Konten dari Pengguna

Mengurai Silang Sengkarut Ormas dan Izin Usaha Pertambangan

M Hasan Syamsudin
Dosen Pemikiran Politik Islam, Institut Agama Islam Negeri Kudus.
20 Juni 2024 15:28 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Hasan Syamsudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Perusahaan Tambang di Kalimantan Selatan oleh Dominik Vanyi https://unsplash.com/photos/photography-of-excavators-at-mining-area-Mk2ls9UBO2E
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Perusahaan Tambang di Kalimantan Selatan oleh Dominik Vanyi https://unsplash.com/photos/photography-of-excavators-at-mining-area-Mk2ls9UBO2E
ADVERTISEMENT
Telah menjadi rahasia umum bahwa praktik pertambangan di Indonesia menyimpan berbagai masalah pelik di dalamnya dari praktik korupsi perizinan tambang hingga dampak sosial, kesehatan, dan lingkungan yang ditimbulkan. Meskipun demikian, satu fakta yang tak dapat dibantah bahwa produksi tambang khususnya batu bara justru semakin meningkat dari tahun ke tahun bahkan izin penyelenggaraan bisnis tambang diperluas tidak hanya pada korporasi namun juga organisasi masyarakat (ormas) yang notabene tak pernah didirikan untuk tujuan pengelolaan tambang.
ADVERTISEMENT
Ambisi pemerintah untuk terus memproduksi tambang khususnya batu bara pada dasarnya tidak dapat terlepas dari konteks ekonomi politik internasional yang menyertainya. Data menunjukkan bahwa dalam tiga tahun terakhir produksi batu bara di Indonesia mengalami kenaikan yang cukup signifikan.
Tercatat tahun 2020 pertambangan Indonesia berhasil memproduksi 564 juta ton, di tahun 2021 sebesar 614 juta ton, di tahun 2022 sebesar 687 juta ton, dan puncaknya di tahun 2023 sebesar 775.2 juta ton (Kompas.com, 2024). Kenaikan tonase pengerukan batu bara tersebut tentu dimotivasi oleh kebutuhan pasar batu bara domestik terlebih pasar internasional yang semakin meningkat.

Indonesia: The Dirty Man of Asia

Apabila ditelaah secara mendalam, di tahun 2023, dari total 775.2 ton, kebutuhan batu bara dalam negeri sendiri sebenarnya hanya sebesar 213 juta ton atau sekitar 27,4%, sementara itu sisa produksinya yaitu sebesar 562 juta ton atau 72,6% diekspor ke luar negeri di antaranya adalah ke India dan China, selain ke negara-negara lain seperti Jepang, Filipina, Korea Selatan, Malaysia, Taiwan, dan Vietnam. Tercatat ekspor batu bara Indonesia ke India di tahun 2023 mencapai 108,83 juta ton disusul China sebesar 81,86 juta ton.
ADVERTISEMENT
Dua negara di atas adalah negara yang paling besar mengimpor batu bara dari Indonesia. Penjualan batu bara ke kedua negara tersebut telah berhasil menyumbang devisa negara sebesar 220 triliun di tahun 2023. Dari bisnis pengerukan sumber daya alam ini tak heran Indonesia mendapatkan julukan “the dirty man of Asia” oleh berbagai pihak termasuk aktivis lingkungan dunia.
Julukan tersebut pada dasarnya merupakan konsekuensi dari bisnis “energi kotor” batu bara yang begitu besar di tengah komitmen dunia mengurangi penggunaan batu bara yang menjadi sebab bencana perubahan iklim dunia.

Memenuhi Kebutuhan Batu Bara China

Di China sendiri, pemenuhan pasokan batu bara mayoritas ditopang oleh Indonesia. Tercatat 58% total impor batu bara di China ditopang oleh Indonesia diikuti oleh Rusia, Australia, Kanada, Amerika Serikat, Kolombia, Filipina, serta negara-negara lainnya (Thecoalhub.com, 2024).
ADVERTISEMENT
Artinya, pertambangan batu bara Indonesia merupakan bisnis penting bagi China untuk saat ini dan juga di masa mendatang. Di dalam pemenuhan kebutuhan energi nasionalnya khususnya batu bara,
China seringkali menempuh berbagai cara di antaranya adalah dengan mendorong korporasi tambang nasionalnya untuk berinvestasi di korporasi tambang multinasional di negara-negara lain yang memiliki sumber daya alam melimpah (Cardenal & Araujo, 2014), termasuk di antaranya adalah Indonesia. Cara tersebut seringkali dinilai lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan menggali galian tambang batu bara di negeri sendiri yang memiliki banyak risiko termasuk kerusakan lingkungan.
Bukti dari ditempuhnya cara tersebut setidaknya dapat dilihat dari investasi perusahaan tambang batu bara China akhir-akhir ini kepada mitra perusahaannya di Indonesia. Tidak hanya tambang batu bara, pertambangan nikel juga memiliki pola yang sama.
ADVERTISEMENT
Di tahun 2023, perusahaan tambang batu bara raksasa China, Qinfa Group menginvestasikan 4,6 triliun kepada mitra perusahaannya di Indonesia yaitu PT. Sumber Daya Energi (SDE) untuk mengeksploitasi batu bara di Kalimantan Selatan (Kumparan.com, 2023).
Investasi tersebut diperkirakan akan terus berlangsung sejauh China masih membutuhkan pasokan energi batu bara. Studi yang dilakukan oleh Patey (2014) menunjukkan bahwa China memang sengaja proaktif membidik negara-negara dengan sumber daya energi melimpah baik di Asia Tengah, Afrika, Amerika Latin, dan Asia Tenggara termasuk Indonesia di dalamnya tak lain untuk memenuhi kebutuhan energi nasionalnya.

China: Ekspolitasi Masif dan Berkelanjutan

Dalam praktik eksploitasi batu bara oleh korporasi China di berbagai negara, studi Cardenal dan Araujo (2014) menunjukkan bahwa praktik eksploitasi sumber daya alam tersebut seringkali tak teregulasi dengan baik. Hal tersebut disebabkan oleh lemahnya penegakan standarisasi praktik penambangan ramah sosial dan lingkungan baik oleh pemerintah, korporasi tambang, maupun investor tambang asal China sendiri (Cardenal and Araujo, 2014). Selain tak terlalu peduli pada penambangan yang ramah sosial dan lingkungan, eksploitasi besar-besaran tersebut juga ditopang oleh situasi hukum dan politik nasional yang mendukung.
ADVERTISEMENT
Tidak adanya hambatan hukum yang serius menjadikan para pebisnis tambang batu bara China mampu mengeksploitasi batu bara dalam jumlah besar dan berkelanjutan. Kemudahan untuk menghindari hukum tersebut tentu tak lepas dari karakter perilaku korup elite politik bahkan penegak hukum yang ada. Suburnya praktik korupsi pertambangan menjadi nilai plus tersendiri bagi korporasi multinasional untuk melakukan manuver menghindari aturan hukum yang ada (Cardenal and Araujo, 2014).
Di tengah ambisi ekspor batu bara untuk pemenuhan energi nasional China tersebut, tentu dampak kerusakan lingkungan yang dihadirkan juga sangat serius. Tercatat, Indonesia menduduki peringkat pertama deforestasi sejak tahun 2000-2019 atau 19 tahun terakhir dengan total lahan terdeforestasi sebesar 2.000 kilometer persegi diikuti oleh Brazil, Ghana, dan Suriname (Dialogueearth.com, 2023).
ADVERTISEMENT

Ormas dan Izin Usaha Pertambangan

Di tengah ambisi pemenuhan kebutuhan energi negara-negara lain seperti India dan China, pemberian izin tambang bagi ormas secara tidak langsung akan menyeret keterlibatan ormas menjadi bagian dari mata rantai produsen batu bara nasional bahkan tidak menutup kemungkinan mata rantai produsen tingkat global.
Jika ormas berubah menjadi korporasi tambang, maka ormas akan menjadi aktor baru yang harus bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan dan krisis iklim global. Beralihnya fungsi ormas dari pelayanan sosial ke korporasi yang kental dengan motif ekonomi juga akan berkontribusi pada rusaknya kohesi sosial dan gangguan kesehatan akibat pencemaran lingkungan.
Sederet problem di atas nampaknya harus menjadi pertimbangan utama bagi ormas-ormas di Indonesia agar mampu berpikir lebih komprehensif, jangka panjang, dan tidak terjebak dalam kepentingan ekonomis sesaat.
ADVERTISEMENT