Konten dari Pengguna

Penambahan Kodam di Tengah Krisis Kepercayaan Politisi Sipil

M Hasan Syamsudin
Dosen Pemikiran Politik Islam, Institut Agama Islam Negeri Kudus.
3 Maret 2024 9:32 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Hasan Syamsudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto didampingi Panglima TNI Agus Subiyanto dan Kapolri Listyo Sigit Prabowo meninjau kendaraan alutsista dan pasukan di halaman GOR Ahmad Yani, Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu (28/2/2024). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto didampingi Panglima TNI Agus Subiyanto dan Kapolri Listyo Sigit Prabowo meninjau kendaraan alutsista dan pasukan di halaman GOR Ahmad Yani, Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu (28/2/2024). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Di tengah-tengah euforia seperempat abad reformasi, beberapa bulan terakhir muncul serangkaian pemberitaan di media massa tentang upaya penambahan Kodam (Komando Daerah Militer) yang diusulkan oleh Kepala Staff Angkatan Darat (KSAD) Dudung Abdurachman. Penambahan Kodam rencanannya akan diadakan di setiap Provinsi di Indonesia. Beberapa hari terakhir, berbagai media massa menyebutkan bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan menambah 22 Kodam baru yang semula berjumlah 15 menjadi 37 Kodam. Pro dan kontrapun bermunculan, beberapa kalangan khususnya dari unsur TNI mendukung adanya upaya penambahan Kodam, meskipun demikian usulan tersebut tak lepas dari kritik. Kritik beragam bermunculan diantaranya dari mempersoalkan urgensi pendirian Kodam hingga agenda reformasi di tubuh militer yang dianggap kurang serius.
ADVERTISEMENT

Komando Teritori dan Peran Politik Militer

Apabila dilacak dari segi historisnya, berdirinya satuan-satuan militer di tingkat daerah pada dasarnya memang ditujukan untuk menumpas pemberontakan yang terjadi di awal kemerdekaan Indonesia. Pelembagaan dan penguatan peran politik militer mulai nampak tatkala diberlakukannya Undang-Undang Keadaan Bahaya atau Staat van Oorlog en Beleg (SOB) pada bulan Maret tahun 1957 (Feith, 1963). Dalam rangka mengatasi berbagai pemberontakan di Indonesia, Soekarno memberlakukan keadaan darurat melalui SOB. Tak dapat dipungkiri, penerapan SOB berhasil menumpas pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang dideklarasikan di tahun 1958.
Menurunnya status pemberontakan menjadi gerilya di berbagai daerah di Indonesia mendorong Soekarno mencabut SOB. Meskipun demikian, perluasan peran militer dalam urusan pertahanan dan keamanaan masih tetap dominan di berbagai daerah. Dalam perjalanannya, pelembagaan dan penguatan peran politik militer semakin jelas ketika Soekarno memasukkan unsur militer sebagai perwakilan golongan fungsional di era Demokrasi Terpimpin. Di saat yang bersamaan, pelembagaan komando teritori semakin mengakar kuat pasca ditetapkannya Doktrin Perang Wilayah tahun 1962. Doktrin tersebut telah berhasil melahirkan markas komando militer hampir di setiap Provinsi di Indonesia dengan struktur berjenjang di bawahnya. Sebagaimana diketahui, di bawah Komando Daerah Militer (Kodam) atau setingkat provinsi di bawahnya terdiri dari Komando Resort Militer (Korem) setingkat wilayah, Komando Distrik Militer (Kodim) setingkat kabupaten kota, Komando Rayon Militer (Koramil) setingkat kecamatan, dan Bintara Pembina Desa (Babinsa) setingkat desa (Said, 2006).
ADVERTISEMENT

Orde Baru, Militer dan Alat Politik

Di era Soeharto, pelembagaan dan penguatan peran politik tentara semakin diperjelas melalui Dwi Fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) tahun 1969. Melalui ketetapan tersebut, ABRI memiliki fungsi ganda baik fungsi keamanan maupun pembinaan masyarakat atau politik. Konsekuensinya, ABRI mendapatkan jatah politik khusus di DPR maupun MPR tanpa melalui Pemilu (Crouch, 1988). Faksi ABRI dalam DPR maupun MPR juga harus selalu sejalan dengan kepentingan politik Golongan Karya (Golkar). Selain birokrat, tentara juga memiliki kewajiban untuk memenangkan Golkar pada setiap Pemilu, maka tak heran apabila kemenangan Golkar pada dasarnya juga kemenangan militer.
Sebagaimana diketahui publik, selama Orde Baru berlangsung, militer seringkali menjadi alat politik untuk suksesi kemenangan Golkar melalui jaringan komando teritorialnya. Tidak hanya itu, militer seringkali digunakan sebagai aktor depolitisasi kekuatan-kekuatan politik di luar Golkar (Latief, 2005). Setelah 32 tahun berlangsung, kekuatan militer yang mendominasi kehidupan sipil harus berakhir dengan dicabutnya Dwi Fungsi ABRI di era Presiden Abdurrahahman Wahid. Sebagai konsekuensinya, militer harus kembali ke “barak” mengurusi urusan keamanan dan pertahanan.
ADVERTISEMENT

Penambahan Kodam, Krisis Kepercayaan, dan Lemahnya Kontrol Politik Sipil

Berkaca dari pengalaman masa lalu Indonesia, perluasan komando teritori dan menguatnya peran politik militer pada dasarnya selalu berjalan beriringan. Secara historis, berdirinya komando teritori di berbagai daerah di Indonesia menjadi media bagi penguatan peran politik militer. Dicabutnya Dwi Fungi ABRI pada tahun 2000 memang telah mengembalikan peran militer pada urusan pertahanan dan keamanan semata, namun tersisanya komando teritori di Indonesia juga menyimpan potensi ancaman bagi lemahnya kontrol politik kalangan sipil tepatnya ketika krisis terjadi (Mietzner, 2011).
Penambahan Kodam di setiap provinsi di Indonesia tentu akan membuka celah pada melemahnya kontrol politik sipil di tingkat lokal. Terbukti, reformasi kelembagaan di tubuh militer yang tidak paripurna berpotensi mendorong militer untuk masuk kembali ke panggung politik sebagaimana terjadi di Thailand tahun 2006. Sejak kepemimpinan demokratis di Thailand tahun 1992-2006, reformasi di tubuh militer tidak dijalankan secara serius termasuk reformasi kelembagaan komando teritori akibatnya militer kembali berkuasa melalui kudeta militer di tahun 2006 (Funston, 2009).
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, potensi kontrol politik militer melalui kudeta memang tidak nampak, namun demikian bukan berarti agenda transisi demokrasi di Indonesia berjalan tanpa ancaman. Selain dari faktor komando teritorial yang semakin banyak dan berpotensi hegemonik, ancaman juga muncul dari krisis kepercayaan publik terhadap politisi sipil yang akhir-akhir ini terjadi. Dalam beberapa tahun terakhir, diam-diam masyarakat menaruh kepercayaan yang kuat terhadap lembaga militer dibandingkan dengan lembaga pemerintahan demokratis lainnya. Survey menunjukkan tren kepercayaan masyarakat terhadap militer semakin meningkat sejak tahun 2014. Setidaknya, dalam lima tahun terakhir militer mendapatkan kepercayaan paling tinggi di kalangan masyarakat Indonesia dibandingkan dengan lembaga-lembaga pemerintahan lainnya seperti partai politik, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), bahkan Presiden (Muhtadi, 2022).
ADVERTISEMENT
Menguatnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga militer pada dasarnya disebabkan oleh banyak faktor, namun faktor yang cukup menohok adalah karena lemahnya kapasitas politisi dari kalangan sipil (Muhtadi, 2022). Lemahnya kapasitas politisi sipil tersebut ditunjukkan dengan banyaknya kasus korupsi yang menimpa politisi sipil di berbagai level pemerintahan. Di sisi lain masyarakat juga meyakini bahwa problem korupsi akan lebih minimal apabila jabatan-jabatan politik dipegang oleh militer. Temuan Muhtadi (2022) tersebut menunjukkan bahwa ternyata militer masih dipandang superior dalam urusan politik pemerintahan.
Berkaca dari sejarah, selain penambahan kodam yang berpotensi hegemonik, krisis kepercayaan yang dialami oleh politisi sipil sekali lagi membuka celah atas lemahnya kontrol politik sipil di Indonesia. Problem di atas juga berpotensi mengancam supremasi sipil yang selama seperempat abad ini dibangun di Indonesia. Terancamnya supremasi sipil karena faktor politisi sipil yang tidak kapabel diiringi dengan fasilitasi negara atas kepentingan militer yang begitu kuat tentu sedikit banyak berpeluang pada terhambatnya derap langkah transisi demokrasi Indonesia ke depan.
ADVERTISEMENT