Pemilu dan Ancaman Krisis Legitimasi

M Hasan Syamsudin
Dosen Pemikiran Politik Islam, Institut Agama Islam Negeri Kudus.
Konten dari Pengguna
17 Maret 2024 0:08 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Hasan Syamsudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pekerja menunjukkan pelipatan surat suara untuk Pilpres 2024 di gedung logistik Pemilu 2024 KPU Kota Tangerang Selatan di Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (11/1/2024). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pekerja menunjukkan pelipatan surat suara untuk Pilpres 2024 di gedung logistik Pemilu 2024 KPU Kota Tangerang Selatan di Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (11/1/2024). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menjelang rekapitulasi hasil akhir Pemilihan Umum (Pemilu) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tanggal 20 Maret tahun 2024 mendatang, publik masih disuguhi dengan berita-berita tentang penyelenggaraan Pemilu yang sarat berbagai masalah. Meskipun demikian, akhir-akhir ini fokus pemberitaan soal Pemilu di media massa mulai bergeser pada isu pengguliran hak angket di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dari berbagai persoalan penyelenggaraan Pemilu yang ada, apabila direnungi secara mendalam, rentetan pemberitaan di media massa tersebut menjurus pada sebuah kekhawatiran tentang ancaman krisis legitimasi Pemilu. Krisis legitimasi tersebut jelas disebabkan penyelenggaraan Pemilu 2024 yang dianggap tidak kredibel.
ADVERTISEMENT
Ancaman Krisis Legitimasi
Dalam sebuah negara demokrasi, legitimasi menjadi hal yang fundamental. Legitimasi sendiri merupakan perasaan percaya (trust) dan penerimaan (acceptance) rakyat akan kewenangan, keputusan, bahkan kebijakan pemerintah. Selain ditopang dari kemampuan pemerintah dalam bekerja, legitimasi politik juga lahir dari seberapa kredibel sebuah Pemilu dilaksanakan. Pemilu yang mengedepankan prinsip-prinsip langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luberjurdil) tentu akan berdampak pada kuatnya legitimasi Pemilu. Konsekuensinya, legitimasi penguasa untuk memerintah atau pemerintah juga kuat di mata rakyat. Hal ini dapat dimaknai bahwa hak-hak untuk mengatur rakyat (rights to govern) menjadi absah, diakui, diterima, bahkan ditaati oleh rakyat. Sebaliknya, legitimasi Pemilu yang lemah akan berdampak pada lemahnya legitimasi pemerintah. Konsekuensinya, rakyat tak mengakui, tak menerima, bahkan tak mentaati pemerintah. Apabila tidak diantisipasi lebih lanjut, maka hal ini akan melahirkan perilaku pembangkangan sipil (civil disobedience) yang membawa kerugian lebih besar bagi bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pekerjaan Besar Lembaga Penyelenggara Pemilu
Apabila merujuk pada Survei Kepemimpinan Nasional (SKN) Kompas pada Januari 2023, data menunjukkan bahwa lembaga penyelenggara Pemilu yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sesungguhnya telah mendapatkan prestasi yang cukup membanggakan dengan mendapatkan urutan teratas ketiga lembaga negara dengan persepsi baik masing-masing 62% dari dua belas lembaga-lembaga negara yang ada. Meskipun demikian, dengan adanya berbagai masalah yang menimpa KPU dan Bawaslu pada penyelenggaraan Pemilu 2024, hal tersebut berpotensi menurunkan persepsi positif publik atas dua lembaga di atas. Tidak hanya itu, sederet problem penyelenggaraan Pemilu 2024, dari pelanggaran etik pimpinan badan penyelenggara Pemilu hingga dugaan adanya ketidaknetralan pemerintah juga membuka peluang atas Pemilu yang memiliki kadar legitimasi lemah dan tak mengakar.
ADVERTISEMENT
KPU dan Bawaslu tampaknya akan memiliki pekerjaan besar ke depan untuk meyakinkan publik bahwa dua lembaga tersebut adalah lembaga kredibel yang mampu bekerja secara profesional sebagaimana amanat undang-undang. Kepercayaan publik atas penyelenggaraan Pemilu yang kredibel inilah yang sesungguhnya menjadi modal utama kuatnya legitimasi Pemilu di masa mendatang. Konsekuensinya, kuatnya legitimasi Pemilu akan melahirkan keabsahan pemerintah untuk memimpin dan mengatur masyarakat. Melalui keabsahan tersebut, ketertiban sosial dan politik akan terwujud sehingga agenda-agenda pembangunan dapat berjalan sebagaimana mestinya. Sebaliknya, rendahnya legitimasi Pemilu dapat berujung pada lemahnya keabsahan pemerintah. Apabila itu terjadi, peluang terjadinya ketidaktertiban sosial politik terbuka lebar. Dampaknya agenda-agenda pembangunan akan terbengkalai. Hal ini tentu menjadi hal yang tidak diinginkan oleh seluruh masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT