah satu tokoh liberal saat itu, kemudian tak menjadikan Namik Kemal sebagai seorang sekuler. Namik Kemal menentang keras adanya pemisahan antara Islam dan Ilmu Pengetahuan. Peringatannya tentang bahaya reformasi ilmu pengetahuan yang murni sekuler dikhawatirkan kemudian hal ini akan justru berdampak pada terjadinya westernisasi besar-besaran, dan kemudian mengakibatkan terjadinya kerentanan terhadap kendali dari Barat dan memudahkan mereka menjalankan proyek-proyek kolonialnya yang mana akan menjadi ancaman terhadap kedaulatan negara-negara non-Barat atau negara Islam. Hal ini kemudian kita dapat melihat bagaimana posisi Namik Kemal berpandangan bahwa, ide-ide mengenai Islam, Sains, dan Liberalisme bukanlah sesuatu yang bertentangan. Antara Sains dan ide-ide pembaharuan tidak lantas menjadikan seseorang menjadi meninggalkan nilai-nilai Islam itu sendiri.
Ilustrasi Sains (Sumber:https://www.pexels.com)
Pendapat ini merupakan jawaban sekaligus kritik seorang Namik Kemal terhadap pemikiran seorang orientalist dari perancis yakni Ernest Renan. Renan dalam karyaya “Islamisme dan Ilmu Pengetahun” yang mana mengecam masyarakat Islam dan Arab sejak zaman Muhammad dan seterusnya, yang dia anggap tidak mampu menerima pengetahuan ilmiah yang berbasis pada akal, yang mana ini merupakan into dari reformis modernisasi. Renan berpandangan bahwasanya seorang mukmin dipaksa membatasi pemikirannya karena adanya dogma agama, mukmin seolah terjebak pada lingkasan besi yang melingkari kepalanya, yang menjadikannya kemudian tertutup sepenuhnya terhadap ilmu pengetahuan, dan menutup diri pada ide-ide pembaharuan. Dalam bukunya tersebut Renan mengklaim bahwa kepatuhan Muslim terhadap dogma agama menghalangi pemikiran ilmiah kritis, landasan sekuler liberalisme modern yang mana ini dipercaya akan membawa pada kemajuan.
ADVERTISEMENT
Bagi Renan dan sebagian besar filsuf modern lainnya, nilai-nilai humanistik— pengejaran akal dan pengetahuan tentang hukum alam, keyakinan akan alam semesta haruslah berpusat hanya pada manusia itu sendiri adalah kunci keberhasilan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan baginya haruslah berjuang membebaskan dan melawan dogma agama, tradisi statis, irasionalitas, atau apa pun yang akan menghambat sains atau perolehan pengetahuan berbasis akal. Di mata Renan, masyarakat Muslim adalah kelompok yang paling resisten terhadap sains. Keyakinan bahwa Tuhanlah yang menentukan siapa yang kaya dan berkuasa, umat Islam dianggap “sangat meremehkan pendidikan, ilmu pengetahuan, dan segala sesuatu yang bercirikan semangat Eropa saat ini.” Alasan utama penolakan ini adalah penolakan Islam terhadap pemikiran rasional dan inovasi yang dianggap sebagai bentuk pemberontakan berdosa melawan Tuhan. Seseorang yang kemudian diharuskan membabi buta mengikuti petunjuk-petunjuk atau aturan-aturan Al-Quran sepanjang waktu, menerima penderitaan, kebodohan, dan keterbelakangan manusia sebagai kehendak Tuhan. Dogma-dogmanya lebih efektif dalam mencegah pola pikir rasional.
Ilustrasi Muslim Beribadah (Sumber: https://www.pexels.com)
Dalam karya Kemal “Refulation of Renan” ia memberikan kritik yang keras, Kemal memfokuskan kemudian diskusinya juga pada periode awal islam, yang mana ilmuwan sains dari berbagai bidang sangat didominasi dari Islam, dan itu perlu untuk diakui oleh Renan. Kemal tidak mau mengakui bahwa eropa adalah contoh yang patut ditiru oleh umat Islam dalam proses pengembangan keilmuannya yang bercorak sekuler. Kemal menilai artikel Renan merupakan indikasi kecerobohan para keilmuan “Orientalis” Eropa Barat terhadap dunia Islam. Kemal menunjukkan kritik di akhir abad ke-20 bahwa para orientalis gagal memahami hakikat masyarakat Islam— dan sering kali tidak memiliki kemampuan linguistik yang memadai—Kemal berpendapat bahwa Renan hanya mengulangi prasangka para penulis Barat sebelumnya untuk memperkuat citra peradabannya sendiri. Ia mengisyaratkan bahwa prasangka-prasangka ini juga diduga untuk memperkuat proyek-proyek kolonial mereka sendiri dan dengan demikian hanya merupakan propaganda belaka. Bagi Kemal, setiap muslim perlu untuk tetap menyeimbangkan reformasi ilmiah dengan landasan hukum moral yang ini hanya dimiliki oleh hukum Islam.
ADVERTISEMENT
Di mata Kemal, Renan dan orang-orang seperti dia gagal karena keyakinan mereka yang kaku bahwa Islam adalah agama yang kejam dan merusak yang mengabaikan orang lain serta menghancurkan ilmu pengetahuan dan filsafat. Baginya, Renan “membatasi sumbernya hanya pada artikel-artikel yang menganjurkan penyebaran agama dengan kekerasan . . . [dan] menyesuaikan penelitiannya agar sesuai dengan prasangka ini.” Menurut pendapat Kemal, mengejar ilmu pengetahuan saja lalu mengabaikan nilai-nilai moral (yang terkandung di dalam ajaran Islam) akan sangat membahayakan, baik itu dampaknya terhadap Ilmu pengetahuan ataupun eksistensi Islam itu sendiri. Nilai-nilai moral atau hukum-hukum yang terkandung dalam nilai Islam dianggap dapat menjadi pelindung serta pemberi nilai bagi ilmu pengetahuan itu sendiri Tanpa agama, orang akan “mempelajari [sains] dengan tujuan semata-mata untuk memperoleh kemakmuran dan kekuasaan.” Umat Islam baginya wajib kemudian untuk menjaga keseimbangan antara sains dan iman.
ADVERTISEMENT