Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.1
Konten dari Pengguna
Selagi Qur'annya Sama, Apa yang Salah dengan Menjadi NU atau WAHABI?
15 Februari 2025 15:13 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Muhammad Harkim Novridho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![(Sumber: https://www.pexels.com)](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jm23vykfa4mj2681x1em738c.jpg)
ADVERTISEMENT
Karlina Supelli, dalam bukunya Dari Kosmologi ke Dialog: Menentang Fanatisme, mengingatkan kita bahwa manusia sering kali melupakan keterbatasannya dalam memahami realitas. Dalam pencarian pengetahuan, termasuk pemahaman agama, sering kali muncul kecenderungan untuk mengabaikan aspek antropologis dan sosial yang melekat pada manusia. Kecenderungan ini membuat sebagian orang merasa bahwa tafsir atau pandangan mereka adalah satu-satunya yang benar, hingga mengklaim tahu sepenuhnya apa yang diinginkan oleh Tuhan. Padahal, siapa kita hingga merasa tahu seluruh kehendak Allah? Bukankah setiap tafsir atau pandangan selalu lahir dari upaya manusia yang terbatas untuk memahami teks ilahi yang sifatnya tak terbatas?
ADVERTISEMENT
Ironisnya, umat Islam saat ini tampak lebih toleran terhadap perbedaan keyakinan antaragama, tetapi sangat sulit menerima perbedaan dalam penafsiran di dalam Islam itu sendiri. Perdebatan panjang tentang pertanyaan seperti "Allah di mana?" adalah salah satu contoh nyata. Sebagian menjawab Allah berada di Arsy, sebagian lagi mengatakan Allah di mana-mana, sementara yang lain meyakini Allah tidak bertempat. Padahal, semua pandangan ini memiliki dasar yang kuat dan sama-sama mengacu pada nash yang sama, yakni Al-Qur'an dan hadis. Pada akhirnya, bukan tentang jawaban atas pertanyaan tersebut, namun dengan ke-Maha Agungan-Nya, apakah pertanyaan tersebut menjadi relevan?
Begitu pula dalam persoalan takdir yang kemudian melahirkan perpecahan yang berakibat munculnya banyak sekte dalam Islam. Sebagian meyakini bahwa takdir manusia sepenuhnya ditentukan oleh Allah, sementara yang lain percaya bahwa manusia memiliki peran dalam menentukan takdirnya sendiri. Rasulullah sejak awal mengingatkan kita untuk tidak mendalam-dalami hal ini, tetapi kenyataannya, perdebatan tentang takdir masih terus terjadi hingga kini.
ADVERTISEMENT
Diriwayatkan dari Amir bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata, “Rasulullah saw. keluar menemui para sahabatnya yang sedang bertengkar tentang takdir. Maka wajah beliau memerah seperti delima karena marah. Beliau bersabda, ‘Untuk inikah kalian diperintahkan atau untuk inikah kalian diciptakan? Kalian membenturkan sebagian dari Kitabullah dengan sebagian lainnya. Inilah yang membinasakan ummat-ummat sebelum kalian’.”
Abdullah bin Amr berkata, “Tidaklah aku berkeinginan untuk tidak hadir di majelis yang dihadiri Rasulullah sebagaimana aku tidak ingin hadir di majelis tersebut,” (Shahih ligharihi, HR Ibnu Majah [85]). Diriwayatkan dari Nabi saw. beliau bersabda, “Jika diperbincangkan tentang sahabatku maka hentikanlah, jika diperbincangkan tentang ilmu nujum maka hentikanlah, dan jika diperbincangkan tentang takdir, maka hentikanlah,” (Hasan, lihat kitab ash-Shahihah [34]).
ADVERTISEMENT
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Tundalah perbincangan tentang takdir untuk seburuk-buruk umatku di akhir zaman’,” (ash-Shahihah [1124]).
Perselisihan di kalangan umat Islam tidak berhenti di isu-isu teologis, tetapi juga meluas ke hal-hal yang lebih praktis, seperti hukum musik, isbal, maulid Nabi, “ngalap berkah”, hingga persoalan ucapan selamat Natal. Perdebatan yang memanas di media sosial sering kali lebih berfokus pada pembenaran pandangan masing-masing daripada pencarian kebenaran.
Padahal, rujukan kita sama: Al-Qur'an. Lantas, apa yang membuat kita begitu yakin bahwa tafsir kita yang paling benar? Apa jaminan bahwa kita memiliki kapasitas untuk memvalidasi kebenaran tafsir tersebut?
Perbedaan pandangan antara NU dan Wahabi kerap menjadi sorotan. NU, dengan pendekatan Islam berbasis tradisi dan budaya, dituding oleh sebagian kalangan Wahabi sebagai ahli bid’ah karena dianggap menambahkan sesuatu yang bukan berasal dari Islam. Sebaliknya, NU menilai Wahabi terlalu kaku dan eksklusif dalam menafsirkan ayat Al-Qur'an.
ADVERTISEMENT
Namun, tidakkah masing-masing pihak memiliki argumen dan alasan yang dapat dipahami? NU, misalnya, memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Nusantara dengan pendekatan budaya yang adaptif. Berkat metode ini, Islam diterima secara luas di masyarakat tanpa harus menabrak tradisi lokal. Di sisi lain, Wahabi muncul sebagai gerakan yang bertujuan memurnikan Islam dari praktik-praktik yang dianggap menyimpang yang berpotensi mengarah pada kesyirikan
Bayangkan jika ritual-ritual keagamaan yang telah bercampur dengan kebudayaan telah berlebihan mendominasi kota Makkah. Mungkin saja makam Nabi Muhammad SAW akan rusak karena dipenuhi oleh ritual-ritual yang tidak terkendali. Bisa jadi kain ihram akan habis digunting sebagai jimat, atau tembok Ka'bah dipenuhi tulisan-tulisan permohonan. Wahabi, dengan segala kontroversinya, memainkan peran penting dalam menjaga kemurnian ajaran Islam di tempat-tempat suci tersebut.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, pertanyaan yang perlu kita renungkan adalah: mengapa perbedaan ini harus membuat kita berseteru? Bukankah Al-Qur'an yang kita rujuk sama? Bukankah kita semua sedang berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan cara yang menurut kita paling benar?
Sebagaimana Allah telah menjelaskan dalam Firmannya:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Q.S.Ali Imran:103).
Ayat ini menegaskan bahwa perpecahan di antara umat Islam adalah sebuah kemunduran yang bertentangan dengan perintah Allah. Saling menghormati perbedaan pendapat, selama didasarkan pada dalil yang kuat, adalah kunci untuk menciptakan persatuan. Lagipula, tidak ada yang dapat menjamin bahwa tafsir seseorang adalah yang paling benar. Sebagai manusia, kita hanya mampu berusaha memahami, tetapi pada akhirnya hanya Allah yang Maha Mengetahui segala sesuatu.
ADVERTISEMENT
Mari kita berhenti berdebat tanpa manfaat. Bukankah lebih baik energi kita digunakan untuk saling menguatkan dan bersama-sama memajukan umat Islam? Selama kita berpegang pada Al-Qur'an yang sama, apa yang salah dengan menjadi NU atau Wahabi? Toh, keduanya memiliki visi yang sama, yaitu mendekatkan diri kepada Allah.
"Perbedaan pendapat dalam Islam adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Namun, perbedaan ini tidak seharusnya memecah belah, melainkan menjadi sarana untuk saling belajar dan memahami. Selagi Qur’annya sama, mari kita fokus pada kesamaan tujuan, yaitu mendekatkan diri kepada Allah. Lagipula, siapa kita hingga merasa paling tahu apa yang diinginkan oleh Tuhan?"