Konten dari Pengguna

Nasionalisme Tak Sama dengan Penyeragaman

M Hasan Syamsudin
Dosen Pemikiran Politik Islam, Institut Agama Islam Negeri Kudus.
15 Agustus 2024 15:51 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Hasan Syamsudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: flag and sky oleh Tusik Only https://unsplash.com/photos/red-and-white-striped-flag-under-blue-sky-during-daytime-TfKRjLmlIVQ
zoom-in-whitePerbesar
Foto: flag and sky oleh Tusik Only https://unsplash.com/photos/red-and-white-striped-flag-under-blue-sky-during-daytime-TfKRjLmlIVQ
ADVERTISEMENT
Fenomena anggota Paskibraka melepas jilbab yang diklaim karena kesukarelaan mengikuti aturan sesungguhnya menyimpan problem yang jauh lebih fundamental sekaligus mengkhawatirkan. Jika melihat sekilas, aturan yang berorientasi pada ‘penyeragaman’ tersebut jelas menunjukkan cara berpikir pembuat aturan yang tak paham bagaimana nasionalisme di Indonesia dibangun.
ADVERTISEMENT
Hal yang jauh lebih memprihatinkan adalah aturan tersebut dikeluarkan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), sebuah lembaga negara yang memiliki tugas membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila.
Apabila dirunut dari aspek historis, pembentukan identitas kolektif kebangsaan kita tidak pernah sama dengan upaya penyeragaman lebih-lebih penghilangan identitas kelompok-kelompok sosial yang ada baik kelompok sosial bercorak keagamaan maupun etnisitas yang ada di Indonesia.
Membincang sejarah perkembangan nasonalisme Indonesia, hal tersebut dapat dirunut dari momen Sumpah Pemuda tahun 1928. Dalam momen Sumpah Pemuda tersebut, memang terjadi apa yang disebut sebagai upaya peleburan ragam komunitas termasuk komunitas etno-religius ke dalam komunitas kebangsaan-kewargaan.
Meskipun demikian, upaya peleburan tersebut lebih ke arah pembentukan blok nasional suatu kelompok intelektual dan aktivis kebangsaan, bukan upaya penghilangan identitas komunitas majemuk yang ada. Tak hanya itu, momen tersebut justru merupakan momen pengakuan politik atas komunitas yang sangat beragam di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Momen Sumpah Pemuda pun diakhiri dengan komitmen bersama atas nilai, norma, keyakinan, simbol bernama nasionalisme. Dalam momen tersebut, nampak keterhubungan di antara komunitas yang beragam diiringi dengan sikap politik inklusif menerima perbedaan-perbedaan yang ada. Kesepahaman-kesepahaman inilah yang menjadi modal awal bangsa Indonesia di kemudian hari merumuskan sebuah dasar moral kehidupan berbangsa dan bernegara yang disebut Pancasila.
Dalam konteks nasionalisme Indonesia, di momen Sumpah Pemuda nasionalisme dibangun secara kolektif dari beragam unsur. Dalam naskah orasi ilmiahnya berjudul 'Menimbang Ulang Negara Bangsa' di Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) tahun 2018, cendekiawan Yudi Latif secara tegas membedakan karakteristik nasionalisme Indonesia dengan nasionalisme yang berkembang di Eropa.
Dalam pengalaman nasionalisme Indonesia, meskipun para pemuda sepakat akan adanya identitas kolektif seperti bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, namun fakta menunjukkan bahwa komunitas keagamaan juga berperan menjadi tulang punggung integrasi nasional. Komunitas keagamaan tak pernah menjadi ancaman bagi nasionalisme, alih-alih menjadi ancaman ia justru menjadi sandaran atas bangunan nasionalisme Indonesia.
ADVERTISEMENT
Hal ini ditunjukkan setidaknya oleh gerakan anti kolonialisme para pemuka agama lokal yang berkembang menjadi perlawanan melalui organisasi modern bercorak etno-religius seperti Sarekat Islam (SI). Sebaliknya, nasionalisme Eropa justru lahir berjauhan dengan spirit keagamaan (sekulerisasi) yang diiringi dengan pudarnya ikatan-ikatan primordial lainnya. Artinya, komunitas-komunitas keagamaan memang sulit untuk dikatakan sebagai bidan atas kelahiran nasionalisme di Eropa, suatu kondisi yang jauh berbeda dengan Indonesia.
Beranjak dari penjelasan historis di atas, orientasi penyeragaman atau bahkan lebih jauh membersihkan persoalan kebangsaan dari kemajemukan yang ada, baik kemajemukan yang bernuansa keagamaan maupun etnisitas merupakan satu cara pikir yang ahistoris yang tidak sejalan dengan apa yang pernah dibangun oleh para pendiri bangsa. Persoalan 'pelepasan' jilbab, terlebih dengan alasan penyeragaman merupakan suatu hal yang tidak benar dan perlu dikoreksi secara serius.
ADVERTISEMENT